"Kalau Mas ingin membawa Abram jalan-jalan, ntar aku ijinin ke gurunya," kataku setelah berfikir. Buat apa meruncingkan masalah, kalau bisa diselesaikan dengan aman.
Perdebatan menurutku hanya tambah mengeraskan hati saja, pun semakin menggemukkan nafsu yang memang tak pernah kenyang. Ya, benarlah kata ibu dan bapak, kalau anaknya ini memiliki jiwa lebih banyak mengalah. Aku rasa itu tak salah, karena merekalah yang mendidik seperti itu. Bukankah anak seperti kertas kosong? Orang tualah yang menulis pertama, juga terakhir, hingga kertas itu penuh. Apa yang dicoret orang tua, terlihat dari kepribadian anak itu nantinya.Mungkinkah Abram akan memperlakukan seorang wanita kelak seperti papanya memperlakukanku? Ya, Rabb ....Aku tahu buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Kumohon jatuhkan buah pohon kami ke sungai, agar ada seseorang yang menemukannya, hingga menjadi pelepas dahaga yang sangat bermanfaat.Jadikan juga putraku demikian. Hanya Engkau tempat memohon paling tepat.Lelaki berpustur tegap itu tak bereaksi, apalagi menjawab. Mata kelamnya memandang jalanan. Aku kemudian mengikuti arah pandangannya, menatap daun mangga yang tersapu angin kemarau. Sepertinya musim penghujang akan lama tiba. Selama derita di hati yang entah kapan berakhir."Baiklah, kalau Mas tak jadi membawanya, biarkan aku mengantar Abram ke sekolah," kataku lagi setelah melihat arloji di tangan, kurang lima belas menit pukul tujuh. Masih ada sekitar setengah jam bersiap. "Aku ingin mengatakan sesuatu," ujar Mas Rian setelah aku hendak berdiri. Namun, segera aku memperbaiki duduk kembali. Sepertinya dia akan berbicara penting. wajahnya terlihat sangat serius. "Aku ingin mengakhiri hubungan yang-""Sebaiknya kita bicarakan itu saat tak ada Abram, Mas." Ucapannya seketika terhenti saat aku menyela. Aku tahu pasti kalimat terpotong itu. Ingin mengakhiri hubungan pernikahan yang menyesakkan, menurutnya.Ah, ini bukan tentang hati seorang istri yang tersakiti saja, tapi seorang anak akan mengalami luka batin dibawah sadar, pun tanpa kita sadari.Kenapa dokter itu tidak memikir sampai di sana? Kenapa lelaki perpendidikan itu seakan menganggap sepele perkembangan darah daging sendiri? Sememuncak itukah bahagia si dadanya hingga seakan buta akan sekeliling? Termasuk mengabaikan seorang putra yang diciptakatan dari tulang sulbinya? Diri mahfum kalau aku tak dianggap, disisih, digeser, dan apapun namanya. Tapi Abram? Putra yang tak pernah minta dilahirkan dari papa mana? Apa pantas menerima duka yang bahkan dia sendiri tak paham?Arght! Meski aku telah mencoba menimbulkan benci dengan berbagai ekpektasi, tetap saja rasa cinta ini tak mudah dikubur. Ataukah potongku tadi pada kalimatnya, karena memang diri belum benar-benar siap ditinggalkan? Lalu menjadikan Abram alasan utama? Entahlah ... Aku butuh tempat meluapkan ganjalan ini. "Maaf, aku antar Abram. Mas boleh melanjutkan percakapan tadi setelah dia belajar di kelasnya. Kalau enggan bertemu, biar lewat telepon saja." Suaraku pasti terdengar serak, karena memang sedang menahan sesak. Sungguh, dada ini seakan ingin meledak. Aku tahu semua akan terjadi. Aku paham posisiku tak akan berubah. Tetap saja perih mengaliri setiap pori, saat berada pada kenyataan. "Nanti kita mandi dan berkemas di toko, Sayang," kataku pada Abram dalam gendongan, lalu berlalu sambil menyusut bening di pipi. Sekuat apa tetap ingin kuat, air mata selalu saja tak bisa diajak berdamai.Pelan aku melajukan mobil. Masih sempat kulihat dari kaca spion, Dokter Juwita keluar sambil menyedekapkan kedua tangan depan dada, tersenyum sumringah, lalu duduk ke dekat Mas Rian yang tanpa ekspresi. Sudah puaskah kalian menyakiti wanita tiada daya ini? ***[Sepulang dari kantor, aku akan jemput Abram. Persiapkan memang semua barangnya sebelum aku