“Kamu tenang saja, Daren sudah mengurus semuanya.” Luna menghela nafas lega. Tiba di rumah sakit, Luna tetap dipaksa Vania untuk mendapatkan pemeriksaan dokter, meski dia bersikukuh menolaknya, Vania tetap tidak bisa dilawan. “Aku bilang juga apa, aku tidak kenapa-kenapa Van.” “Tapi darah di sudut bibirmu tetap saja harus diobati.” “Hmm, pikiranku yang seharusnya diobati, aku semakin trauma sekarang jika melihat Jeremy, dia selalu ingin aku melayani nafsunya seperti dulu.” Luna yang saat ini duduk bersandar di ranjang rumah sakit, menurunkan pandangannya dan bening hangat tiba-tiba membasahi pipinya. “Jeremy memang gila. Dulu kamu dibuang seperti sampah, kenapa sekarang ingin kamu kembali?” Luna mengedikkan bahunya dan dia menyeka air matanya saat teringat Sean. “By the way, bagaimana keadaan Sean sekarang?” “Sean sudah siuman.” “Tolong bawa aku ke sana Van.” Vania mengangguk dan segera membantu Luna turun dari ranjangnya. Di ruangan Sean, Luna tidak bisa menahan diri untu
Langit cerah, cuaca sempurna. Matahari terbit dan hari baru telah tiba. Setelah semalaman menunggu Sean di rumah sakit, Luna memutuskan untuk pulang sendiri ke rumah Vania demi menengok Xander. Namun, siapa sangka rumah Vania mendadak sangat sepi pagi itu, padahal biasanya beberapa pelayan terlihat berseliweran mengerjakan tugas masing-masing, tapi tidak dengan sekarang. Luna mengerutkan kening dan tetap melanjutkan langkahnya untuk masuk dan menengok apa yang terjadi.Melihat Jeremy sedang berdiri membelakanginya dengan Xander dalam gendongannya, Luna terhuyung ke belakang dan menatap punggung Jeremy yang lebar dan ketat dalam setelan jasnya itu dengan tidak percaya.“J... Jeremy.” Mulutnya refleks bergetar ketakutan mengeluarkan suara memanggil nama mantan kekasih yang begitu ia takuti akhir-akhir ini. Bukan hanya itu saja, bagaimana bisa Xander begitu nyaman tidur dalam gendongan Jeremy?Belum sepenuhnya sadar dengan apa yang terjadi di depannya, Jeremy yang saat ini m
“Kecuali kamu tidak akan pernah menikah dengan bajingan Aaron.” Luna tiba-tiba merasa tenggelam. Membuatnya harus memilih antara Sean dan Xander tentu bukanlah hal yang mudah. Luna mencintai keduanya lebih dari apapun, dan sekarang dia harus benar-benar memilih di hadapan Jeremy, apa-apaan? Dia sangat tidak terima. “Jeremy, kamu tidak bisa melakukan itu, apa hak kamu melarangku menikah? Lihatlah dirimu sendiri! Kamu bahkan dulu selalu menolak menikahiku.” “Tentu saja aku berhak atasmu Luna! Kamu ibu dari anakku dan aku tidak suka Xander memiliki ayah sambung seorang bajingan seperti Sean Aaron.” “Kamu bahkan lebih bajingan darinya, Jeremy Allen!” teriak Luna di sela tangisnya yang kini pecah. “Diam!” Gema suara Jeremy membuat Luna bergidik ketakutan. Dia bahkan seketika itu menggigit bibirnya agar tidak lagi mengeluarkan suara isak tangis. Sementara Xander yang ada dalam gendongan Jeremy terkejut dengan suara ayahnya yang menggema itu hingga dia menangis, tapi en
“Kita ke rumah Vania sekarang Zack.” Zacky yang awalnya tiduran di mobil menunggu Daren, kaget luar biasa saat tahu Sean lah yang masuk ke mobil. “Mas Boss, bukannya...” Belum selesai Zacky menyempurnakan kalimatnya karena keterkejutannya, Sean lebih dulu membentaknya. “Cepat!” “Ya Mas Boss, kita ke sana sekarang.” Zacky dengan gugup menyalakan mesin mobil dan melakukan mobil keluar dari area rumah sakit. Duduk di kursi belakang, Sean meringis kesakitan memegangi perutnya, tapi dia tidak berani mengeluarkan suara keras takut Zacky mendengar dan justru akan membawanya ke rumah sakit. Jadi dia hanya berpura-pura tidak kesakitan sama sekali sampai tiba di rumah Vania. Sean langsung buru-buru masuk sambil memegangi perutnya. “Dimana Luna?” “Nona Luna sedang menangis di kamarnya.” “Beri aku kunci cadangan kamar yang ditempati Luna.” “B... Baik Tuan Sean.” Kepala pelayan itu tidak berani membantah. Tentu saja karena tahu Sean sepupu Vania. “Ini kuncinya Tuan.” Kepala pelayan
