Keluarga Benalu 2
Kupandangi ruang tamu yang kacau balau sepeninggal Mas Ardan dan keluarganya. Bungkus - bungkus cemilan, botol minuman, kulit kacang dan kuaci berserakan dimana - mana. Lalu 3 buah koper besar teronggok di sudut. Salah satunya terburai keluar menandakan isinya telah ditarik paksa. Aku mengelus dada. Bik Sum meraih sapu dan mulai membereskan semua kekacauan ini.
"Nyonya dan nona - nona itu, apakah akan tinggal di sini Bu?"
Tanya Bik Sum. Aku mengerutkan kening.
"Panggil saja Bu Imas. Itu nama mertuaku Bik. Dan adik - adik Mas Ardan, Asti dan Ara. Tak perlu pakai Nona."
Jelasku tak suka. Aku sungguh tak suka ada yang meninggikan dirinya di sini. Bagiku Bik Sum sudah seperti keluarga.
"Mereka yang nyuruh saya panggi seperti itu, Bu."
Aku menggelengkan kepala.
"Saya Tuan rumah di sini. Dan saya yang membuat aturan. Bibik tidak perlu takut pada mereka ya." Aku tersenyum, berusaha menenangkan wanita setengah baya itu.
Bik Sum mengangguk. Aku meninggalkannya untuk menengok Aryan yang tengah tidur. Wajah tampan bocah 3 tahun itu mengingatkanku pada Mas Ardan. Ya. Mungkin aku bodoh karena jatuh cinta pada lelaki yang hanya modal tampang saja. Tak ada secuilpun kebaikan yang bisa kuambil darinya. Pun, dia yang tak berharta, terlalu sombong dengan gaji 5 juta sebulan, yang 70% nya dia berikan ke ibunya. Bagiku tak masalah. Gajiku sendiri jauh lebih besar. Tak terhitung simpanan dan barang berharga yang dia tak tahu.
Dia memang tak boleh tahu. Hanya rumah dua lantai ini yang Mas Ardan tahu sebagai warisan orangtuaku.
Ayah meninggalkan harta warisan yang cukup untukku hidup mewah tanpa bantuan suami. Selain itu kerja kerasku semenjak gadis tidak bisa dipandang sebelah mata.
Kalau kau menganggapku perempuan bodoh Mas, kita lihat saja sampai dimana anggapanmu itu bisa menghancurkan dirimu sendiri.
***
Usai sholat subuh, aku bergegas turun ke bawah. Seperti kebiasaanku, menyiapkan sendiri sarapan dengan bantuan Bik Sum. Tapi aku dikejutkan dengan penuhnya meja makan dengan beragam menu makanan yang berbeda. Biasanya kami hanya sarapan satu menu saja. Ditambah buah. Dan susu untuk Aryan. Tapi pagi ini, meja dipenuhi oleh aneka gorengan, sepiring roti bakar, nasi goreng dengan berbagai topping, dan salad buah yang berlumur keju kebanyakan.
"Ini permintaan Nyonya dan Nona - nona itu Bu." Jelas Bik Sum.
Aku menggeleng - gelengkan kepala. Baiklah. Tahanlah satu dua hari ini. Kita lihat sampai sejauh mana kalian bertingkah.
Aku tersenyum pada Bik Sum, menyuruhnya istirahat. Pasti sudah sejak sebelum subuh dia menyiapkan ini semua. Gegas, aku mengaduk susu untuk Aryan, lalu menuang jus buah untuk diriku sendiri. Setengah jam kemudian, barulah aku membangunkan Aryan, memandikan dan merapikannya sebelum Mbak Rina pengasuhnya datang jam 7 nanti.
Saat menarik kursi makan untuk Aryan, Mas Ardan datang dengan wajah cerah. Dia bersenandung dan tumben - tumbennya menyempatkan diri mencium pipiku dan Aryan. Lalu menarik kursi di kepala meja.
"Kamu bawa motor saja ya Nay. Atau naik taksi online. Aku mau pakai mobil." Ujarnya.
"Loh tidak bisa Mas. Aku tidak biasa naik motor dengan jarak tempuh cukup jauh. Lagipula banyak barang penting di mobilku."
"Ah, kamu pelit sekali. Aku perlu mau antar Mama belanja. Juga Asti mau lihat kampus barunya."
Aku menyipitkan mata, "Kamu tidak berangkat kerja Mas?"
"Sesekali bolos tak apa. Toh, kepala HRD nya temanmu kan?" Mas Ardan menowel pipiku. Aku menghindar dengan kesal.
"Justru karena dia temanku, Mas harusnya menjaga nama baikku. Setiap perusahaan itu ada aturannya Mas."