datang] pesan Mas Rian saat aku masih menunggu Abram di sekolahnya.Tangan tak bisa satupun mengetik, hanya memandang deretan kalimat yang sangat menyayat hati. [Aku tahu kamu telah paham semuanya. Jadi, nggak usah mempersulit. Hanya semakin membuat luka saja] pesannya lagi dengan kalimat menyudutkan. Lelaki yang dulu kuketahui lembut itu, betul-betul tak mampu kukenal lagi. Kini setiap rangkaian kalimatnya bak goresan silet yang memerihkan. [Iya] balasku singkat, ketika melihat di layar dia sedang mengetik. Tak sanggup rasanya membaca pesan berikut yang kupastikan lebih menusuk. Aku menonaktifkan benda pipih itu dan menyimpannya di tas, lalu menuju wastafel sekolah yang bersih. Aku tak bisa lagi menunggu rumah untuk menangis. Biarlah di sini kutumpahkan semua gumpalan yang sakan mengganjal di tenggorakan. Sempit sekali rasanya, meski hanya untuk menarik dan membuang oksigen.Mereka saja yang saling mencintai kadang berpisah di tengah jalan. Kenapa diri begitu menangisi diri? Yang memang tak pernah diharap, dirindui, apalagi dikasihi? Okelah, kalau diri yang tak berharga ini dianggap tak punya perasaan, tapi pantas jugakah, diperlakukan seperti robot, yang hanya dikontrol seakan tak punya hak sama sekali? Mataku seakan mulai mengering, menyesali harap yang tak akan pernah sampai. Menangisi nasib baik yang entah kapan berpihak."Mamah kenapa nangis?" tanya Abram menyelidik. Anak itu menarik lenganku ke parkiran usai bel pulang berbunyi, pun doa-doa penutup pelajaran selesai dibacakan. "Mamah nangis-""Agar mata tak kering, kan? Supaya mata sehat, kan, Mah?" potong Abram mengingatkan tentang penjelasanku kemarin. Daya tangkap dan ingatan anak ini, terutama dalam hal pelajaran, memang cepat. Lagi-lagi mirip papanya. "Kata bu guru, terlalu banyak nangis juga gak boleh, Mah. Bisa buta matanya. Seperti cerita nabi Ya'qub yang diceritain bu guru tadi." Sambil fokus menyetir, aku mendengarkan cerita Abram. itu memang ciri khasnya, setiap pulang sekolah atau dari mana saja, seperti ketika dibawah jalan-jalan sama papa dan Dokter Juwita dulu. Dia akan berceloteh panjang sepulangnya. Aku rasa yang diurai itu, sangat berkesan baginya. "Terus dari cerita Abram tadi. Mamah harus bagaimana?" lanjutku bertanya setelah sampai di toko, pun meletakkan bokong pada sofa di ruang keluarga.Abram ikut menyamai posisi, tanpa berganti pakaian dulu. Aku begitu penasaran ingin mengetahui kesimpulan kisah yang didengar dari gurunya, yang telah diceritakan antusias di mobil tadi Kisah yang menakjubkan. Sangat jarang lagi disebut di jaman serba digital sekarang. Dan lebih menakjubkannya lagi, aku teringat kisah itu, setelah putraku yang masih duduk di bangku TK, mengurainya dengan detail. Mulai dari saudara-saudara Nabi Yusuf yang cemburu, lalu membuaang Nabi Yusuf ke sumur, kemudian Nabi Ya'kub -sang ayah- menyesal atas kejadian itu, hingga Nabi Ya'kub buta akibat terlalu banyak menangis.Kisah yang penuh hikmah, tentang pentingnya menghindari iri hati, cemburu, dendam, dan ketidak sabaran."Abram takut mamah buta, akibat banyak nangis," jawab Abram memelukku, suaranya langsung berubah serak. Bagaimana air mata ini tak luruh, jika dia bersikap begini? Bagaimana diri tak sesak bila memikir papanya akan memisahkan kami? Bagaimana ...?"M-mas ...?!" ujarku kaget ketika melihat sosok Mas Rian berdiri tak jauh dari sofa, tatapnya tajam ke arahku. Apakah ini waktu mamah kandung ini akan dipisahkan dengan darah dagingnya? ***"Abram masuk, cuci tangan dan kaki, lalu bergantian pakaian, ya?!" pintaku pada bocah penurut itu usai mencium punggung tangan papanya. Meski seakan ada konflik tak terlihat yang merusak suasana. Aku pikir hubungan anak dan papa, akan cepat stabil seperti dulu. Aku? Tak ingin memikirnya, yang penting darah dagingku bahagia. "Maaf, Mas. Saya belum menyediakan