Share

BAB 3

Setelah berganti baju, makan, dan melaksanakan salat Duhur, Abram melanjutkan jadwal tidur siangnya.

Diri ini memang tidak berpendidikan tinggi. Namun, penanaman soal ibadah, aku terapkan kepada Abram sejak dini. Begitu didikan ibu-bapak pada anak-anaknya, yang kuturunkan pada Abram. 

Ya, mungkin hanya nilai itulah yang menjadi satu-satunya warisan dari mamahnya kelak, sebab wanita tak berharta dan tak berijazah ini memang sejatinya tak memiliki apa-apa. 

Bukan! Bukan soal sok alim atau kecanduan bahasa liberalisnya. Berusaha menjalankan ibadah di kala suka dan duka, di kala kekurangan atau berlebih, adalah bentuk terima kasih ke pada Sang Khalik, atas banyaknya nikmat yang dicurahkan secara gratis.

Coba bayangkan andai oksigen yang kita hirup setiap saat, Allah minta bayarannya? Semua perangkat tubuh yang masih berfungsi Allah tagih sewanya? 

Maka selayak, lah, kita meyakini dan menjalankan perintahNya, walau belum bisa sempurna, pun dalam kondisi yang kadang tak bersahabat dengan harapan hati. Seperti diri sekarang.

Aku menghentikan pergerakan melipat mukena setelah pengaduan panjang ke Rabb, ketika panggilan nada dering ponsel mengalun.

Sederetan huruf terbaca 'imamku' tertera sedang calling. 

Imam artinya pemimpin. Kata 'imamku' tertulis di nomor kontak Mas Rian, bukan tanpa maksud atau kebetulan. 

Aku sengaja melakukan itu, agar selalu sadar. Meski diri hanya pelarian, dia adalah suami yang harus kuhormati dan kutaati. 

Entah dia benar-benar jadi pemimpin yang baik atau sebaliknya, selama masih berstatus istrinya, diri akan selalu mengabdi. Walau kutahu pasti, pengabdian itu tak akan pernah terhargai di matanya.

Bukankah wanita tak dianggap ini tak perlu mengejar penilainnya lagi? Toh, bertahun aku menerapkan itu tetap hasilnya zonk?

Jadi, yang ingin kujalankan sekarang adalah merayu Sang Maha Pembolak Balik Hati, agar lelaki penyia-nyia ketulusan itu, tersentuh nuraninya akan pengabdian seorang istri pelarian, sebelum dia benar-benar meninggalkanku sendiri, berlalu bersama wanita terkasihnya.

Arght, menyebut dia akan pergi, selalu saja meciptkan gulana di sudut hati.

"Abram lagi tidur, Mas. Nanti setelah bangun, aku hubungi kembali," ujarku setelah mengklik tanda jawab. 

Papa dan anak itu memang sangat harmonis. Sudah menjadi Kebiasaan, jika Mas Rian bepergian, selalu ada luang mereka bercanda lewat telepon. 

Bertolak belakang dengan aku, yang hampir tak pernah ditanya keadaan apalagi mau diajak berbicara lewat sambungan udara itu. 

"Tidak apa-apa," ucap Mas Rian. Tumben dia menjawab? Biasanya jika aku mengabarkan seperti itu,  sambungan dimatikan saja tanpa ada kata. 

Apakah ini efek suasana bahagianya di sana? 

Mas Rian hanya berpanjang kalimat denganku jika sedang membahas Abram dan hal penting. Mungkin sebentar lagi akan mengintruksikan sesuatu. 

"Meja di kamar kerjaku jangan disentuh. Kalau mau bersihkan, tempat tidur dan lain-lainnya saja," ujarnya terdengar santai. Di rumah memang tak ada ART, kecuali supir pribadi yang datang bila dihubungi. 

Pekerjaan dapur, membersihkan rumah, dan mengurus keluarga kecil kami, menurutku bisa kutangani sendiri. Seperti biasa, Mas Rian tidak ptotes asal Abram terurus dengan baik saat dulu kuutarakan pendapatku itu. 

"Baik, Mas," jawabku menekan sesak yang selalu timbul bila mengingat kebersamaanya dengan Dokter Juwita. 

"Di bawah bantal ada kertas, ambil itu. Aku lupa memberikannya sebelum pergi tadi," ujarnya lagi langsung kuiyyakan. Arght, walau hati gundah, suaranya tetap merdu di telingaku. 

Mas Rian memiliki ruangan kerja khusus di rumah, bersambung dengan pintu ke kamar pribadi kami. 

Ukuranya memang tidak terlalu besar, namun fasilitasnya lengkap seperti kamar utama. 

Ada bilik mandi berisi bath up, spring bed, kulkas dan sofa minimalis, lemari dan meja khusus tempat kerja beserta  perangkat-perangkatnya. 

Mas Rian lebih senang menghabiskan waktu, kerja, bahkan terlelap di sana, dari pada di sisiku yang hampir malam-malam panjang menantinya. 

