Semua file bukti kebohongan Claudia sudah kusiapkan dengan baik. Ini juga berkat bantuan Mas Firman —asisten pribadi Mas William— yang diam-diam bantu menyelidiki. Memang aku sengaja tak memberitahu Mas William soal rencana ini. Saat itu, dia sedang banyak pikiran dan sibuk mengurus bisnis. Sampai-sampai dengan mudahnya memberikan uang tanpa berpikir dulu.Maka dari itu, biarlah kuman kecil seperti Claudia kutangani sendiri. Suami istri memang harus saling bahu membahu termasuk dalam membasmi bibit-bibit penyakit dalam pernikahan."Permisi, Bu."Aku menoleh pada Bi Yatmi yang berdiri di depan pintu yang memang terbuka lebar. Kuletakkan lipstik, lalu berdiri dan berjalan menghampirinya."Ya, Bi.""Tamunya sudah datang, Bu."Aku tersenyum. "Persilakan masuk dan sajikan minum.""Baik, Bu." Bi Yatmi mengangguk paham, lalu kembali ke lantai bawah.Aku berjalan ke kamar Hafsha untuk memanggil Mas William yang sedang bermain bersamanya. Hafsha sempat merengek minta ikut, tapi berhasil kubuju
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Niat awal memang ingin melahirkan secara normal lagi, tapi ternyata tidak memungkinkan. Kali ini, dokter menyarankan agar menjalani operasi caesar demi keselamatanku dan bayinya. Akhir-akhir ini, tekanan darahku sering tidak stabil dan cenderung tinggi. Sampai Mas William dan orangtuanya panik sendiri takut terjadi apa-apa padaku.Aku pun tak bisa keras kepala. Jika memang melahirkan secara caesar adalah jalan terbaik, maka akan kulakukan.Tanggal sudah ditentukan dan kini semua persiapan sudah selesai. Jujur, aku sangat gugup karena ini pertama kalinya akan menjalani operasi. Bahkan kedua tanganku sampai gemetar, tapi Mas William dan orangtuanya selalu ada untuk menguatkan dan menenangkan."Dengar." Mas William menangkup lembut kedua pipiku. "Ada mas di sini. Enggak akan terjadi apa pun padamu atau bayi kita. Ok? Kamu harus rileks. Jangan sampai tensi kamu naik terus. Hm?"Aku mengangguk dan mencoba mengatur pernapasan."Berdoa, ya, Nak." Mama mengusap
"Ini Mira, Dek. Kami baru saja menikah pagi tadi," ucapnya dengan mantap. Tak tersirat sedikit pun dari nada bicaranya dia merasa bersalah.Aku bergeming."Dek?" panggilnya lagi karena melihatku hanya diam sembari tetap sibuk mengotak-atik ponsel. "Aku sedang bicara denganmu, Dek. Kamu enggak dengar?""Dengar, kok," sahutku santai. Melirik sekilas, lalu kembali sibuk dengan ponsel."Aku sudah menikah lagi, Dek." Dia mengulang kalimatnya dengan suara lebih tegas."Hm, terus?" Kini aku menatapnya tenang. Meletakkan ponsel di pangkuan, lalu bersedekap.Bang Leon dan wanita bernama Mira itu saling menatap bingung. Aku hanya tertawa dalam hati.Apa dia pikir aku akan menangis-nangis? Bersujud memintanya agar menceraikan wanita itu dan kembali padaku?Halah, mimpi saja kamu, Bang!"Kamu enggak marah, Dek?" tanyanya tak percaya."Kenapa aku harus marah? Baguslah kalau Abang sudah menikah lagi," ujarku cuek. Mengambil toples camilan di meja, lalu memakan keripik singkong yang ada di dalamnya.
