Herman dan bu Ratih, mengobrak-abrik seisi kamar dan ditempat lain. Hasilnya nihil tidak menemukan perhiasan, Mia.
"Mia,dimana kamu letakan perhiasan itu?" Bentak Herman,menarik lengan istrinya yang tengah mengobati luka di bagian keningnya."Sudah aku bilang,mas! Aku tidak memiliki perhiasan emas, jikapun ada memilikinya. Aku tidak akan pernah meminjam kepada ibumu,yang tukang bohong!". Mia,membalas bentakan suaminya itu.Herman, ingin menampar wajah istrinya lagi. Namun di urungkan niatnya, berusaha mengontrol dirinya. "Aku melihat mu Mia, pernah memegang perhiasan emas itu dan kami simpan di dalam kotak kecil. Kalai tidak ada perhiasan itu,kau kemana kan?"Deg!Rupanya suaminya sendiri memberitahu kepada ibunya,jika Mia memiliki perhiasan emas. "Terserah aku mas, Itukan perhiasan ku dan kamu tidak berhak atas hakku". Mia, langsung menepis tangan suaminya. Sudah pasti ingin mencekram kuat lagi, jangan harap Mia mengalah terus-terusan."Menantu durhaka kamu Mia, sudah berani sama suami dan mertua. Dasar wanita laknat kamu,pelit sama suami dan mertua sendiri". Sahut bu Ratih, mendelik tajam ke arah menantunya."Terserah ibu dan mas Herman ngomong apa. Aku tidak peduli sama sekali,jangan harap aku terus-menerus mengalah". Tegas Mia, dengan tatapan tajam."Herman, istrimu sudah kurang ajar sekali dan jangan kasih dia uang. Istri macam dia, harus diberi pelajaran setimpal". Bu Ratih, mencoba mempengaruhi pikiran anaknya."Benar bu,ayo biar aku mengantar ibu pulang". Akhirnya Herman, membawa ibunya pergi dari rumah Mia.Mia,menghela nafas lega melihat mereka pergi dari rumah ini. Rumah peninggalan kedua orangtuanya,harta satu-satunya yang dipunya.Herman, meninggalkan perkarangan rumah sang istri membawa ibunya pulang ke rumah."Sudah ibu katakan kepadamu, Herman. Jangan memanjakan istrimu berlebihan, contohnya mbak Adel. Lingga, tidak pernah memanjakan Adel dan memberikan uang secukupnya. Beruntung Lingga, kakakmu menikah dengan wanita karir dan bisa bekerja mencari uang sendiri. Apa-apa dirumah yang di kerjakan pembantu,ibu bisa santai menikmati masa muda. Kamu sih, tidak mau menurut perkataan ibu". Bu Ratih, lagi-lagi mempengaruhi pikiran Herman."Memang aku bu,yang tidak mengizinkan Mia bekerja. Setelah kecelakaan itu,aku jadi minder dekat-dekat sama dia. Kakinya pincang kalau jalan,malu kalau di ajak kemana-mana. Aku punya target bu, namanya Tesa kerja di perusahaan yang sama dengan ku. Tapi,dia tipe wanita cuek sama pria dan teman Mia juga". Ucap Herman, senyum-senyum sendiri ketika membayangkan wajah Tesa."Kamu lepaskan saja, Mia. Masih betah kamu memiliki istri yang pincang? Ibu,ogah punya mantu memiliki kekurangan seperti itu. Bikin malu Herman, teman-teman ibu bakalan membicarakan tentang Mia". Gerutu bu Ratih, khawatir teman-temannya mengejek jika dirinya memiliki menantu pincang."Yah... Untuk saat ini,aku tidak bisa melepaskan Mia. Nunggu waktunya yang tepat dong,bu". Kekehnya Herman, merindukan sesosok Mia yang sempurna di mata siapapun.Herman, mematikan mesin mobilnya sudah sampai di rumah sang ibu. Jaraknya lumayan dekat, memerlukan 15 menit dan sampai.Sebuah mobil putih terparkir di halaman rumah, pasti Lingga anak pertama bu Ratih datang dari luar kota.Mata Herman, tertuju pada mobil kakaknya lecet-lecet seperti ada sesuatu yang menyerempetnya."Lingga,kamu gak bilang-bilang sama mau pulang". Bu Ratih, tersenyum sumringah melihat anak pertamanya datang. Dia lah seringkali mengirimkan uang dengan jumlah banyak, dibandingkan Herman anak keduanya.Herman, merasakan sesuatu yang tidak beres melihat keadaan kakaknya sangat memperihatinkan sekali."Maaf, mendadak bu karena ada sesuatu yang aku bicarakan". Jawab Lingga, sudah lama bekerja di atas gunung pertambangan batubara.Bu Ratih, menoleh ke arah menantunya nampak diam saja. "katakan saja nak,apa yang kamu bicarakan?"