Ketika kami tiba di ruangan, Ibu tengah menyuapi Bang Leon dengan bubur. Ketiganya tersenyum melihat kedatanganku. Usai menyuapi putranya tersebut, kami sarapan bersama dengan bekal yang dibawa dari rumah. Termasuk Mas William karena aku juga membawakan untuknya.Usai sarapan, Ibu dan Bapak pamit membawa Alva ke taman rumah sakit. Meninggalkan aku dan Mas William bersama Bang Leon di ruangan ini."Kenapa nomor Abang enggak aktif semingguan ini?""Ponsel Abang hilang, Dek. Maaf.""Pantesan. Terus, Abang enggak pegang hape lagi, dong."Bang Leon menggeleng."Ya sudah. Nanti Aku belikan Abang hape baru.""Enggak usah, Dek. Nanti abang beli sendiri kalau sudah dapat kerjaan baru.""Terus, kenapa Abang bisa sampai luka-luka dan kena tusukan pisau, Bang? Apa Abang dihadang penjahat?" tanyaku penasaran.
Mungkin aku sempat ragu dengan keputusan yang harus diambil, tapi sekarang tidak. Rasa takut dan trauma dengan kegagalan harus dibuang jauh-jauh. Jika terus memikirkan akibat atau masalah yang belum terlihat jelas oleh mata, sampai kapan pun aku tidak akan pernah menjadi orang yang berani.Dalam mengambil setiap keputusan, jangan hanya melibatkan satu hal saja, tapi harus seimbang. Ikuti kata hati, tapi jangan lupa bawa serta logika. Sudah cukup aku berjuang untuk Bang Leon yang telah menjadi masa lalu. Kini, saatnya aku berjuang untuk masa depan sendiri.Aku bergegas turun setelah selesai bersiap untuk pergi makan malam. Mas William sendiri ternyata datang menjemput lebih awal. Dia menunggu di bawah sembari menjaga Alva."Mas."Mas William yang tengah menunduk sambil tertawa bersama Alva seketika menoleh. Menelisik penampilanku dari ujung rambut sampai kaki. Rambut panjang kubuat curly dengan polesan make-up tipis dan lipstik nude. Dress hitam sebatas lutut tanpa lengan yang sengaja
"Mas, aku ....""Enggak apa-apa." Mas William memotong ucapanku. "Aku sudah janji, bukan? Apa pun keputusanmu, aku akan menerimanya dengan lapang dada. Aku sudah tahu dan bisa menebaknya, kok. Sudah kuduga kalian pasti kembali bersama. Aku tahu kalau kalian masih saling mencintai satu sama lain." Dia tersenyum, tapi tak berhasil menyembunyikan kesedihan yang terpancar dari sorot matanya.Sementara, aku malah tertegun dengan semua perkataannya tersebut.Dia ... salah paham."Mas." Aku dengan cepat menahan tangannya yang hendak mengambil kotak cincin itu.Mas William menatap bingung padaku yang mengulum senyum. Kutarik kotak cincin itu kembali, membukanya, lalu menyematkan cincin indah berhiaskan mutiara di jari manis ini.Mulut Mas William sontak terbuka sedikit, pun matanya mengerjap pelan beberapa kali. Sejenak dia seakan terhipnotis de
Sebulan telah berlalu. Saat pertama kali bertemu dengan orangtua Mas William, mereka sangat ramah dan welcome. Tak memandang status sosial walau mereka berasal dari keluarga berada. Ketika berkunjung ke rumahnya, aku juga baru tahu wajah putra semata wayangnya Mas William yang bernama Alex dari foto. Usianya tujuh tahun, tapi dia tinggal bersama mamanya di Singapore.Sejak keluar dari rumah sakit dan kondisi luka tusuknya membaik, Bang Leon jadi sering berkunjung untuk menemui Alva. Bahkan, hampir setiap hari dan terkadang ikut menumpang makan. Syukurlah baru seminggu ini dia diterima bekerja di sebuah perusahaan walau hanya sebagai karyawan biasa. Setidaknya, dia bisa kembali mengurus dirinya sendiri karena Ibu dan Bapak sudah kembali ke kampung."Gugatan cerai sudah abang ajukan, Dek. Sudah tahap sidang pertama, tapi Mira enggak datang," ujarnya saat aku tengah menyiram tanaman, sedangkan dia menemani Alva di teras bersama kucingnya."Malah bagus begitu, Bang. Lebih cepat prosesnya
Waktu terasa berjalan cepat. Hari di mana aku akan resmi dipersunting Mas William akhirnya tiba. Sudah kuusulkan untuk menikah secara sederhana saja, tapi orangtua Mas William keberatan. Mereka tetap ingin mengadakan pesta dan mengundang semua rekan bisnis, juga karyawan perusahaan.Ibu dan Bapak pun tak lupa hadir. Mereka bersikap lapang dada saat mendengar keputusanku untuk menikah lagi dengan pria lain. Berbeda dengan Bang Leon. Dia memang tetap datang berkunjung menemui Alva, tapi tak pernah sepatah kata pun terucap dari mulutnya. Dia diam seribu bahasa. Hanya berbicara pada Alva dan berusaha keras menghindari kontak mata denganku."Lusi."Aku yang tengah dirias pun sontak menoleh saat mendengar suara Ibu masuk ke ruangan ini."Kamu cantik sekali, Nak," puji Ibu dengan mata berbinar."Makasih, Bu." Aku tersenyum bahagia. "Oh, ya. Ada apa, Bu?"