"Ah, kamu bawel sekali. Pokoknya hari ini aku mau pakai mobil." Tandasnya.
"Maaf Mas, aku ada rapat penting. Jadi Mas saja yang pakai taksi online."
Mas Ardan membanting serbet di tangannya. Membuat Aryan yang sedang meneguk susunya tersentak kaget. Kutenangkan deburan jantung yang mulai kencang. Aku tak boleh lepas kendali di depan Aryan. Kusuruh Bik Sum membawa Aryan ke taman belakang dengan senampan sarapan.
"Kamu benar - benar istri durhaka Nayma. Pembangkang. Sudah berapa kali aku menyuruhmu membeli mobil lagi. Kenapa sih kamu pelit sekali? Kamu kemanakan gajimu yang berjuta juta itu?"
"Kalau Mas ingin mobil, harusnya Mas beli sendiri donk. Kan selama ini aku hanya terima gaji Mas 1 juta rupiah. 1 juta! Mas pikir cukup uang segitu untuk biaya hidup kita? 1 juta itu hanya cukup untuk bayar pengasuhnya Aryan Mas."
"Kalau begitu pecat saja pengasuh Aryan. Tambahkan dengan gajimu. Aku mau kredit mobil."
Enak sekali dia bicara. Apa dia tidak memikirkan biaya hidup lainnya?
"Ada apa ribut - ribut?"
Perdebatan kami terpotong dengan kehadiran Mama. Di belakangnya, Asti dan Ara mengekor masih mengenakan baju tidur. Rambut awut - awutan. Mereka langsung menyerbu meja makan seolah - olah tak pernah melihat makanan selama sebulan.
"Tidak ada apa - apa Ma. Mas Ardan katanya mau ajak Mama belanja, jadi minta pesankan taksi online." Aku mendahului Mas Ardan menjawab pertanyaan Mama. Mas Ardan melotot.
"Loh, mobil Ardan kemana?"
"Itu mobilku Ma. Banyak Berkas penting di dalamnya. Jadi tak bisa sering - sering kupinjamkan. Mas Ardan belum punya mobil karena gajinya kan habis dia kirim ke Mama." Aku tersenyum.
Raut wajah Mas Ardan memerah. Aku segera pamit sebelum mendengar kata - kata makian. Lagipula, perutku mulas melihat cara gadis - gadis itu makan. Masih sempat kudengar kata 'pelit, sombong, dan perhitungan, entah dari mulut siapa. Terserahlah.
Setelah menitipkan Aryan pada Bik Sum, aku berangkat dengan hati sedikit waswas. Mungkin, aku harus sesegera mungkin menyiapkan mental untuk berperang.
***
Keluarga Benalu 3"Loh, itu suamimu kan Nay?"Aku menoleh, dan nyaris menyemburkan kopi yang baru saja kuteguk. Dari jendela lantai dua food court, dapat kulihat sosok yang sangat ku kenal, Mas Ardan bersama Mama dan adik - adiknya sedang memasukkan barang - barang ke bagasi mobil. Aku memalingkan wajah."Iya. Mama mertuaku baru datang kemarin sama adik - adiknya. Mas Ardan izin kerja untuk bawa Mama belanja." Terangku.Shandy mengangguk - angguk. Masih mengawasi parkiran dari tempat kami menikmati makan siang."Kalau yang itu siapa? Kok mesra banget sama suamimu?"Aku menol
Keluarga Benalu 4"Asti, Ara. Bangun!"Aku menggebrak gebrak meja keras. Kedua gadis itu bangun dengan gelagapan."Ada apa sih Mbak? Ngagetin aja." Sungut Ara. Direbahkannya kembali badannya di atas sofa. Sementara Asti duduk sambil menguap. Kutarik kembali tangan Ara, memaksanya duduk."Bereskan semua kekacauan yang kalian buat ini. Aku gak mau tahu sejam lagi semua harus bersih.""Astaga. Mbak kayak apaan aja. Kan ada Bik Sum. Apa gunanya punya pembokat kalo kerjaan rumah masih kita juga yang ngerjain." Cetus Asti tanpa sopan santun.Aku mendesis. Darahku rasanya mulai naik ke u
Keluarga Benalu 5Aku menikmati sarapan dalam diam. Segelas jus buah dan setangkup roti isi sudah cukup untukku. Di hadapanku, ada dua porsi sarapan yang sama, yang kutujukan untuk Mas Ardan dan Mama."Hanya ini sarapannya?" Mama tiba - tiba sudah ada di hadapanku.Aku mengangguk."Ya Ma. Silakan dimakan."Mama mendengus. Diamatinya roti di piring dengan raut kesal."Mama tidak suka roti. Dan kenapa cuma 2 porsi? Kamu tidak menyediakan sarapan untuk adik - adikmu? Mana Bik Sum? Dasar pembantu tidak tahu diri. Jam segini masih tidur. Bik Suuummm…!"