“Sean!” Luna dengan panik menepuk pipi Sean berharap Sean akan sadar. “Sean bangun Sean.” Sean tetap tidak sadarkan diri dan darah yang merembes di bajunya semakin banyak. Luna bangkit dari duduknya dan berlari keluar saat Vania dan Daren baru saja tiba. “Vania, Daren. Tolong Sean!” “Dimana dia sekarang?” Daren bertanya dengan panik. “Di kamarku.” Vania dan Daren berlari terburu-buru mengikuti Luna. Begitu tiba, Daren dan Vania terkejut luar biasa saat baju rumah sakit yang dipakai Sean berlumur darah.“Sean!” Teriak Daren. Dia kemudian memanggil Zacky dan Reno untuk membantu Sean ke mobil dan membawanya kembali ke rumah sakit. ***Tiba di Villa Red Rose. Jeremy menidurkan Xander dengan hati-hati di kamar sebelah kamar utama. Dia tersenyum tipis dan hatinya tiba-tiba menghangat saat menatap wajah anak itu yang sangat persis dirinya. “Je Alexander, nama yang bagus, dan mommy kamu masih menggunakan nama Daddy di depanmu.” Jeremy kembali menarik sudut
Luna menatap Aura dengan tatapan menghina. “Lebih tepatnya dia tunangan palsumu kan?”Aura menyipitkan matanya dengan marah. “Kau...” Vania mendengus melihat pertengkaran kecil mereka dan dia menyeret Luna ke sisinya. “Jangan membuang tenagamu hanya untuk bertengkar dengannya.” “Tapi dia bilang Sean tunangannya, siapa yang tidak kesal?” “Luna, sudahlah!” Vania kembali mengingatkan.Aura menggelengkan kepalanya dan dia beralih ke sisi Daren. “Daren, sebenarnya apa yang terjadi dengan Sean? Dia kabur setelah kami berciuman saat hari pertunangan itu dan sekarang dia di rumah sakit lagi?” Meski mulutnya yang berbicara tapi mata Aura jelas tertuju pada Luna dengan suara yang sengaja ia perkeras. Luna mendengus kesal dan hatinya seolah dicubit dengan sangat keras mendengar pengakuan Aura. “Seseorang menusuk perut Sean dengan pisau saat Sean dilarikan ke rumah sakit sebelum kalian bertunangan dan karena kamu memaksanya bertunangan saat dia belum benar-benar sembuh, akhirnya luka d
“Luna, menikahlah denganku dan aku akan menjemput Xander untukmu.” Luna tidak tega melihat Sean yang terus memohon jadi dia mengangguk, lagipula Sean sudah menanggung banyak kesulitan karenanya sampai dia berakhir di rumah sakit seperti sekarang pun karenanya. Jadi bagaimana dia bisa tega meninggalkan Sean hanya demi ancaman Jeremy? Masalah Xander, dia akan memikirkannya lagi.Lagipula Jeremy tidak akan tega menyakiti putranya sendiri bukan?Luna mendesah dalam pemikiran itu dan pikirannya menjadi sedikit lebih tenang. “Kalau begitu cepatlah sembuh! Jangan berlama-lama tinggal di sini karena aku sudah merindukanmu.” Luna membual kepada Sean agar lebih menuruti apa kata dokter. Benar saja Sean langsung tersenyum dengan begitu bersemangat dan dia mengangguk.Luna kemudian keluar dari ruang ICU karena dia tidak mungkin berlama-lama menemuinya. Sean harus banyak istirahat dan menjalani perawatan dokter yang lebih intens agar luka di perutnya cepat pulih. *** Tiga hari berlalu begi
Begitu Luna mengatakan ingin bertemu Jeremy, pengawal tersebut langsung menghubungi Matthew. Tak lama setelahnya, Matthew datang secara pribadi dan menyambut Luna. “Nona Luna, mari ikut saya!” Luna yang sebenarnya berusaha menekan ketakutan di dalam dirinya, mengangguk mantap dan mengikuti Matthew masuk ke dalam bersamaan Vania yang ada di sampingnya. Begitu masuk ke Villa Red Rose, jantung Luna seperti diremas oleh tangan besar dengan sangat kuat, itu sangat menyakitkan. Bayangan kekejaman Jeremy pada dirinya dan Sean beberapa kali terakhir ini kembali berputar di pikirannya. Luna bergidik ketakutan, tapi kerinduannya pada Xander mengalahkan segalanya. Lagi-lagi dia hanya bisa menekan ketakutan itu dan bersikap biasa saja. Matthew mengajaknya masuk ke lift pribadi yang langsung akan membawa mereka pada lantai empat. Tak lama, pintu lift terbuka dan sosok Jeremy yang tinggi dengan aura dingin di wajah tampannya menyeringai tipis seolah dia begitu buruk dalam menyambu