pakaian Abram," ujarku sopan, mengingat titahnya di telepon.Lelaki itu bergeming, ketika aku menyodorkan tangan hendak takzim seperti biasa.Diri sudah paham kalau sekarang dia tak menyambutnya, kulitku memang tak ada apa-apa dibanding istri tercintanya di sana. Ah, lagi-lagi sesak datang tak undang bila mengingat kedudukan yang tak pernah dihargai. "Aku ingin akhiri hubungan ini. Carilah lelaki yang lebih bisa membahagiakanmu," ucapnya tanpa ekspresi, pun tanpa sedikit ada niat meraih tanganku yang masih menggantung di udara menunggu uluran tangannya. Aku mundur bersandar di dinding memahami makna pernyataan tajam itu, tiba-
"Mamah ikut, kan?" tanya Abram di sela aku mengemasi barangnya."Mamah kurang sehat, Sayang. Abram sama papa dan tante Juwita saja, ya?!" Wajah dan mata sembab habis menangis tadi kutunjukkan, agar dia yakin dengan alasanku."Ada Mbak Tuti yang nemanin mamah," kataku lagi memaknai tatapan cemasnya."Biar pakaiaan Abram papa yang lanjutin masukin di tas ya, Sayang. Sepertinya Mbak Tuti sedang kewalahan di bawah." Aku memencet pelan hidung mancung Abram sebelum berlalu, dia mengangguk sambil tertawa gemes.Selain dari tadi dering panggilan ponsel Tuti bergetar, juga ingin menunjukkan keadaan senatural ke Abram. Ya, aku rasa, hanya ini yang mampu kulakukan agar perpisahan kedua orang tuanya tak mempengaruhi fase perkembangannya.Terlihat Mas Rian yang sedari tadi di balkon mengamati suasana ke bawah, seketika berderap ketika Abram memanggilnya. Lelaki yang selalu tampak memesona di mataku itu, menautkan alis, saat kami berpapasan di ruang keluarga.Tak perlu menjelaskan seribu tanya di b
”Abram mana?” tanyaku masih penasaran, sekaligus tak ingin mendengar dia melanjutkan kalimat-kalimat menyudutkannya. Bukan takut beradu argumen, tak ingin perdebatan ini terdengar Tuti, tetangga, bahkan pembeli. Bukankah mengalah tidak berarti kalah? Mundur bukan berarti pecundang? ”Abram ingin kamu ikut,” kata Mas Rian masih ekspresi sama. Rahang mengeras dengan mengalih dari pandanganku, tapi tak mengurangi ketampanannya sama sekali.Refleks aku menggoyangkan tangan ke depan wajah, sebagai ekspresi kemustahilan. Bagaimana mungkin aku serta, jika Dokter Juwita ada? Apa ini juga bagian rencana Mas Rian untuk menambahkan lagi poin penderitaan istri pelariannya?“Kami juga tak mungkin selalu menjaganya, sementara di sana ada beberapa agenda rapat.” Mimiknya tiba-tiba berubah.“Lalu kenapa Mas bersikeras memaksanya? Toh, selama ini dia sudah terbiasa ditinggalkan meski tanpa alasan yang jelas,” sanggahku. Kembali Mas Rian menatapku syarat amarah, terlihat dari tonjolan urat bagian pel
Aku memperlambat pergerakan ketika suara Abram memanggil, bersamaan tanganku diraih, pun tubuhnya muncul menyejari langkahku. Ah, anak ini benar-benar jauh lebih peka, perhatian, dan penyayang dibanding papanya. Dadaku seakan membesar menahan buncah atas sikapnya di saat-saat genting. Aku langsung menggenggam tangan mungil itu, lalu kami bergandengan tangan tanpa memerdulikan suara-suara perdebatan di belakang yang mulai lagi terbawa angin, kupastikan penyebabnya karena Abram memilih ikut denganku. Hufft, sekuat apapun diri berusaha menciptakan situasi kondusif di masa tumbuh kembangnya, keadaan tak selalu sesuai dengan cita-cita. Buktinya, dua manusia terpelajar itu, tak bisa menjadi teladan.“Abram kuat jalan sampai ke perempatan itu, kan?” Aku menunjuk ke depan, sekitar lima ratus meter sampai ke jalanan umum dengan melewati penurunan sekarang. Aku tak yakin ada taksi atau kendaraan umun di sana, memperhatikan kondisi yang sangat lengan. Nantilah dipikir.Abram mengangguk cepat,
