KSIBP 49 "Jangan pura-pura tidak mengerti, Mas, karena semua bukti mengarah padanya, dan menunjukkan kalau Mbak Amel memang bersalah. "Yani berusaha menyakinkan Yasa. "Benar, apalagi selama ini dia selalu berusaha untuk menipu kita semua dengan sikapnya yang pura-pura polos." Ibu ikut menambahkan. Yasa mengacak rambutnya frustasi. Sebenarnya dia sudah sedari lama menyadari ada yang salah dengan sikap Amelia, hanya saja ia tidak punya bukti dan masih tidak tega jika membiarkannya kembali luntang-lantung di jalanan. Ingin rasanya dia menentang semua ini dan menganggap tidak pernah ada yang terjadi, tapi tidak bisa dipungkiri kalau di hatinya hanya ada Qiera, dan anak-anak. Bahkan, beberapa hari ini dia selalu dihantui rasa bersalah yang dalam karena selalu tidak punya waktu kalau anak-anak mengajak untuk menghabiskan waktu bersama. "Jadi benar yang waktu itu Qiera katakan kalau kamu yang mengajak Qiera untuk bertemu?" Yasa bertanya tanpa melihat Amelia, karena hatinya sudah terlanj
KSIBP 50 Amelia dan Reno dibawa ke rumah Deri, dihadapkan kedua ayahnya yang duduk di kursi roda. Seperti yang diungkapkan Riko, ayahnya Deri ditabrak oleh Amelia hanya karena uang beberapa juta sebagai upah. Padahal kalau dia mau uang, Deri bisa memberikan dia nilai yang jauh lebih besar. "Gue serahkan mereka sama lu sesuai janji yang pernah gue ucap dulu!" Riko mendorong Reno dan Amelia sampai terjerembab di bawah kakinya Deri. Hanya beberapa detik, pemuda itu menunjukkan wajahnya yang kejam. Meski hanya beberapa saat, tapi sudah membuat kedua pelaku ketakutan. Karena mereka sudah tahu siapa pemain sebenarnya. Sejahat-jahatnya mereka berdua, tetap lebih besar kemungkinan Deri akan membalas mereka dengan cara yang berkali lipat sakit. Reno dan Amelia masih punya rasa takut yang tidak dimiliki Deri karena dia punya segalanya. Kali ini mereka berdua memasang wajah pasrah. Amelia hanya bisa meninggalkan pesan untuk anaknya Tiara karena kecil kemungkinan dia bisa keluar dari rumah
KSIBP 51 "Tidak! Tidak mungkin anakku melakukan hal yang begitu keji!" jerit Ibu, ia tidak terima kalau anaknya difitnah dengan kejam. "Telpon keluarga Qiera dan minta mereka untuk bertanggung jawab atas fitnah Riko!" titahnya. Yasa mengangguk cepat dan menelpon nomor siapa saja yang bisa dihubungi, tapi tidak ada yang mengangkat panggilannya. "Bagaimana ini, Bu?" Yasa melihat ibunya frustasi. "Ayo kita datangi Yani!" Ibu mengambil langkah besar dan membuka memutar kenop pintu, tapi tidak bisa. Pintunya dikunci. Yasa berlari kembali ke kamarnya untuk mengambil kunci cadangan yang tersimpan di lemari, tapi kunci itu tidak ada. Untungnya masih ada satu kunci lagi, tapi dia simpan di gudang. Jadi harus mencarinya lebih dulu dan itu membutuhkan waktu. "Tidak mungkin kalau anakku melakukan itu. Sekarang dia pasti sedang tidur dan mimpi indah, ya, pasti begitu." Ibu terus saja membayangkan kalau Yani ada di dalam dan sedang menikmati tidurnya. Beberapa saat kemudian Yasa kembali deng
Yani berjalan santai ke arah dapur, duduk, dan mengambil gelas yang kemudian diisi setengah air dingin, dan setengah air panas. "Ah, memang perut hanya akan membaik kalau sudah minum air hangat," lirihnya sambil mengusap perut yang terasa lebih enteng. Ia masih belum menyadari kalau dirinya sedang diintai oleh Yasa. "Untung saja kalau jam segini tidak ada orang di rumah, kayaknya Ibu juga sedang belanja di luar. Syukurlah, aku jadi pulang dengan keadaan selamat," gumamnya lagi dengan sangat bahagia.Yani berjalan dengan riang, tapi langkahnya langsung terhenti ketika melihat orang yang sangat dikenalnya, bahkan ia takuti ada tepat di depan pintu kamarnya. Yani melangkah mundur, tapi sebelum bisa berlari, tangan itu sudah menarik tubuhnya, dan menghempaskan tubuhnya ke lantai. "Sakit, Mas," rintihnya bersikap seperti tidak salah apapun. "Sakit kau bilang?" Yasa tersenyum menyeringai, dia berjalan ke arah lemari sepatu, dan mengambil sesuatu dari sana. "Dengan mudah kau katakan sak
