Share

BAB 9

"Kalau Mas ingin membawa Abram jalan-jalan, ntar aku ijinin ke gurunya," kataku setelah berfikir. Buat apa meruncingkan masalah, kalau bisa diselesaikan dengan aman. 

Perdebatan menurutku hanya tambah mengeraskan hati saja, pun semakin menggemukkan nafsu yang memang tak pernah kenyang. 

Ya, benarlah kata ibu dan bapak, kalau anaknya ini memiliki jiwa lebih banyak mengalah. Aku rasa itu tak salah, karena merekalah yang mendidik seperti itu. 

Bukankah anak seperti kertas kosong? Orang tualah yang menulis pertama, juga terakhir, hingga kertas itu penuh. Apa yang dicoret orang tua, terlihat dari kepribadian anak itu nantinya.

Mungkinkah Abram akan memperlakukan seorang wanita kelak seperti papanya memperlakukanku? 

Ya, Rabb ....

Aku tahu buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Kumohon jatuhkan buah pohon kami ke sungai, agar ada seseorang yang menemukannya, hingga menjadi pelepas dahaga yang sangat bermanfaat.

Jadikan juga putraku demikian. Hanya Engkau tempat memohon paling tepat.

Lelaki berpustur tegap itu tak bereaksi, apalagi menjawab. Mata kelamnya memandang jalanan. 

Aku kemudian mengikuti arah pandangannya, menatap daun mangga yang tersapu angin kemarau. Sepertinya musim penghujang akan lama tiba. Selama derita di hati yang entah kapan berakhir.

"Baiklah, kalau Mas tak jadi membawanya, biarkan aku mengantar Abram ke sekolah," kataku lagi setelah melihat arloji di tangan, kurang lima belas menit pukul tujuh. Masih ada sekitar setengah jam bersiap. 

"Aku ingin mengatakan sesuatu," ujar Mas Rian setelah aku hendak berdiri. Namun, segera aku memperbaiki duduk kembali. Sepertinya dia akan berbicara penting. wajahnya terlihat sangat serius. 

"Aku ingin mengakhiri hubungan yang-"

"Sebaiknya kita bicarakan itu saat tak ada Abram, Mas." Ucapannya seketika terhenti saat aku menyela. 

Aku tahu pasti kalimat terpotong itu. Ingin mengakhiri hubungan pernikahan yang menyesakkan, menurutnya.

Ah, ini bukan tentang hati seorang istri yang tersakiti saja, tapi seorang anak akan mengalami luka batin dibawah sadar, pun tanpa kita sadari.

Kenapa dokter itu tidak memikir sampai di sana? Kenapa lelaki perpendidikan itu seakan menganggap sepele perkembangan darah daging sendiri? 

Sememuncak itukah bahagia si dadanya hingga seakan buta akan sekeliling? Termasuk mengabaikan seorang putra yang diciptakatan dari tulang sulbinya? 

Diri mahfum kalau aku tak dianggap, disisih, digeser, dan apapun namanya. Tapi Abram? Putra yang tak pernah minta dilahirkan dari papa mana? Apa pantas menerima duka yang bahkan dia sendiri tak paham?

Arght! Meski aku telah mencoba menimbulkan benci dengan berbagai ekpektasi, tetap saja rasa cinta ini tak mudah dikubur. 

Ataukah potongku tadi pada kalimatnya, karena memang diri belum benar-benar siap ditinggalkan? Lalu menjadikan Abram alasan utama? Entahlah ... Aku butuh tempat meluapkan ganjalan ini. 

"Maaf, aku antar Abram. Mas boleh melanjutkan percakapan tadi setelah dia belajar di kelasnya. Kalau enggan bertemu, biar lewat telepon saja." Suaraku pasti terdengar serak, karena memang sedang menahan sesak. 

Sungguh, dada ini seakan ingin meledak. Aku tahu semua akan terjadi. Aku paham posisiku tak akan berubah.  

Tetap saja perih mengaliri setiap pori, saat berada pada kenyataan. 

"Nanti kita mandi dan berkemas di toko,  Sayang,"  kataku pada Abram dalam gendongan, lalu berlalu sambil menyusut bening di pipi. Sekuat apa tetap ingin kuat, air mata selalu saja tak bisa diajak berdamai.

Pelan aku melajukan mobil. Masih sempat kulihat dari kaca spion, Dokter Juwita keluar sambil menyedekapkan kedua tangan depan dada, tersenyum sumringah, lalu duduk ke dekat Mas Rian yang tanpa ekspresi. 