Akad nikah berjalan dengan lancar meski hatiku gelisah tak karuan. Sesekali menyeka air mata yang tidak mampu terbendung. Aku takut Bang Leon nekat melakukan sesuatu jika tahu kami tetap menikah. Akan tetapi, bukankah Alva anak kandungnya? Mana mungkin dia tega melukainya, bukan?"Tenanglah."Aku menoleh saat merasakan genggaman lembut di jemari. Kami tengah berada di tengah acara resepsi dan sedang menyalami para tamu sambil sesekali berfoto. Memaksakan diri tersenyum walau hati kecil tak bisa bohong."Bagaimana aku bisa tenang? Anakku enggak ada. Apa Mas pikir aku bisa tetap tersenyum ceria?" Aku balik bertanya dingin seraya dengan cepat menyeka air mata saat melihat ada tamu kembali mendekat.Jujur, aku agak kesal dan kecewa karena Mas William dan keluarganya tetap ingin acara ini dilanjutkan. Padahal, aku sendiri tidak bisa tenang selama belum mengetahui di mana keberadaan Alva dan Bang Leon.Namun, jika dipikirkan kembali, wajar mereka ngotot melanjutkan acara. Semua sudah dipers
Bang Leon dijaga oleh tiga pria berbadan tegap dan besar. Dia yang tengah mencoba menenangkan Alva yang menangis di gendongannya pun, seketika menoleh saat mendengar suara nyaringku."Dek ...." Dia berdiri dan menatap takut padaku yang melotot tajam kepadanya.Dada ini bergemuruh hebat. Kepala dan wajah terasa memanas seperti mau meledak karena emosi ini. Dengan cepat kurebut Alva dari gendongan Bang Leon, lalu memberikannya pada Mas William yang berada di belakangku."Dek, aku—" Ucapan Bang Leon terpotong saat tamparan keras dariku mendarat tepat di pipi kanan sampai wajahnya berpaling. "Dek, ma—"Lagi. Untuk kedua kalinya, tamparan kembali kulayangkan di sebelah kiri hingga kedua pipinya itu kini memerah."Teganya Abang melakukan itu padaku!" desisku dengan mata terasa menghangat karena air mata.&n
~POV William~🍁🍁🍁Aku tahu Lusi panik dan cemas karena Alva hilang dibawa Leon. Wanita yang kini telah sah menjadi istriku itu juga sedikit marah dan kesal karena keluarga sepakat tetap melanjutkan acara pernikahan. Sejujurnya, aku tidak masalah jika ditunda. Apalah artinya uang dibandingkan kebahagiaannya.Namun, nama baik perusahaan dan Papa menjadi taruhan. Oleh karena itu, terpaksa aku mengesampingkan hal lain, yang penting pencarian terhadap Alva tetap dilakukan. Papa mengerahkan orang bayaran kepercayaannya untuk berpencar mencari Leon yang dengan sengaja membawa Alva kabur. Dia seperti itu hanya agar Lusi membatalkan niatnya untuk menikah denganku.Kekanak-kanakkan, bukan? Pria itu dulu sudah menyia-nyiakannya, tapi sekarang dia malah tidak bisa menerima kalau Lusi sudah move on.Apa Leon lupa bagaimana teganya dia menduakan Lusi dan lebih memilih wanita yang hanya memeras uangnya?Aku pun pernah berada di posisi yang sama seperti Lusi, sama-sama dikhianati oleh orang yang d