."Begini bu,aku memerlukan uang senilai 100 juta atas kesalahan ku di tambang batubara dan menggantikan kerugian. Jadi,aku minta tolong kepada kalian untuk membantu ku. Pihak perusahaan tidak mau membantu karena kesalahanku". Ucap Lingga,mengusap wajahnya dengan kasar."Seratus juga!". Ucap bu Ratih dan Herman, bersamaan karena syok berat."Iya,selama ini aku sering kali memberikan uang kepada ibu. Sudah waktunya kalian membantu kesusahan ku ini, termasuk kamu Herman. Cuman kamu satu-satunya adikku yang sudah bekerja,kalau Dino masih sekolah". Lingga, melirik ke arah adiknya itu."Waduh...Uang seratus juta lumayan banyak,bang. Mana ada uang sebanyak itu,mana mungkin aku meminjam kepada atasanku". Herman, menggaruk-garuk pelipisnya karena kebingungan."Sama,aku mana bisa membantu karena orangtuaku sudah pensiun PNS. Uang pensiun cuman cukup kebutuhan sehari-hari mereka, tidak memiliki penghasilan tambahan lagi". Sahut Adel, melirik sekilas ke arah suaminya dan memberikan kode."Ibu, cuman punya sedikit perhiasan dan uang. Pastilah tidak cukup untuk membantu mu, Lingga". Bu Ratih,merasa tidak senang mendengar anaknya kesusahan uang."Ada satu-satunya cara mendapatkan uang 100 juta dengan cepat, Herman harus menggadaikan sertifikat rumah istrinya". Lingga, memandang wajah adiknya itu.Glek!Herman, mengusap wajahnya mendengar ucapan sang kakak. "Loh, kenapa harus menggadaikan sertifikat rumah istri ku?" Tanya Herman, menatap ke arah kakaknya."Mana mungkin kan,kita menjual rumah istri mu karena lama bakalan laku. kita gadaikan saja dengan rentenir di sini,kamu bisa mencicil perbulannya kalau tidak mau di usir". Kata Lingga,geram karena adiknya lelet."Kenapa aku yang membayar cicilannya? kan bang Lingga, menggadaikan sertifikat rumah istri ku". Herman, tidak setuju dengan ide sang kakak. seakan-akan dirinya di manfaatkan oleh, Lingga."Herman,kamu adalah adik kandungnya Lingga. apa kamu tidak kasian melihat dia seperti ini, sebagai adik sudah sewajarnya membantu saudara". Bu Ratih, langsung membela Lingga anak pertamanya itu."Mana mungkin juga, suamiku membayar cicilannya. Toh,banyak tanggungan aku dan anak kami. Biasanya ibu,minta uang sama mas Lingga". Sahut Adel, memasang wajah masam.Herman, semakin heran dengan sikap kakaknya. seperti ada sesuatu yang tidak beres,namun apalah daya tidak bisa melawan. "Tapi, apakah Mia mau menuruti kemauan kita?"."Kalau tidak mau, kita rampas kasar sertifikat rumah itu. Aku tengah memerlukan uang Herman, jangan sampai aku di pecat oleh perusahaan. Mau di beri makan apa istri dan anakku? Emangnya kamu menafkahi kita semua,ha?" Bentak Lingga, kesabarannya sudah habis menghadapi adiknya itu."Herman,ibu gak mau tau yah! kamu harus membantu abangmu,dia memerlukan uang demi menyelamatkan pekerjaannya. Kita akan ke sana ramai-ramai, merampas sertifikat rumah Mia". Bu Ratih, memaksa Herman mengambil hak istrinya itu."Aduh! Jangan lelet Herman,aku membutuhkan uang itu segera,aku tidak memiliki banyak waktu sekarang". Lingga, sudah melangkah kakinya keluar rumah.Apakah mereka mendapatkan sertifikat rumah, Mia? Bagaimana nasib Mia, menyelamatkan harta peninggalan orangtuanya?.Deg!Mia, terkejut melihat kedatangan suami,ibu mertua dan kakak iparnya itu. "Masuklah, ada yang kamu bicarakan dengan mu". Kata Herman, sambil menarik lengan istrinya."Ada apa sih,mas? Main tarik-tarik segala,aku bisa jalan sendiri tau". Sesekali Mia, menepis tangan suaminya itu. Pasti ada sesuatu yang tidak beres, bau-bau tidak enak ini. Apa lagi, wajah bang Lingga kusut amat."Kalau gak ditarik jalanmu itu,lamban kaya siput. Dasar pincang, sok belagu lagi". Gerutu ibu mertuanya, sungguh menyayat hati Mia."Masih betah punya istri pincang, memalukan sekali". Sambung Lingga, menyunggingkan senyumnya."Tidak perlu menghina kekurangan ku,bang. Aku seperti ini,demi menyelamatkan nyawa ibu.Nyatanya kalian seenaknya menghinaku,dasar tak punya hati". Ucap Mia, menahan air matanya."Mia,bisa diam gak? Ngomong ngelantur kemana-mana,dasar!". Bentak Herman, menarik lengan istrinya agar duduk di samping."Gak usah tarik-tarik mas,aku bisa sendiri. Sama kamu juga, gak punya hati". Lagi-lagi M
