"Ayo! Kok kamu malah melamun. Mau tidur di sini?" goda Rendy. Rena kembali sadar dan menggeleng pelan.**"Kamu lapar, gak, Ren? Kita makan dulu, yuk!" ajak Rendy saat sudah di dalam mobil. Rena menoleh pada lelaki di belakang kemudi."Saya tidak lapar, Pak. Terima kasih," jawab Rena."Apa kamu keberatan jika menemani saya makan dulu? Saya lapar sekali." Rendy beralasan, karena sebenarnya dia menyadari jika suasana hati Rena sedang tidak baik. Dia ingin sedikit menghiburnya."Ah, tidak, Pak. Silakan saja jika Bapak mau makan dulu," jawab Rena. Rendy tersenyum bahagia, karena wanita di sebelahnya menerima tawarannya.Akhirnya Rendy memilih sebuah restoran khas sunda. Dia sengaja memesan banyak makanan untuk Rena.Sesaat setelah menikmati makanan di depannya, Rendi melirik pada Rena yang hanya memainkan sendok di piringnya. Nafsu makannya hilang seketika, saat melihat gadis di depannya malah melamun."Ren....""Eh, iya, Pak?" Rena tampak kaget dengan teguran Rendy."Boleh saya tanya ses
Dia berjalan terseok ke arah pintu dan segera membukanya. Matanya terperangah saat melihat orang yang berada di balik pintu."Bapak? Maaf, sepertinya hari ini saya tidak bisa masuk. Mungkin pesan saya tidak sampai," ucap Rena parau. Tubuhnya limbung, untung saja dengan sigap Rendy menahan tubuh kurus itu."Ayo kita ke dokter," ujar Rendy. Rena menggeleng. "Tidak usah, Pak. Nanti juga baikan.""Kamu ngeyel, ya. Kondisi sudah begini masih saja bandel. Ayo saya antar kamu ke dokter."Akhirnya Rena pun menurut. Dia memang sudah merasa tidak kuat, tapi rasa canggung terhadap atasannya itu membuatnya malu.Rena berjalan dipapah oleh Rendy menuju mobil yang terparkir di pinggir jalan. Untung saja jaraknya tidak jauh.Rendy segera membawa pegawainya itu ke klinik terdekat. Sebuah klinik kecil. Namun terlihat nyaman. Beberapa pasien terlihat sedang mengantri. Rendy segera mendaftar, sementara Rena duduk di kursi penunggu. Beberapa saat kemudian nama Rena dipanggil. Rendy dengan hati-hati mem
Dua bulan berlalu, Rena mengalami morning sickness yang cukup berat. Rendy dan Dewi membantunya melewati masa-masa terberat dalam kehidupan Rena. Kondisi tubuh yang ringkih, tanpa seorang suami. Beruntung ada Rendy juga Dewi yang mau menyiapkan segala kebutuhan Rena.Sekilas Dewi bisa melihat sikap Rendy yang begitu perhatian pada Rena. Dia bisa menyimpulkan jika lelaki itu menaruh rasa pada Rena. Rendy memang orang yang baik, tetapi sebuah rasa memang sulit untuk disembunyikan. Terlebih, baik pada seorang wanita yang sedang hamil yang bukan anaknya."Ren, kamu gak papa ninggalin toko?" tanya Dewi pada Rendy di suatu sore."Nggak, kok. Kan di toko masih ada yang jaga. kasian Rena, dia hidup sendiri. Aku tidak mau sampai dia merasa ingin membunuh janinnya lagi," ungkap Rendy."Apa? Dia mau menggugurkan janinnya?" Dewi tersentak kaget, saat mendengar penuturan dari Rendy."Iya. Dia sempat berpikir begitu. Aku bisa mengerti kondisinya. Karena itu, aku menawarkan pada dia untuk menikah de
"Tidak usah memikirkan pendapat orang lain, Rena. Yang menjalani hidup itu, kan, kita. Kalau boleh saya minta, panggil saja saya Mas," pinta Rendy dengan wajah memerah. Rena bisa melihat itu. Dia sungguh merasa tidak enak dengan semua kebaikan Rendy. Namun, jauh di dasar hatinya, dia masih belum bisa melupakan mantan suaminya.Pandangan Rena tersentak, saat melihat sepasang laki-laki dan perempuan yang juga memasuki area parkir. Rena hendak bersembunyi, tapi wanita di seberang sana sudah keburu melihatnya. Selina melangkah mendekat pada Rena."Hai, Rena, apakabar?" ucapnya berbasa-basi. "Wah ... wah ... sepertinya kamu sedang hamil?" tanyanya seraya menatap bergantian pada Rena dan Rendy."Perasaan kamu baru saja cerai dari Eric, tapi kehamilanmu sudah sebesar ini. Apa jangan-jangan kamu jual diri lagi?" telisik Selina dengan tatapan mengejek. Rena melengos."Rena?" sapa Dokter Fredy yang ternyata mengekori Selina. Sekilas dia pun menatap heran pada perut Rena yang hanya berbalut dres
