Laki-laki mana yang akan diam saja ketika tahu wanitanya bermain gil* di belakangnya. Rasanya terlalu bod*h jika dirinya hanya akan diam saja. Itulah yang ada di kepala Marwan. Selama ini ia selalu menuruti keinginan Inez semampunya, bahkan saat pandemi ia rela bekerja siang malam apa saja pekerjaan yang bisa menghasilkan uang di masa sulit itu. Namun, apa balasan perempuan itu? Sebuah rasa sakit yang bahkna sebelumnya tak pernah terpikirkan oleh Marwan. Watak Inez yang ingin selalu mementingkan pujian membuat perempuan itu begitu sulit menerima jika harus hidup susah, bahkan pernikahannya dengan Marwan pun terjadi karena uang. Ya, Marwan dulunya bekerja sebagai di sebuah supermarket dengan jabatan lumayan. Inez yang sebelumnya memiliki hubungan dengan Rio tiba-tiba meminta berpisah dari laki-laki itu kala kenal dengan Marwan, hingga akhirnya keduanya menikah tak lama setelahnya.Tatapan laki-laki itu nampak nanar. Tangan dengan kulit kasar itu mengepal kuat hingga buku-buku tanga
"Kau melac*r bersama bajing*n itu di sana tanpa ingat jika kau menzolimi kami di sini!"Plak! Sekali lagi tangan dengan telapak lebar itu terayun. Berusaha menumpahkan amarah yang tengah berada di puncak. "Kau gil*, Marwan!" bentak Inez sambil menutupi kedua pipi kemerahannya yang terasa panas dan nyeri. "Kau lebih gil*! Kerja kerasku selama ini sama sekali tak ada harganya di matamu. Selama ini aku berusaha bersabar dengan ulahmu yang tak pernah bisa menghargaiku sebagai seorang suami." Rahang kokoh milik laki-laki bertubuh tinggi itu mengeras. Tatapan matanya memerah, penuh kilatan amarah. "Sudah kukatakan aku ke rumah Tante Linda!" Inez setengah berteriak. Rio berbalik mengambil ponselnya di atas kasur. Mengacungkan foto mesra Inez dan Rio ke depan wajah perempuan itu. Inez menatap tak percaya. Kepalanya sibuk menerka ulah siapa yang telah membuatnya seperti ini. Namun, ia tak sempat menemukan siapa dalangnya ketika pertanyaan Rio kembali membuatnya tersudut. "Apa kau anggap
Kepala dengan rambut kusut-masai itu kian tertunduk. Inez tak memiliki keberanian untuk melawan. "Kau tau, dua petak tanah milik kita bahkan telah kujual demi memenuhi gaya hidupmu yang sangat berlebihan itu." Inez tersentak. Ia bahkan baru mendengar hal mengejutkan itu barusan. Perlahan wajah itu terangkat. Wajah dengan tanda lima jari di kanan kirinya yang masih belum hilang. "Maksud, Abang?" tanya Inez memberanikan diri. Wajahnya nampak menghiba. Namun, sama sekali tak ada iba di hati laki-laki itu. Marwan terlampau lelah, meski ia sendiri belum sepenuhnya yakin dengan jalannya ini. "Apa kau masih kurang yakin? Hitung saja berapa uang yang kau minta setiap bulannya padaku, hitung juga berapa penghasilanku. Apa kau pikir itu imbang?" Marwan membuang pandangan ke arah jendela. "Tapi, setidaknya Abang rembukan dulu kalau mau menjualnya." Inez menahan kesal. "Apa kau mau menurunkan gaya hidupmu jika aku menceritakannya padamu lebih dulu?" tanya Marwan sinis. "Jangankan untuk me
Setengah jam ia menunggu. Tak ada suara, hanya gemerisik alat-alat bergesekan dari dalam kamar ulah tangan Inez yang terdengar hingga ke luar. Marwan membisu sambil berbaring di sofa ruang keluarga. Satu tangannya ia letakkan di atas kening, sedang tangan lainnya diletakkannya di atas dada. Ingin rasanya ia terlelap dalam alam bawah sadar. Otak dan hatinya terlalu lelah hari ini. Namun, upayanya gagal. Hingga satu jam emudian ia tetap terjaga, terlebih ketika telinganya menangkap suara langkah kaki mendekat. Inez berjalan perlahan dengan koper di tangannya. Wajah perempuan itu masih terus ditekuk. Marwan berjalan mengambil kunci mobil yang ia letakkan di lemari TV, kemudian berlalu keluar menuju garasi di mana mobil satu-satunya terparkir di sana. Mobil yang dulu pernah berniat ia jual demi mengurangi operasional. Namun, Inez melarangnya dengan alasan ia akan malu jika bertemu dengan teman-temannya yang jauh lebih sukses daripadanya. Marwan masuk tanpa peduli Inez kesusahan memas