Mia, melayani sang suami sarapan pagi. Tidak ada perbincangan hangat di pagi ini, semenjak kakinya mengalami kecacatan. Herman, tidak memperdulikan istrinya dan memberikan perhatian seperti dulu.Air bening menetes di pipinya, segera mungkin di hapus. Mia, merindukan sesosok suaminya dulu. Begitu hangat kepadanya,penuh dengan kasih sayang dan cinta.Herman, mengeluarkan amplop coklat berisi uang untuk memberikan kepada sang istri. "Ini uang bulanan untukmu satu juta rupiah, sisanya untuk ku bayar cicilan dan ibu. Jangan boros-boros Mia,harus mengelola keuangan suami".Mia, menghela nafas beratnya."Istighfar mas, kamu kerasukan apa sih? Uang satu juta gak cukup buat sebulan, belum lagi bayar listrik dan keperluan lainnya. Kamu kelola saja sendiri,ogah megang uang cuman segitu". Mia, mengembalikan uang dari suaminya."Mia,jangan ngelunjak kamu! Benar kata ibu, mentang-mentang aku memanjakan mu dulu.Uang segitu gak cukup,kamu kira cari uang enak? Punya istri gak bersyukur banget sih,gak p
"Aarrrghh...Sakit mbak Adel, lepasin rambut ku!". Pekik Mia, meringis kesakitan karena rambutnya ditarik. Ya Allah,kenapa mereka menyiksa ku seperti ini? Siapapun tolonglah aku,sakit sekali."Makanya jangan sok-sokan terhadap kami, berikan sertifikat rumah ini! Aku tidak rela jika suamiku, sampai kehilangan pekerjaan gara-gara kamu!". Ucap Adel,sambil menarik rambut adik iparnya itu. Rasakan kamu Mia,aku sudah menanti momen menyiksamu seperti ini. puas rasanya aku melihat mu merintih kesakitan, makanya jangan sok-sokan terhadap kami."Aauu...Bu, tolongin aku! Sakit bu,sakit!". Mia,terus merintih kesakitan di bagian kepala dan kakinya. Ya Allah, sakit sekali. Mas Herman, apakah kamu berpihak kepada ku atau tidak? Keluargamu menyiksa ku mas,aku harap kamu membelaku."Ck,ini adalah akibatnya membangkang terhadap mertua sendiri. Tarik yang kencang Del,jangan kasih ampun biar tau rasa dia". Kata bu Ratih, menyunggingkan senyumnya.Mia,tak sanggup menahan rasa sakitnya sampai menangis terse
Brakkk...Herman, menggebrak meja makan karena kesal tidak ada makanan di tudung saji. "Mia!Mia! Ke sini kamu,Mia!". Teriaknya sekeras mungkin.Mendengar suaminya memanggil, Mia meninggal pekerjaannya dan berjalan-jalan menuju ke dapur. "Ada apa mas? Jangan teriak-teriak di sini rumah, bukan hutan loh. Apa gak mau di dengar tetangga lain,aku sibuk membereskan rumah ini".Herman, menatap tajam ke arah istrinya itu. "Mana makan malam? Aku lapar sekali,masak sambil beres-beres rumah bisa kan? Jangan membantah perkataan ku,Mia".Mia, menghela nafas panjang dan mendekati suaminya. "Asalkan mas tau,aku tidak bisa masak karena bahan ikan sayur tidak beli".Herman, semakin murka dengan istrinya itu. "Istri tidak becus kamu, Mia! Aku sudah kasih kamu uang, seharusnya kamu beli sayur dan ikan. Kau kira aku tidak lapar, sampai kamu tidak masak!". Bentaknya keras."Gimana mau belanja mas,uang yang kamu kasih di rampas ibumu. Bukan salahku loh, pergi ke rumah ibumu dan minta makan di sana. Muak! A