Aku setia menemani saat perusahaan tempat Bang Leon bekerja bangkrut. Hingga akhirnya, dia pun dipecat. Berbulan-bulan dia menganggur hingga akulah yang harus banting tulang mencari uang. Rela menjadi buruh cuci, juga berjualan donat keliling hanya agar kami tetap bertahan meski dalam keadaan sulit.Saat itu Bang Leon begitu kesulitan mendapatkan pekerjaan baru. Sementara, tawaran pekerjaan lain seperti menjadi tukang bangunan atau ojek ditolaknya hanya karena gengsi. Aku pun tak pernah mempermasalahkan itu. Merasa wajar karena dia belum terbiasa dengan pekerjaan itu semua.Suatu hari, aku diterima di perusahaan besar dengan gaji yang lumayan. Meskipun begitu, aku dengan sukarela mengundurkan diri hanya karena dia cemburu dengan atasan di perusahaan itu. Padahal, kami tidak ada hubungan apa pun. Meskipun, kuakui pria itu memang baik dan sering membantu.Keadaan ekonomi kami mulai bangkit dari keterpurukan ketika dia diterima kembali di sebuah perusahaan sebagai staf keuangan. Akan tet
"Apa aktingku tadi sangat bagus, Bang?" Aku tersenyum miring sembari mengedipkan sebelah mata."Akting? Maksudmu?""Yaa akting, Bang. Pura-pura. Masa gitu aja enggak ngerti." Aku terkekeh dan duduk di lantai sembari menghapus sisa-sisa air mata."Jadi, yang tadi itu beneran cuma bohongan?""Ya iyalah, Bang. Masa iya aku harus nangis mohon-mohon cuma gara-gara kehilangan Abang. Tadi itu, aku cuma praktekin adegan yang ada di sinetron kalau tahu suaminya nikah lagi atau selingkuh."Bang Leon jatuh terduduk. Tatapan itu terlihat kecewa. Raut wajahnya seakan tak percaya kalau semua yang kulakukan tadi hanya sebatas pura-pura.Aku memasang raut wajah santai, lalu berdiri kembali."Ckckck, laki-laki di dunia ini enggak cuma kamu, Bang. Masih banyak di luaran sana yang pastinya mau menerimaku dengan tulus dan setia. Toh, aku juga masih seksi dan cantik biarpun sudah melahirkan Alva," ucapku untuk memanas-manasinya."Candaanmu itu enggak lucu, Dek." Dia menatapku tajam."Masa? Buatku lucu, tu
Bang Leon sempat terdiam memandangku, tapi hanya sebentar."Ooh ...." Bang Leon tersenyum mengejek sembari mengangguk-angguk. "Jangan-jangan, kalian ini memang ada hubungan spesial, ya? Kamu ngotot minta cerai begini karena mau nikah sama duda itu, 'kan? Ngaku aja!" sergahnya sembari mengikis jarak di antara kami. Sorot penuh amarah dan cemburu itu terlihat jelas di matanya."Jangan munafik kamu, Dek! Selama ini, kamu bersikeras kalau kalian enggak ada hubungan apa-apa. Tapi kenyataannya semua itu bohong, 'kan? Kalian diam-diam menusukku dari belak—"Wajah Bang Leon berpaling saat tamparan keras berhasil mendarat di pipi kanan. Saking kerasnya sampai telapak tanganku terasa panas dan bergetar. Ini pertama kalinya aku memukul pria yang saat ini masih berstatus suami."Jaga bicaramu, Bang!" tegasku pelan, tapi penuh penekanan. "Jangan samakan aku denganmu yang gampang mengobral cinta! Aku bukan Abang yang dengan mudahnya mengingkari janji suci pernikahan! Tega sekali Abang memfitnahku b
Pagi Hari aku sudah rapi, begitu juga dengan Alva. Kuciumi wajahnya sambil bermain di atas ranjang. Sengaja tak turun lebih dulu. Biarkan saja istri barunya itu yang sibuk berkutat di dapur.Pukul setengah tujuh pagi, aku baru turun. Aku melongo tak percaya saat melihat suasana rumah masih sepi. Kamar pengantin baru pun masih tertutup rapat. Kulihat Bang Leon masih tertidur pulas di sofa dengan mulutnya yang sedikit terbuka. Bahkan, televisi pun dibiarkan menyala.Kayaknya asyik, nih, dikerjain. Kalau aku masukin garam ke mulutnya pasti seru! Tapi jangan, deh. Kasihan juga. Pasti Bang Leon baru bisa tidur menjelang pagi. Sukurin!Kubuka semua tirai yang masih tertutup rapat, lalu mendudukkan Alva di karpet di depan televisi. Mengambilkannya banyak mainan dan memutar acara kartun. Biasanya, dia akan tenang jika menonton acara kesukaan."Main yang anteng, ya, Sayang. Mama mau siapin sarapan dulu." Kukecup kepalanya, lalu pergi ke dapur.Aku sibuk menyiapkan bumbu nasi goreng sambil sese
Aku masih berada di kamar menyusui Alva. Buah cintaku bersama Bang Leon yang sama sekali dia tak ingat bagaimana perjuangan kami agar Alva terlahir selamat ke dunia ini. Begitu pentingnya istri baru itu sampai-sampai setiap perkataannya seolah tak peduli sedikit pun dengan perasaanku.Bukankah aku Lusi? Wanita yang tegar dan kuat meski dikhianati?Namun, bulir bening yang susah payah ditahan ini masih tetap luruh juga. Aku tak pernah terpikirkan jika pernikahan kami akan mengalami ujian seberat ini. Tak pernah menyangka akan hadir sosok wanita lain di rumah tangga kami. Hati ini sakit membayangkan bayi yang tidak berdosa ini sebentar lagi akan mendapatkan kasih sayang yang pincang.Aku merasa begitu jahat, tapi ini juga demi kesehatan mental. Diriku bukanlah wanita super sabar di luaran sana yang rela membagi cinta dan keringat suaminya. Aku hanya ingin tetap waras supaya bisa membesarkan Alva tanpa derita dan luka. Tidak ingin lumpuh karena luka itu hingga akhirnya mati perlahan.Kuu