Dulu aku lega, meski hanya sekali-kali mendatangiku sambil menyebut wanita pujaannya, dia tetap memenuhi nafkah batinku. Namun semenjak rasa cinta tertanam kuat di hati ini, pengharapan itu pun pelan tapi pasti, mulai lebih. 

Ya, mungkin benar pendapat sebagian orang, kalau aku mulai tak tahu diri dan serakah.

"Oh, ya, nanti aku telpon kembali," ujarnya membuyarkan lamunanku.

Setelah meluruskan punggung dengan tidur-tiduran sejenak, aku melangkah menuju ruang kerja lelaki pembuat debar itu, lalu gegas melaksanakan instruksinya. 

Setelah rapih, bersih, dan kinclong, aku membuka map berwarna biru yang diletakkan di bawa bantal tadi.

Mata langsung membola memperhatikan kertas berkekuatan hukum di tangan. Namaku tertulis sebagai pemilik dalam akta sebuah bangunan.

Tunggu! Itukan tempat praktek lamanya sebelum direkomendasikan jadi kepala rumah sakit? Seingatku tempat tersebut berstatus sewa.

Apakah itu artinya, dia sudah membeli tempat itu dan membolehkan aku mengambil kegiatan luar setelah sekian lama hanya merawat Abram dan memenuhi kebutuhannya saja? Atau ini adalah isyarat sebelum dia akan benar-benar menjauh?

Seharusnya dengan pemberian ini, hati berbunga seperti di awal-awal pernikahan. Tapi ...? 

Andai boleh memilih, aku hanya ingin bersamanya, meski tanpa materi-materi itu. Sungguh, jauh berlipat aku lebih harapkan cintanya, daripada semua perhiasan di muka bumi. 

Huft ....

Kini kumengerti, cinta pertama itu memang legenda. Tak lekang oleh waktu dan tak tergerus oleh masa.

Karena ini, yang sedang melilitku sekarang. 

Begitu juga yang dirasakan Mas Rian ke Dokter Juwita, sampai tak lelah menyebut nama kekasih hatinya. Meski ada sosok wanita halal yang telah melahirkan darah daging dan teruji kesetiannya untuk siap menua bersama dalam pengabdian yang tak terbatas. 

Jika cinta pertama semelekat begini di kalbu, maka setitik damba rasa ini berbalas, mungkin tak akan pernah terjadi, walau dalam mimpi sekalipun. 

Ya, Rabb ....

Mengapa bukan di sosokku, Engkau anugerahkan rasa itu pada hati lelaki yang telah berjodoh? Agar rasa dan asa kami sejalan, dalam mengarungi ibadah terpanjang yang disebut pernikahan.

"Kenapa baru diangkat?" tanya Mas Rian saat aku menekan tombol jawab. Lamunan gundah tak membuatku mendengar panggilannya yang sudah beberapa kali. 

Semenjak Dokter Juwita kembali, aku merasa sering tak fokus, lebih tepatnya lalod.

"Lagi sibuk tadi, Mas," jawabku tak berdusta. Sibuk memikirkan dirinya yang entah sampai kapan membalas cintaku. Ah, sepertinya kata bucin itu, kan menjadi gelar baruku. 

"Abram belum bangun, Mas," ujarku lagi setelah tak ada jawaban dari seberang. 

"Tak apa, yang penting sehat. Oh, ya,  sudah lihat yang dibawa bantal itu?"

"Sudah."

"Seingatku, bapak dan ibu -orang tuaku- pernah cerita kamu pernah bercita-cita punya toko. Lokasi itu sangat strategis. Sekarang kamu boleh mewujudkan impian itu."

Ingin sekali menumpahkan tangis saking bahagianya andai hubungan rumah tangga kami manis. Tapi rasa sungkan dan malu menghalangi. 

Andai hatimu untukku, Mas. Tak ada lagi yang teringin dalam dunia fana ini, hingga batu nisan menemani jasadku di pusara.

"Ada uang tunai di laci lemari tempat pakaian, kamu gunakan itu sebagai modal. Kalau kurang, kabari saja. Oh, ya, tanya Abram, mungkin aku tinggal lebih lama dari perencanaan awal, dan barangkali juga tak bisa sering nelpon seperti biasa."

Aku tak tahu menggambarkan rasaku mendengar penjelasan panjang Mas Rian.

Di sisi lain, hati membuncah akan mewujudkan cita-cita yang dulu tak mungkin kesampean. Namun, di sisi lainnya lagi, harus betul-betul mempersiapkan mental dan hati, untuk sebuah kehilangan. 

Bukankah dengan memberikan toko beserta modal, adalal isyarat nyata agar istri fakirnya ini tak bergantung lagi padanya? 

Bukankah dengan informasi atas perpanjangan perjalananya, semakin menjeslaskan tujuan kepergiannya itu memang untuk bulan madu dan sekaligus kian memasang jarak? 

Kumohon ....

Jangan bully air mata ini, bila aku benar-benar menangis sekarang. 

***

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kebanyakan bacot dlm hati. tokoh wanita kurang waras
goodnovel comment avatar
Nova Indriati
terlalu berbelit2 bnyakan ngomong sndiri
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status