Lingga dan Herman, nekad pergi kediaman juragan Karto sekaligus merupakan rentenir."Wah... Kalau gak ada jaminan,aku tidak mau meminjamkan uang dengan jumlah besar. Sama saja, kalian menjaminkan rumah Mia tetapi tidak ada sertifikat rumahnya. Kalau ada sertifikat rumahnya,detik ini cair uang 100 juta". Ucap pak Karto,memang benar menginginkan rumah dan tanah milik Mia. Dia tahu,jika lahan besar dan panjang bisa menanam sawit miliknya.Lingga dan Herman,saling menoleh mendengarnya. Sudah pasti mereka tidak mendapatkan pinjaman uang."Sebenarnya, aku sangat menginginkan tanah dan rumah istrimu Herman. Aku tahu, lahannya sangat panjang ke belakang. Pas untuk menanam sawitku nanti, bakalan untung besar". Ucap pak Karto lagi."Sudah dimana-mana juragan,kami tidak menemukan sertifikat rumah itu. Apa jangan-jangan tanahnya sengketa yah,mana mungkin Mia menyimpan di tempat lain". Lingga, menggaruk-garuk pelipisnya."Tidak. Aku pernah tau, tentang tanah milik orangtuanya Mia. Tanah itu,bukan
Adel, tercengang yang menampar wajahnya adalah ibu mertuanya sendiri.Sedangkan di ambang pintu adik iparnya,Mia yang tersenyum manis ke arahnya."Mia, ngapain kamu ke sini?". Tanya Herman, kebingungan atas kedatangan istrinya."Aku sudah lama menunggu mu,mas. Token listrik habis mas,aku perlu uang untuk membelinya. Mana uang bulanan ku,mas?". Mia, menadah tangannya ke depan sang suami.Mia, mendelik ke arah kakak iparnya masih mengelus-elus pipinya itu. "Gimana mbak, rasanya di tampar? Enak pasti yah,kasian sekali". Ejek Mia, menyunggingkan senyumnya."Kamu bisa nunggu aku pulang, Mia. Kaki pincang sok-sokan kemana-mana,yang ada membuat orang susah". Gerutu Herman, tidak menyukai kedatangan istrinya."Diam kamu, Mia! Semua ini, gara-gara kamu tidak memberikan sertifikat rumah itu!". Bentaknya Adel, matanya memerah habis menangis."Aku tidak mau mbak,karena hartaku satu-satunya". Kata Mia, menoleh ke arah ibu mertuanya nampak kesal."Mana mas,uang bulananku? Kalau tidak ada,jangan minta
"Bagaimana bang,dapat uangnya?". Tanya Herman, setelah pulang dari kerja langsung mampir ke rumah ibunya. Jam dinding menunjukkan pukul 6 sore, sebentar pagi mau adzan magrib. Makan Malam dulu,baru pulang kerumah istrinya."Gak dapat, warisan keluarganya sudah di jual. Bahkan tanah warisannya milik Adel,di sita sama rentenir karena abangnya tak mampu bayar bulanannya. Satu-satu harapannya adalah sertifikat rumah ibu,tapi kamu tau sendiri bersikukuh tidak mau mengasih sertifikat rumah ini". Lingga, mondar-mandir tak karuan. Besok alasan apa lagi,agar dia dan keluarganya percaya. Kenapa serumit ini,sih? coba kalau Mia, dengan keihklasan sertifikat rumahnya. Pasti urusan ku sudah selesai, bahkan ongkang-ongkang santai."Ibu,gak setuju dengan idemu. Mau taruh dimana wajah ibu ibu, tetangga bakalan gosip". Bu Ratih,tetap mempertahankan rumahnya ini. Huuu...Semua ini, gara-gara menantu gak bisa ada yang benarnya."Mau gimana lagi bu,mbak Adel tidak ada uang sebanyak itu. Bahkan Mia, enggan
"Tidak! Aku tidak mau kehilanganmu, Liza. Lebih baik dia yang aku ceraikan, demi dirimu sayang". Lingga, menggeleng kepalanya. Mana mungkin aku melepaskan Liza,bisa hancur berantakan semuanya.Liza, tersenyum mengejek ke arah istri pertama suaminya itu. Lihatlah, istri tua suamimu malah memilih ku yang segala-galanya ini.Batinnya.Adel, terkejut mendengar ucapan sang suami demi wanita ini. Dia rela meninggalkan dirinya,tanpa memperdulikan hatinya sakit sekali. "Mas! Kamu ngomong apa sih, aku tidak mau bercerai dengan mu. Mentang-mentang dia kaya begitu, meninggalkan aku ini"."Adel,kamu diam! Makanya jadi istri yang becus dong, jadinya suami gak betah sama kamu". Sahut bu Ratih, tentu membela mantu kaya raya. Tentu saja,aku memilih mantu dari kaya raya,ibunya memiliki gelang emas banyak sekali"Benar kata ibu,mbak. Dulu bang Lingga pulang merantau,bukan melayani suami. Malah pulang ke rumah orangtua, berfoya-foya dengan jerih payahnya". Sambung Mia, menyudutkan kakak iparnya. Semakin