"Nita, terima kasih sudah mau membantu. Mbak, benar-benar tidak tahu harus berkata apa lagi."Awalnya Tari berdalih pada Martin, kalau dia akan membeli sesuatu ke warung Nita, padahal sebenarnya dia ingin meminta Nita untuk menyusun sebuah rencana, agar dia bisa kabur dari rumah orangtuanya."Sama-sama, Mbak." Nita sedikit memutar bola matanya, memperhatikan sekitar. "Mbak, Mas Martin tidak tahu kamu pergi ke sini?""Dia tahu, tapi kamu tidak usah khawatir, soalnya Mbak bilang sama Mas Martin, kalau Mbak mau belanja ke sini.""Semoga saja, Mbak."Nita kemudian membuka pintu warung, mempersilahkan Tari untuk masuk, agar mereka bisa lebih fokus lagi dalam menyusun semuanya.Akan tetapi, meskipun begitu, mereka juga tidak lepas memperhatikan sekitar, takut nanti ada orang yang tiba-tiba datang dan mendengarkan semua rencananya."Iya, Nita dan rencanakan Mbak akan pergi hari Minggu depan."Nita terdiam selama beberapa saat, lalu tidak lama kemudian matanya membulat sempurna."Tunggu! Buka
"Terserah Ibu mau mengatakan apa tentangku, tetapi yang pasti aku tidak peduli."Kali ini Titi benar-benar geram dengan Nita, tetapi dia juga tidak ingin pulang dari sini dengan tangan kosong. Maka dari itu, Titi langsung mengedarkan pandangan ke seisi warung Nita, mencari sesuatu yang mungkin bisa diambil dari sini.Akan tetapi, tanpa Titi ketahui kalau Tari yang duduk di luar warung sudah menyadari niat buruk dirinya. Dari itu, Tari segera bangkit dari duduknya, kemudian melenggang ke hadapan Titi, berusaha menghentikan pergerakan Ibu mertuanya."Minggir, Tari! Apa yang kamu lakukan di depan sana," sentak Titi, tetapi tidak di hiraukan oleh Tari. Perempuan itu malah berpura-pura tuli sambil memilih beberapa sayuran, ketika Titi tidak henti-hentinya berteriak di samping telinga. "S*al*n! Minggir, Tari." Titi mendorong tubuh Tari dengan cukup kasar, hingga pinggangnya sedikit mengenai ujung meja.Tari meringis selama beberapa saat, tetapi tidak di hiraukan oleh Titi. Melihat hal t
Nita mengecek beberapa kontak yang ada di ponsel tersebut, sekaligus memastikan jika masa aktif kartunya masih panjang.Karena memang, sudah lama sekali Nita tidak menyalakan ponsel tersebut, untung saja baterainya masih banyak.Orang yang hendak pertama kali Nita hubungi adalah Om Herman, dia ingin memberitahukan pada orang itu, kalau untuk saat ini, dia akan memakai ponselnya yang dulu, karena sebuah alasan tertentu.Yaitu, Nita tidak ingin Fahmi menghubunginya selama beberapa waktu ini, dia masih begitu muak dengan pria itu.Sulit sekali bagi Nita untuk memaafkan sekaligus mendengarkan penjelasan Fahmi yang Nita yakini, semuanya berisi sebuah kebohongan belaka."Nita, sejak kapan kamu menggunakan nomor ponsel ini lagi?" tanya Om Herman, ketika sambungan telepon diantara mereka saling terhubung."Baru saja, Om. Aku malas berhubungan dengan
"Jadi, apa yang harus Om lakukan, Nita?"Nita menghela napas, kemudian menjatuhkan dirinya sendiri ke atas ranjang."Om, hanya perlu membantu Mbak Tari saja, membawanya pulang ke kampung halamannya, karena dengan begitu, aku bisa memastikan kalau dia selamat sampai tujuan.""Baiklah, kamu tinggal atur waktunya saja," balas Om Herman.Kedua sudut bibir Nita terangkat ke atas, akhirnya satu-persatu rencananya sudah tersusun dengan cukup matang. Dia hanya tinggal menghubungi Tari saja, membicarakan rencana yang baru dia susun."Aku minta, Om melakukannya dengan cukup baik, aku tidak ingin jika Mbak Tari gagal melakukan aksinya.""Kamu tenang saja, Nita, Om, akan mengerahkan anak buah Om untuk membantumu.""Terima kasih, Om. Agar lebih matang lagi, aku akan mengajak Om bertemu dengan Mbak Tari.""Itu jauh lebih bagus, Nit