Kehamilan Rena kini sudah menginjak bulan kedelapan. Dia mulai kesusahan bergerak. Rendy sudah tidak mengizinkan lagi Rena untuk bekerja. Bahkan dengan tulus dia membelikan segala perlengkapan bayi yang belum ada.Setiap pagi Rendy sengaja mampir ke kontrakan Rena hanya untuk mengantarkan makanan. Walau Rena sudah sering menolaknya, tetapi Rendy tetap bersikukuh.Di dalam hatinya, Rena merasa tidak nyaman dengan kebaikan yang ditunjukkan oleh Rendy. Terlebih lagi, laki-laki itu sudah berulang kali melamarnya. Namun, dengan berat hati Rena menolaknya dengan halus. Dia masih merasa trauma dengan segala hal tentang cinta.Walaupun Rena seringkali menunjukkan penolakan, tetapi Rendy tidak patah arang. Dia berpikir, jika wanita itu akan luluh seiring berjalannya waktu. Dia percaya, jika setiap kebaikannya itu akan meninggalkan kesan baik dalam hati Rena.Kehamilan Rena tampak sehat. Hampir setiap minggu Dewi memeriksa kondisi kehamilan Rena. Memberikannya vitamin dan juga dukungan moril.S
Selama tinggal di kediaman Bu Wulan, Rena diperlakukan dengan baik sekali. Bu Wulan menyiapkan sebuh kamar yang cukup besar untuk Rena juga calon bayinya. Peralatan bayi juga sudah dipersiapkan dengan lengkap, ditambah lagi dengan perlengkapan yang dibelikan oleh Rendy.Rena sengaja tidak menanyakan jenis kelamin, setiap dia memeriksa kandungannya. Biar menjadi kejutan pada saatnya nanti.“Mau laki-laki atau perempuan, sama saja. Aku udah kebelet nimang cucu,” ujar Bu Wulan saat mengantar Rena ke dokter kandungan.“Bapakmu itu, dokter kandungan, tapi dia sama sekali tidak pernah merawatmu. Biar oma saja yang merawatmu.” Bu Wulan mengelus perut Rena yang sudah membuncit. Melihat itu, hati Rena benar-benar tersentuh. Walapun dicampakkan oleh sang suami, tetapi masih banyak orang yang menyayanginya. Matanya mulai berembun.“Terima kasih, Ibu,” ucap Rena lirih. Bu Wulan menoleh.“Lha, kamu ini tidak perlu berterima kasih. Aku seharusnya yang minta maaf karena kelakuan anakku itu, kamu dan
Di sebuah hotel mewah di hari yang sama, Dokter Fredy dan Selina pun sedang berbahagia. Mereka melakukan akad nikah dengan meriah. Dilanjutkan dengan resepsi yang tak kalah mewah.Di atas pelaminan dengan aneka bunga hidup. Dokter Fredy tampak gagah dengan tuksedo abu-abu dan kemeja putih. Tak kalah dari suaminya, Selina pun tampil cantik dengan gaun pengantin putih bak puteri raja. Rambutnya disanggul dengan riasan minimalis, tetapi dia tampak memukau. Pada dasarnya Selina memang sangat cantik.Deretan tamu undangan datang silih berganti. Menikmati jamuan dengan aneka hidangan lezat.Panggilan alam, memaksa Dokter Fredy untuk bernjak sebentar dari kursi pelaminan dan pergi ke toilet. Saat memasuki gang menuju ke sana, sebuah tangan menjegalnya.“Hai, Fredy. Kamu nikah gak undang-undang aku,” ucapnya dengan nada manja. Dokter Fredy tersentak kaget saat melihat kehadiran orang yang tidak diduganya.“Amy? Ngapain kamu di sini?” tanyanya ketus.“Aku di sini mau melihat mantan suamiku men
Selina keluar dari kamar mandi dengan menggunakan lingerie yang sangat menggoda. Warna merah menyala begitu kontras saat menempel di kulitnya yang putih mulus. Dia memandangi punggung suaminya yang berdiri di balkon. Dia menghampirinya perlahan, lalu memeluknya dari belakang.“Sayang,” ucapnya lirih.“Aku bahagia karena kini kita sudah bersama. Tidak ada lagi yang bisa memisahkan kita,” lanjutnya dengan wajah menempel di punggung suaminya. Dokter Fredy bergeming. Malam ini bukanlah malam pertama bagi mereka. Telah mereka lalui puluhan malam dalam jurang perzinahan. Dan kini, saat mereka telah resmi menjadi suami istri, Dokter Fredy malah merasa jijik.Jijik saat membayangan para lelaki itu menikmati tubuh indah Selina. Jijik dengan semua kebohongan yang dibuatnya. Membuat cerita rekayasa seolah dia trauma karena diperkosa. Padahal, dia menikmati bergelimangan harta dari para lelaki durjana.Perlahan Dokter Fredy melepaskan tangan Selina dari perutnya. Tanpa memandangnya Dokter Fredy k