Hari-hari berlalu begitu cepat. Pada akhirnya hanya waktu penyembuh luka paling mujarab. Mita kembali pada kehidupannya, menjalani hari-hari menjadi seorang karyawan di sebuah perusahaan ritel yang menjadi sumber penghasilannya. Setidaknya saat ini Mita tidak lagi menjadi beban hidup untuk orang lain. Ia bisa mencukupi kehidupannya sendiri.Tidak terasa dua bulan telah berlalu setelah Mita mengunjungi kampung halaman Angga dan sampai detik ini Mita tidak pernah sekalipun bertemu dengan mantan suaminya. Entah semesta yang tidak merestui, atau semesta justru ingin menghukum Mita agar Mita bisa menghargai arti memiliki. Mita sibuk melayani pelanggan di meja kasir saat sahabat baiknya yang bernama Desi menghampiri."Di panggil pak Manager tuh," bisik Desi berdiri di samping Mita. Seketika wajah Mita berubah malas. Akhir-akhir ini manager Mita memang gencar mendekati Mita. Membuat Mita merasa risih."Ish, udah ayo!" Desi mendorong bahu Mita menyingkir dari tempat kasir dan menggantikannya
Lelaki yang pernah Membuat Mita nyaris gila karena cinta kini tengah duduk di sampingnya. Cukup lama, Satya dan Mita sama-sama saling terdiam. Bak dua orang asing yang tidak pernah saling mengenal. Melupakan jika mereka pernah memiliki mimpi terlarang yang sama.Ribuan kata berjejalan memenuhi isi kepala. Tapi tidak satupun ada yang terucap. Hanya berkecamuk di dalam benak. Tanpa mampu untuk diungkapkan. Mita mengepalkan kedua tangannya. Menahan amarah yang membakar dada. Ia merasa semua ini tidak adil, sangat tidak adil. Melihat pernikahan Satya baik-baik saja dan justru makin bahagia karena sebentar lagi Lidya akan memiliki keturunan, Mita tidak terima. Harusnya jika Mita kehilangan segalanya Satya pun juga demikian. "Bagaimana kabarmu?" ucap Satya setelah hampir lima menit tidak ada yang membuka pembicaraan."Kalau mau ngomong, ngomong aja. Aku tidak ada waktu," jawab Mita ketus. Tadinya Mita ingin menghindari Satya, tapi Satya menahannya.Satya menatap Mita penuh rasa bersalah.
Mita tertegun untuk sesaat. Tidak percaya mendengar suara tidak asing di seberang telepon."Halo, ini benar nomor Mita, kan?""Eh, i-iya Mas." Mita gelagapan. Mengatur debaran jantungnya yang tidak karu-karuan. Ia tidak bisa melukiskan perasaan bahagianya saat ini."Aku baik Mas," ucap Mita. Tanpa sadar bibirnya melengkungkan sebuah senyuman."Oh iya Mit, maaf ya kalau aku menghubungi kamu."'Iya Mas, tidak apa-apa.' Mita hanya mampu menjawab di dalam hati. Rasanya canggung sekali setelah sekian lama tidak pernah bersua. Sekalipun hati belum sepenuhnya lupa. Kenangan yang telah berlalu, serasa baru kemarin dilewati."Iya Mas.""Hari sabtu depan ada acara di sekolah Sifa yang harus dihadiri oleh kedua orang tua wali murid."Mita mengeryitkan kening. Ia baru ingat sudah hampir seminggu dirinya tidak sempat menghubungi putrinya. Karena kesibukannya di tempat kerja."Iya Mas, maaf, seminggu ini aku sibuk sekali dengan pekerjaanku. Jadi aku tidak sempat menghubungi Sifa." Mita merasa bersa
"Terima. Terima. Terima."Seluruh karyawan yang berada di tempat itu bersorak. Mita semakin bingung juga gugup. Baru kali ini ia dilamar langsung oleh lelaki yang sama sekali tidak ia cintai. Yang lebih membuat Mita syok, Pak Aji melamarnya di depan umum. Harusnya Mita bahagia, jika saja Mita memiliki perasaan cinta. Tapi sayangnya Mita tidak memiliki perasaan apapun pada Pak Aji.Mita menatap Pak Aji. Sesaat kemudian mencari keberadaan Angga dan laki-laki itu sudah raib di tengah-tengah kerumunan. Tidak hanya karyawan yang bekerja di store tempat Mita bekerja yang berkumpul. Tapi para pengunjung pusat perbelanjaan itu ikut berkumpul menyaksikan Pak Aji melamar Paramita."Di depan semau orang yang ada di sini, aku ingin mengungkapkan perasaan yang sudah sekian lama aku pendam, Mit." Ada ketulusan dari sorot mata Pak Aji."Mit, maukah kamu menikah denganku? Menjadi ibu untuk anak-anakku?"Hening. Mita membisu bagai patung. Ingin menolak, tapi