Inez kian membeku. "Jawab!" bentak laki-laki itu dengan tatapan nyalang. Yusra beberapa kali mencubit tubuh Inez dengan sangat keras, hingga Inez mengaduh kesakitan. Gigi perempuan berusia 55 tahun itu bergemeretak. "Tak bisakah kau melihat Ibu dan ayahmu ini tenang, Nez? Apa kau ingin kami mati berdiri karena ulahmu?" tanya Burhan setengah berteriak. Telunjuknya yang kini gemetar terarah tepat di wajah sang anak. Marwan tak sampai hati mendengar kalimat barusan. Tapi, ia mesti bagaimana? Bertahan pun percuma jika hati Inez untuk Rio. "Sudah, Yah, Bu. Lebih baik sekarang Ayah dan Ibu bertenang terlebih dahulu. Maafkan Marwan karena nggak bisa menjaga amanah Ayah dan Ibu lagi," ucap Marwan. Tatapannya luruh pada taplak meja berenda yang menyentuh kakinya. "Perempen seperti ini memang pantas diberi pelajaran!" ucap Yusra sambil menampar pipi sang anak. Air mata tak terbendung lagi, hingga akhirnya tumpah di pipi tuanya. "Kau tak pernah bersyukur bersuamikan laki-laki yang tak ban
"Oh, jadi sekarang udah pinter bandingin aku dengan si Hana cupu itu?" tanya Inez dengan alis terangkat. Rasanya begitu singkat kebahagiaan rumah tangga mereka. Sebulan lalu mereka menikah, kini mulai terasa membosankan. "Kau pikir saja sendiri. Hana dengan 3 orang anak, 2 di antaranya sudah sekolah. Ia bahkan harus membeli anak bungsunya susu berkilo-kilo dalam setiap bulan." Rio tak mau kalah. "Ya, karena Hana rela wajahnya lusuh karena tak tersentuh perawatan. Aku, mana mau? Kau sendiri yang mengeluh Hana tak sepintar aku dalam merawat penampilan, giliran dimintain duit aja, baru muji-muji mantan istrimu yang buluk itu." Inez mendengkus kesal. "Kau saja yang berlebihan. Kau pikir gajiku 100 juta perbulan?" Suara Rio kian meninggi. "Sudahlah, kalau pelit, ya, pelit aja, nggak perlu menceramahiku." Inez beranjak. Ia menghentak-hentakkan kakinya ke lantai kala berjalan menuju kamar. Brak! Pintu dibantingnya dengan kuat, membuat Rio tersentak. "Das*r perempuan gil*!" umpat Rio
"Bang Hakim …," ucap Hana dengan dahi berkerut. Ibu jari kanannya terarah pada laki-laki itu. "Hana Humayra," jawab laki-laki itu sambil terkekeh. Hakim adalah rekan kerjanya di kantor tour dan travel dulu. Tempat kerjanya saat sebelum menikah. "Masih kerja di tempat lama?" tanya Hana. "Nggak, Na. Setahun setelah kamu berhenti kerja, aku pun sama, sekarang kantorku dekat-dekat sini.""Kita bicara di sana, Bang," ucap Hana sambil menunjuk salah satu meja kosong. "Oke, siap." Tanpa menunggu lebih lama, laki-laki itu berjalan menuju meja yang Hana maksud. Hana mengekor di belakang. "Sukses kamu, Na. Sekarang udah punya usaha sendiri." Hakim berbasa-basi. "Syukurlah, Bang. Meski belum sesukses Abang," balas Hana dengan senyum ramah. "Nggaklah, Na. Oh, ya, nggak nyangka bisa ketemu di sini. Abang kira kamu ikut suami." "Nggak, Bang," jawab Hana singkat. Ia tak ingin memperpanjang pembahasan tentang hal itu. Hakim cukup paham. Ia berpikir mungkin Hana tak ingin membicarakan masal
Hening. Marni masih menunggu dalam diam. "Jadi bagaimana ini, Pak?" tanya Marni setelah beberapa menit tak menemukan jawaban. "Apa Ibu punya bukti kalau Inez memang meminjam uang pada Ibu?" tanya Rio akhirnya. Ia tak ingin asal mempercayai orang yang bahkan baru pertama kali berbicara dengannya. "Buktinya ada di hp saya, Pak. Hp-nya ketinggalan di rumah," ucap perempuan itu beralasan. "Baiklah, sebaiknya kita tunggu Inez pulang, Bu. Biar sama-sama enak." "Kenapa nggak langsung bayar aja, Pak. Saya udah kasih tau Ibu Inez tadi, kalau uang itu mau kupakai buat menjenguk ibuku besok. Tapi, Ibu Ines maksa, katanya malam ini sudah pasti dibayar," keluh perempuan itu. Rio mengusap kasar wajahnya. Belum selesai urusan perutnya yang kian keroncongan, ditambah lagi ulah istrinya itu yang membuatnya sakit kepala. "Yang minjam uang ke Ibu siapa?" tanya Rio dengan suara mulai meninggi. "I—Ibu Ines, Pak," jawabnya tergagap. Ia tak tahu jika tetangga barunya itu segalak ini. "Ya, sudah, ka