Setelah mereka turun, tanpa sadar kaki ke arah balkon, untuk melihat jelas kedua sejoli itu. Aku rasa masih penasaran kegaduhan yang ditimbulkannya tadi. Ataukah spontanitas ini adalah rasa cemburu? Kalau tidak, kenapa hatiku terasa kembali perih?”Maaf, Bu. Saya tak menyangka wanita itu naik, kirain hanya pembeli tadi,” suara Tuti mengalihkan pandanganku ke roda empat yang telah berbaur dengan pengendara lain. ”Dia seorang dokter, seprofesi dengan Mas Rian,” kataku menarik nafas dalam, lalu membuangnya gundah. Aku rasa saat inilah dia harus tahu siapa mereka dan status wanita yang ditempatinya bekerja.“Keduanya menjalin hubungan sebelum aku hadir, lalu bertemu setelah perpisahan lama. Mereka pasangan ideal. Sementara aku adalah orang ketiga.” Kepala mendongak ke atas di akhir kalimatku, menahan sesak selalu saja tak bisa terbendung mengingat keadaan yang tak berpihak. ”Tapi …, kemarin Pak Dokter ….?” Tuti menjeda kalimatnya. Aku menautkan alis melihat anak itu seakan loading denga
"Bagaimana kabar kalian?" tanya Mas Rian tergesa menghentikan langkahku."Alhamdulillah baik," jawabku setelah berbalik. Aku rasa tak mengapa meladeninya. Dia memang berhak tahu keadaan putranya. "Aku belum sempat ketemu Abram. Kare-""Kami sibuk dan baru semalam datang dari luar negeri." Sosok Dokter Juwita tiba-tiba muncul, lantas memotong ucapan Mas Rian. Kedua tangannya bergelayut ke lengan lelaki yang berpakaian biru itu.Jangan tanya keadaanku sekarang! Andai punya laci ajaib Doraemon, tentu sudah menghilang secepatnya. Bukan saja cemburu dan sedih yang mesti kutekan. Tapi tatap Bu Jenni, karyawannya dan karyawan toko lain yang sedang berbenah, bahkan pelanggan yang mulai berdatangan, pun orang-orang lewat, membuat lukaku berdarah-darah. Sekejam itu dua sejoli menginjak harga diri wanita tak ada daya di depan orang banyak. Setidak itu yang kurasakan dari semua netra yang menyorot."Tak apa, terima kasih atas infonya," ujarku berusaha tegar, lalu berlalu sambil melempar senyu
Aku menatap langit-langit kamar. Mengenang momen-momen pertama kali bertemu Mas Rian. Tak ada gurat kacau selayak raut frustasi atau down pada pemilik wajah memesona itu ketika dia datang melamar langsung di hadapan bapak dan emak. Justru di mata kami sekeluarga, dia begitu jantan.Walau pada akhirnya, aku tahu diri hanya pelarian. Tetap saja tak mengubah persepsiku tentang semua budi yang telah ditanamnya.Ah, bagaimana kabar emak dan bapak? Bila tahu menantu yang sangat disanjung dan disayangi, telah meninggalkan putrinya? Demi bersama cinta pertamanya?Ya, Rabb ....Hamba tahu semua hanya titipan. Tapi, titipanMu yang satu ini, sangat sulit untuk diikhlaskan. Huft .... Bila aku saja tak rela? Bagaimana orang yang telah melahirkanku? Bukankah kesedihan seorang anak akan terpental keras pada kedua orang tuanya?Emak .... Bapak .... Maafkan anakmu yang malang ini."Abram dibawa sama papanya, kan, Ti?" Kali ini nadaku benar-benar meninggi. Tuti yang masih sibuk menata buah-buah di a
Aku meminta Tuti memasukkan amplop lebar warna putih itu ke dalam tas setelah membaca luarnya saja. Toh, buat apa membuka? Isi sudah pasti tentang gugatan di pengadilan sesuai yang dikatakan sang pengantar tadi.Pelan aku menarik oksigen dari hidung, lalu membuangnya lewat mulut. Berharap gumpalan sesak, gelisah, dan luka dalam dada, terbuang lewat udara. Aku tak bisa bayangkan andai hak asuh Abram, benar-benar jatuh ke tangan mereka. Yang notabene aku sadar, akan kalah dalam segala hal dalam memperjuangkan putra semata wayang itu."Sabar dan shalat, ya, Mbak." Aku mengangguk ke arah Anggi dan Tuti saat ke duanya menggenggam tanganku. Meski awan terus berarak di pelupuk mataku, nasehat tersebut membuat hujan tak jadi luruh di sana. Semestinya dua kata nasehat itu membuat setiap hamba tegar dalam menjalani takdirnya. Bukankah dunia memang hanya panggung ujian bagi semua makhluk yang bernyawa?Ya, Rabb .... Selama ini aku lalai. Lupa memohon cinta lelaki itu dariMu. Terlalu menggantung