Sudah hampir tiga hari, tiga malam Fahmi tidak bisa mengabari istrinya, dia benar-benar gelisah sampai tidak bisa memejamkan mata, padahal waktu sudah menunjukkan pukul dua malam.Fahmi berguling ke kanan, kemudian ke kiri, begitulah seterusnya. Hingga pada akhirnya, Fahmi mengerang, kemudian bangkit dari ranjang.Fahmi benar-benar tidak bisa, jika harus seperti ini terus. Dia rindu suara Nita dan Andika, hingga rasanya sulit baginya untuk terpejam, jika keinginannya itu belum terpenuhi.Tidak ada yang bisa Fahmi lakukan, selain mengambil ponselnya yang ada di atas ranjang, kemudian mencari nomor Nita, menghubunginya.Akan tetapi, nomor Nita tetaplah tidak aktif, perempuan itu sepertinya dengan sengaja mematikan ponselnya."Nita, tolong aktifkan ponselmu, aku begitu merindukanmu, Sayang," racau Fahmi sambil terus menelpon nomor Nita.Namun, semuanya nihil, ma
[Mbak, hari ini aku tunggu di depan gang, ya!]Tulis Nita di ponselnya, kemudian dia langsung menekan tombol kirim. Dirasa sudah cukup beres, Nita langsung meraih tasnya yang tergeletak di ranjang, kemudian melangkah menuju pintu kamar, membukanya secara perlahan.Sebelum menutup pintu, Nita sempat menatap Dika yang masih tertidur dengan cukup pulas.Nita terpaksa meninggalkan Dika pagi-pagi buta, dikarenakan harus bertemu dengan Om Herman dan Tari di restoran miliknya, untuk membahas tentang kepulangan Tari beberapa hari lagi."Astagfirullah!" pekik Nita, kala dia membuka pintu dan mendapati seorang wanita tengah berdiri di hadapannya.Nita membulatkan mata, tangannya mengelus dada yang terus berdegup dengan cukup kencang."Ya, ampun, Bu Zainal, ngagetin aja."Tanpa memiliki rasa bersalah sedikitpun, Bu Zainal malah terkekeh pelan, dia menggaruk lehernya yang tidak gatal."Maaf, Bu, barusan saya mau ketuk pintu, eh malah keduluan di buka, jadinya saya juga ikut kaget.""Aduh, maafin
"Kemungkinan lusa, Pak, saya sudah menyiapkan beberapa barang," jelas Tari.Kedua tangannya terlipat di dada, tatapan matanya tampak menerawang jauh, membayangkan hari yang sudah dia bayangkan sebelumnya.Om Herman mengangguk pelan, tangannya meraih gagang telepon, dia menempelkan benda itu ke telinga, kemudian menekan beberapa buah angka, "Halo, kamu sudah sampai ke restoran, 'kan?" tanya Om Herman melalui sambungan telepon."Sudah, Pak, ada keperluan apa, ya?" Orang yang ada di ujung sambungan telepon, segera merespon pertanyaan Om Herman."Bagus! Tolong segera antarkan minuman untuk tiga orang." "Baik, Pak."Karyawan yang tidak di ketahui namanya itu, segera mematikan sambungan telepon.Begitupun dengan Om Herman yang segera menyimpan gagang telepon ke tempatnya semula, kemudian menatap Nita dan Tari secara bergantian."Bagaimana kalau pergi sebelum azan subuh saja, biasanya orang-orang sedang pulasnya tertidur dan itu akan memudahkan langkah, Ibu Tari, juga.""Itu ada benarnya
Sontak, Om Herman langsung tersentak, kala pintu yang ada di belakangnya terbuka, sehingga ponsel yang ada di genggamannya jatuh ke lantai.Nita maupun Om Herman sama-sama terpaku, menatap ponsel yang sudah ada di atas lantai dengan keadaan telungkup.Nita meraih benda persegi tersebut, kemudian menatap layar ponsel yang menampilkan nama seseorang."Dia siapa, Om? Kenapa, Om sampai terkejut, ketika tahu ada seseorang yang membuka pintu?" tanya Nita dengan spontan, membuat Om Herman langsung menarik Nita untuk segera menjauh dari depan ruangannya."Dia orang suruhanku yang aku perintahkan untuk mengawasi rumahmu dan kamu tahu Nita, ada seseorang yang datang ke rumahmu tersebut."Nita langsung membulatkan mata ketika mendengar penuturan Om Herman, dia begitu panik, karena memang Dika dan Bu Zainal masih ada di rumahnya."Memangnya siapa orang tersebut?" "Dia ... suamimu.""Apa?!" pekik Nita sambil memicingkan mata.Nita terdiam sejenak, berusaha mencerna kata-kata Om Herman. Dia sediki