"Kenapa? Apa kau pikir aku akan takut karena kau seorang pria dan aku wanita dengan dua anak kecil?" tantang Qiera membuat pria itu tertawa. "Tentu saja. Bukan hanya aku, semua orang yang punya niat jahat pasti akan berpikir hal yang sama, bukan?" Pria itu berusaha untuk menarik tangan Ziron, tapi pengawal Qiera tiba-tiba berlari ke arahnya, dan menendang lelaki itu. Qiera berjalan ke arahnya dan menunduk, "Sayangnya aku bukan wanita yang ada di khayalanmu. Sebaiknya kau cari tahu dulu tentangku sebelum membuat gara-gara," tandasnya membuat pria itu tidak bisa berkata-kata lagi. "Oh, ya, bukankah kau adalah wanita yang membawa Yani kemarin? Tapi kenapa tadi kau bermesraan dengan wanita lain?" tanya Qiera hanya untuk menggertaknya saja. Melihat beberapa pengawal yang berada di sisi kiri dan kanan Qiera, pria itu langsung berlari menjauh ketakutan. "Kalian kembali jaga jarak, nanti langsung bergerak kalau di antara kali ada yang tidak beres. Terutama anak-anakku!" titah Qiera. Me
"Kurang ajar!" Yasa masuk dengan amarah yang memuncak, sementara ibunya di antar kembali oleh pengawal Qiera ke ruangannya. Tubuh Yani gemetar, dia benar-benar takut ketika melihat Yasa tiba-tiba masuk, dan mendekat ke arahnya. "Ampun, Mas, aku akan mengembalikan semuanya nanti." Yani menutupi wajahnya dengan kedua tangan, tapi Yasa berhasil menarik tubuhnya sampai jatuh ke lantai. "Kau tahu, Bapak akan semakin marah melihatmu seperti ini! Dan ya, aku tidak apa-apa jika kau memang menginginkan emas dan uangku, tapi bagianmu akan menjadi milikku!" bisik Yasa dengan penuh penekanan. Yani mencoba mendorong Yasa, tapi gagal. "Jangan serakah, Mas. Walau bagaimanapun anak Bapak cuman ada kita, kalau memang kamu tidak mau punya saingan, langkahi dulu mayatku!" tantang Yani. Yasa terbahak, ia menatap adiknya dengan senyuman yang spesial. "Tadi bahkan aku sudah akan berhasil membunuhmu dan kali ini pun bisa asal aku menginginkannya. Satu hal yang pasti, Bapak tidak mungkin menganggapmu an
Belum sempat Yani mendekat, Angkasa menendang punggungnya sampai dia terjatuh tepat di bawah kaki ibunya. "Kenapa, kamu mau pel lantai?" tanya Ibu dengan wajah bahagia. "Segeralah lakukan, lebih cepat lebih baik. Yani melebarkan matanya. "Tidak, ini sudah hampir gelap, untuk apa pel rumah. Lagipula aku bukan orang yang suka mengerjakan pekerjaan rumah," bentak Yani tidak terima. "Apa yang kau bilang barusan?" Ibu menghentikan aktivitasnya menghitung uang dan menarik rambut Yani hingga ia mendekat ke arah ibu mertuanya. "Siapa kau di sini sampai berani mengambil keputusan? Anak sulungku saja tidak berani, tapi kau yang baru masuk langsung menentang?" Yani ketakutan dengan senyuman ibu mertua yang berbeda ketika dirinya dan Angkasa masih berpacaran. "Takut? Mau kena tangan apa kaki ini wajah?" tantang ibunya lagi. Yani melepas tangan ibu yang entah sejak kapan sudah ada di lehernya dan membuatnya tidak bisa bernapas dengan baik. "Arrgh ... tolong!" teriaknya, tapi sayang yang ting
KSIBP 56"Woy, bangun! Jangan kebo, ayo lakukan pekerja dapur!" Suara pintu kamar yang ditendang Angkasa sambil berteriak membuat Yani terbangun dari tidurnya. Ternyata dia menangis semalaman sampai tidur dalam keadaaan ini. Yani menghembuskan napas lega ketika pintu masih terkunci. Setidaknya Angkasa tidak langsung masuk dan menyeret tubuhnya keluar. Yani hanya bisa tersenyum miris ketika sadar kalau hal ini bukanlah mimpi. Dia memang sudah masuk ke lingkungan orang-orang yang katanya dulu sangat menyayanginya itu, tapi sekarang perlakukan mereka berbanding terbalik. "Woy, bangun!" Angkasa kembali berteriak. "Iya, sebentar!" Yani menyahut dari dalam kamar. Sekarang ia tahu apa itu perjuangan mendapatkan hati suami dan mertua seperti yang dilakukan Qiera, tapi tetap saja ada benci di hatinya kepada mantan istri kakaknya itu Yani berpikir kalau Angkasa dan keluarganya mungkin memperlakukan dia hanya sementara. Apalagi kalau tahu Yani ternyata benar orang kaya, tapi pikiran ba