Sudah puaskah kalian menyakiti wanita tiada daya ini? 

***

[Sepulang dari kantor, aku akan jemput Abram. Persiapkan memang semua barangnya sebelum aku datang] pesan Mas Rian saat aku masih menunggu Abram di sekolahnya.

Tangan tak bisa satupun mengetik, hanya memandang deretan kalimat yang sangat menyayat hati. 

[Aku tahu kamu telah paham semuanya. Jadi, nggak usah mempersulit. Hanya semakin membuat luka saja] pesannya lagi dengan kalimat menyudutkan. 

Lelaki yang dulu kuketahui lembut itu, betul-betul tak mampu kukenal lagi. Kini setiap rangkaian kalimatnya bak goresan silet yang memerihkan. 

[Iya] balasku singkat, ketika melihat di layar dia sedang mengetik. Tak sanggup rasanya membaca pesan berikut yang kupastikan lebih menusuk. 

Aku menonaktifkan benda pipih itu dan menyimpannya di tas, lalu menuju wastafel sekolah yang bersih. 

Aku tak bisa lagi menunggu rumah untuk menangis. Biarlah di sini kutumpahkan semua gumpalan yang sakan mengganjal di tenggorakan. Sempit sekali rasanya, meski hanya untuk menarik dan membuang oksigen.

Mereka saja yang saling mencintai kadang berpisah di tengah jalan. Kenapa diri begitu menangisi diri? Yang memang tak pernah diharap, dirindui, apalagi dikasihi? 

Okelah, kalau diri yang tak berharga ini dianggap tak punya perasaan, tapi pantas jugakah, diperlakukan seperti robot, yang hanya dikontrol seakan tak punya hak sama sekali? 

Mataku seakan mulai mengering, menyesali harap yang tak akan pernah sampai. Menangisi nasib baik yang entah kapan berpihak.

"Mamah kenapa nangis?" tanya Abram menyelidik. Anak itu menarik lenganku ke parkiran usai bel pulang berbunyi, pun doa-doa penutup pelajaran selesai dibacakan. 

"Mamah nangis-"

"Agar mata tak kering, kan? Supaya mata sehat, kan, Mah?" potong Abram mengingatkan tentang penjelasanku kemarin. Daya tangkap dan ingatan anak ini, terutama dalam hal pelajaran,  memang cepat. Lagi-lagi mirip papanya. 

"Kata bu guru, terlalu banyak nangis juga gak boleh, Mah. Bisa buta matanya. Seperti cerita nabi Ya'qub yang diceritain bu guru tadi."  

Sambil fokus menyetir, aku mendengarkan cerita Abram. itu memang ciri khasnya, setiap pulang sekolah atau dari mana saja, seperti ketika dibawah jalan-jalan sama papa dan Dokter Juwita dulu. Dia akan berceloteh panjang sepulangnya. Aku rasa yang diurai itu, sangat berkesan baginya. 

"Terus dari cerita Abram tadi. Mamah harus bagaimana?" lanjutku bertanya setelah sampai di toko, pun meletakkan bokong pada sofa di ruang keluarga.

Abram ikut menyamai posisi, tanpa berganti pakaian dulu. Aku begitu penasaran ingin mengetahui kesimpulan kisah yang didengar dari gurunya, yang telah diceritakan antusias di mobil tadi 

Kisah yang menakjubkan. Sangat jarang lagi disebut di jaman serba digital sekarang. Dan lebih menakjubkannya lagi, aku teringat kisah itu, setelah putraku yang masih duduk di bangku TK, mengurainya dengan detail. 

Mulai dari saudara-saudara Nabi Yusuf yang cemburu, lalu membuaang Nabi Yusuf ke sumur, kemudian Nabi Ya'kub -sang ayah- menyesal atas kejadian itu, hingga Nabi Ya'kub buta akibat terlalu banyak menangis.

Kisah yang penuh hikmah, tentang pentingnya menghindari iri hati, cemburu, dendam, dan ketidak sabaran.

"Abram takut mamah buta, akibat banyak nangis," jawab Abram memelukku, suaranya langsung berubah serak. 

Bagaimana air mata ini tak luruh, jika dia bersikap begini? Bagaimana diri tak sesak bila memikir papanya akan memisahkan kami? Bagaimana ...?

"M-mas ...?!" ujarku kaget ketika melihat sosok Mas Rian berdiri tak jauh dari sofa, tatapnya tajam ke arahku. 

Apakah ini waktu mamah kandung ini akan dipisahkan dengan darah dagingnya? 

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Justina Gabril
sangat2 kejam ya suaminya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status