Keluarga Benalu 6Suara cekikikan dari lantai bawah membangunkanku. Aku melirik jam di atas nakas. Pukul 11 malam. Kelelahan telah membuatku tertidur tanpa sadar di kamar Aryan, memeluk bantal mcqueen kesayangannya. Mas Ardan pasti sudah pulang. Sejak Bik Sum pergi, dia meminta kunci cadangan agar tak perlu membangunkanku jika pulang malam.Perlahan aku keluar. Dari lantai atas dapat kulihat pemandangan di ruang keluarga. Ara yang tertidur di sofa. Entahlah kenapa anak itu suka sekali tidur di sofa padahal ada kamar yang sudah kusediakan. Lalu Asti yang tengah bermain gawai. Dan… Dania, yang tengah duduk tak jauh dari Mas Ardan. Mereka ngobrol sambil tertawa - tawa."Astaga. Anak gadis siapa tengah malam gini masih bertamu di rumah orang?"&n
Keluarga Benalu 7"Aku tidak ada hubungan apa - apa dengan Dania, Nay."Mas Ardan berusaha menenangkanku. Entah apa yang membuatnya melunak, tidak membentak dan membabi buta seperti biasanya. Mungkin dia memikirkan cicilan mobil yang dia pikir akan kubayar. Enak saja batinku. Biasanya jika Mas Ardan marah, aku harus merelakan beberapa barang di rumah hancur karena dia banting. Piring, gelas, vas bunga. Apa saja yang bisa dia raih."Ah, memangnya kenapa kalau kami dekat dengan Dania? Lagipula Dania itu pemurah. Tidak pelit. Dan dia juga sekarang sudah kaya." Desis Asti.Aku menatap semua yang duduk di meja makan. Sengaja ku kumpulkan mereka semua untuk pertama kalinya setelah 2 minggu nyaris membuat rumah
Keluarga Benalu 8Rate 21+Aku menatap wajah tampan itu lewat layar handphone milik Shandy. Rasa haru menyerangku mengingat sudah 6 bulan lamanya kami tak bertemu. Bang Azka mirip sekali dengan Almarhumah Ibuku. Terutama sorot tajam matanya yang selalu melembut tiap kali bicara padaku. Ya. Dia telah merawatku hampir sepanjang umurku. Ibu meninggal dunia saat aku kelas 6 SD. Ayah yang sibuk dengan bisnisnya seringkali terpaksa meninggalkan kami berdua bersama beberapa ART saja. Dia mengerti diriku bahkan lebih dariku sendiri."Kenapa matamu sembab? Kamu habis menangis? Apa yang dilakukan Ardan padamu?"Pertanyaannya bertubi - tubi. Aku tertawa."Aku me
Keluarga Benalu 9Pintu depan yang memang sejak tadi sengaja tak ku kunci, untuk berjaga - jaga atas kemungkinan terburuk, kini menjeblak terbuka lebar. Shandy diikuti dua lelaki berbadan tegap dan kekar masuk dan langsung menghampiri kami. Shandy berdiri di depanku, memposisikan dirinya dengan sikap melindungi. Sementara dua lelaki tadi berdiri di sisi kiri kanan kami."Berani sekali kau menyentuh adikku! Dasar lelaki baj*ngan!" Bentak Shandy.Wajah Mas Ardan merah padam. Ditatapnya aku dengan pandangan menghakimi."Jadi kau merencanakan semua ini, Nayma? Kau sengaja memasang kamera untuk memata - mataiku? Kau berkomplot dengan Shandy untuk menjebakku!"
Keluarga Benalu 10Dari teras rumah yang berjarak sekitar 10 meter ke pintu gerbang, dapat kulihat Mama, Asti dan Ara menggedor - gedor pagar dengan ribut. Pak Hasan, satpam yang biasa berjaga memang sengaja kuberi cuti. Aku tak ingin terlalu banyak orang mengetahui kemalanganku. Rasanya memalukan kalau sampai banyak orang tahu aku suamiku membawa selingkuhannya ke rumah, lalu bercinta di kamarku. Mas Ardan sendiri entahlah apakah masih punya malu atau tidak.Aku menyuruh Bik Sum membuka gerbang sebelum para tetangga berdatangan. Suara gedoran pagar dan teriakan mereka benar - benar merusak suasana."Astaga! Kenapa lama sekali? Kau mau membuat kami mati kepanasan?" Cecar Mama begitu menginjakkan kaki di teras. Mereka bertiga menghempaskan tubuh di sofa dengan waj