"Mama!"Mita berdecak kesal. Kedatangan Sifa yang muncul dari arah pintu rumah menghentikan obrolan antara dirinya dan Angga. Padahal Mita sangat penasaran sekali dengan jawab Angga. Apakah lelaki itu benar sudah memiliki kekasih pengganti dirinya atau belum.Sifa memeluk erat tubuh Mita. Netra Mita menatap lekat pada Angga yang berdiri tidak jauh di depannya. Berharap menemukan jawaban."Aku kangen banget sama mama," ucap Sifa tulus."Iya, mama juga kangen banget sama kamu, Nak." Mita mengusap lembut punggung Sifa. Pandangannya memindai Angga yang melemparkan senyuman ke arahnya. Sorot matanya teduh sama seperti dulu, tidak pernah berubah sama sekali. Salah satu yang membuat hati Mita luluh pada Angga."Sifa, ayo mandi sayang. Nanti kita terlambat." Angga menginterupsi setalah cukup lama Mita dan Sifa berpelukan. Gadis itu melepaskan pelukannya dari tubuh Mita.Mita menyunggingkan senyuman pada Sifa. Sedikit canggung, dan pura-pura ti
Mita sadar, sebenarnya ia tidak berhak ikut campur apapun dalam urusan kehidupan Angga. Apalagi terbesit rasa cemburu pada lelaki yang kini bukan lagi suaminya. Mereka memang masih menjalin hubungan baik karena adannya Sifa diantara mereka. Jika bukan karena Sifa, mereka layaknya dua orang asing yang tidak saling mengenal."Mit, ayo!"Mita tergeragap. Dalam hati merutuk kesal. Ia pikir bibirnya sudah berhasil mempertanyakan siapa wanita pemilik nama Alina itu, tapi nyatanya pertanyaan itu hanya terbersit dalam benak Mita belaka."Oh, iya Mas." Mita menyusul Angga masuk ke dalam gedung sekolah yang sudah ramai sekali."Kemana ya Sifa?" Mita bergumam pelan, seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Angga yang berjalan mensejajarinya dapat mendengar jelas suara itu."Itu di sana!" Angga mengacungkan jari telunjuknya ke arah panggung. Di mana Sifa dan teman-temannya sebentar lagi akan tampil.Senyuman mengembang dari bibir Mita saat pandangannya menemukan sosok yang ia cari."Mit, du
Kaki Mita seolah terpatri. Tidak mampu digerakkan sama sekali. Ia menatap pada wanita yang tengah menyambut hangat kedatangan Sifa. Dari caranya, terlihat sekali jika ini bukan pertemuan pertama mereka. Sudah ada pertemuan-pertemuan sebelumnya yang mungkin tidak Mita ketahui. Sifa terlihat sangat akrab, begitu juga sebaliknya. Hati Mita tercubit. Merasa keberadaannya sebagai seorang ibu terancam. Ia takut Mita lebih menyayangi wanita itu daripada dirinya.Pikiran-pikiran buruk berbisik begitu ramai memenuhi isi kepala Mita. Menambah sesak yang menghimpit dadanya.Angga yang berjalan lebih dulu dan menyadari jika Mita tidak mengikutinya menolehkan ke belakang punggung."Mit, ayo!" Angga menginterupsi. Menyadarkan Mita dari lamunan."I-iya!" Mita berjalan mengekori Angga. Untung saja penerangan di depan teras rumah Angga tidak terlalu terang. Hingga tidak ada satupun yang tau jika Mita sedang berusaha payah untuk memaksakan senyuman pada bibirnya. Menyembunyikan ribuan perasaan yang
Tut ... Tut ...Mita berdecak kesal. Nomor Menager yang menaruh hati padanya tidak bisa dihubungi. Lebih tepatnya lelaki itu tidak mau menjawab panggilannya. "Ayo dong Pak angkat!" gerutu Mita memburui. Tidak sabaran."Nomor yang anda tuju sedang sibuk. Cobalah ...."Mita mengakhiri panggilannya sepihak. Kesal, karena lagi-lagi suara operator yang menjawab panggilannya.Mita nyaris frustasi. Menatap pada layar ponsel miliknya. Tanda centang pada pesan yang ia kirimkan pada Pak Aji sudah berganti biru, tanda jika lelaki itu sudah dibaca pesannya. Tapi hal itu tidak lantas membuat Pak Aji mau menjawab panggilannya. Apalagi membalas pesannya. Entah marah atau kecewa, setelah lamarannya di tolak Pak Aji seperti sengaja' menjauhi Mita. Mita tertunduk pasrah. Bergelut dengan pikirannya sendiri. Harusnya saat Angga memutuskan untuk berpisah dengannya, saat itu juga Mita menyudahi rasa yang tersisa. Bukan malah menyimpannya yang justru mengundang ribuan luka.Suara canda tawa di luar kamar