Di ujung belahan bumi yang lain, Rusly sedang galau memikirkan masa depannya. Dia baru sadar kenapa bisa terjebak dengan pernikahan sirih antara Bu Aisyah dengannya. Dia tidak tahu kalau masalahnya jadi serumit ini.'Ibu ... aku butuh bahu buat bersandar.' Rusly bermonolog. Dia menelan salivanya terasa getir. Nasi sudah jadi bubur. Andai kata dia tahu kalau dampaknya seperti ini. Dia tidak akan bermain api.'Aku harus berdua dengan ibu. Aku tidak mau melukai hati dan perasaannya.' Lagi dan lagi dirinya bermonolog. Dirinya sudah sadar akan dosa dan salah yang dia lakukan kepada ibu kandungnya."Tolong beri tahu aku di mana alamat ibu kandungku sekarang!" desak Rusly kepada Bu Aisyah. Dia baru saja berdua dengan ibu angkat sekaligus istri sirihnya. "Aku tidak tahu di mana dia tinggal," jawab Bu Aisyah meninggikan nada. Bagaimana pula dia bisa mengetahui keberadaan Larasati. "Lagi pula coba tanya kepada Nesya!" jawabnya sambil mengukir senyum tipis.Rusly sebenarnya enggan untuk berhubu
"Bagaimana keadaan suami saya, Dok?" tanyaku keceplosan. Setelah kata suami saya keluar dari bibirku aku teringat kalau Rusly bukan suamiku lagi. Aku merapalkan istighfar berkali-kali. Aku tidak mau jatuh kembali ke dalam lubang yang sama. "Kemungkinan besar kakinya tidak bisa diselematkan," jawab dokter sembari menyodorkan hasil lab dan ronsen. Dinginnya AC di dalam ruangan dokter sudah tidak terasa karena informasi yang aku dengar membuat diriku terkejut."Apakah separah ini?!" tanyaku panik setelah memeriksa dengan seksama foto yang baru saja kuterima dari dokter.Dokter tersebut memejamkan mata pertanda pertanyaanku itu benar adanya."Bagaimana kejadiannya sih? Kok bisa separah ini?!" gerutuku seolah tidak terima apa yang terjadi. Sejenak aku berpikir dan membayangkan kejadian itu, akan tetapi masih sulit rasanya untuk kuterima."Apakah masih ada yang ingin dipertanyakan?" tanya dokter membuyarkan lamunanku. Kalau jika tidak ada, sebentar lagi aku ada jadwal operasi. Bukannya men
Aku tidak tahu kenapa Arlan bisa mengetahui keberadaanku di sini. Aku bergeming dan menelaah dari mana dia tahu aku di sini. Santai saja! Tidak usah heran seperti itu," ucapnya sembari meletakkan bobotnya di atas kursi persis di depanku. Tubuhnya Rusly kini ada di tengah.Aku menunduk sembari berpikir kenapa Arlan ada di sini dan apa maksud dan tujuannya? Otakku rasanya mau pecah. Belum selesai masalah satu sudah datang masalah yang baru."Bagaimana keadaan kamu, Rusly?" tanya Arlan memecah keheningan. Dia membetulkan duduk sembari melirik ke arahku. Pandangannya tertangkap oleh retinaku yang tiada berhenti untuk melirik aktivitasnya.Rusly tidak ada sama sekali menjawab. Bahkan dia berkata jauh dari apa yang aku harapkan. "Aku tetap cinta dan sayang kepadamu, Nesya. Tolong urus segera pernikahan kita. Malam ini harus ijab Syah."Sebenarnya Rusly waras atau pura-pura gila. Dari tadi ngaur terus perkataannya. Aku menghela napas panjang lalu membuangnya begitu saja."Enak saja! Nesya i
"Sudah seminggu Rusly dirawat di rumah sakit. Dia merasa beban yang ditanggung amatlah berat. Kini telah terasa kalau tidak ada kehadiran seorang istri baru terasa kesepian."Sial! Masa Nesya tidak mau berbakti kepadaku untuk merawat dan menjaga!" umpat Rusly kesal. Dia hampir saja jatuh terpleset di kamar mandi. Kalau sudah seperti ini siapa yang akan merugi?" sindirku ketika aku baru sampai di kamar tempat dirinya dirawat.Bola mata Rusly membulat seolah tidak percaya kalau aku mendengar umpatannya. Dulu ke mana saja ketika berkuasa menghampiri dirimu?!" Aku melipat kedua tangan lalu kuletak sejajar dengan dada. Sesekali aku harus bisa dan berani mematikan cakapnya.Bantu dulu aku! Kamu malah bengong pula di situ!" ucap Rusly dengan nada tinggi dari biasanya. Aku masih saja diam bak patung Liberti. Aku sesak pipis, cepat bantu buka resleting celanaku!" bentaknya kembali tidak sabar karena sudah di ujung."Aku dan kamu sudah tidak mahram lagi. So ... aku nggak mau membukanya." Aku be
Sudah seminggu aku menjadi istrinya Arlan. Aku masih tidak terima atas pernikahan ini. "Sudahlah! Jangan risau dan cobalah bersahabat dengan status barumu!" bisik Arlan tepat di daun telingaku. Aku masih saja tidak menyangka kalau pernikahan ini terjadi. "Aku berusaha dan berjanji tidak akan membiarkan bulir beningmu jatuh membasahi pipi mulusmu." Aku sama sekali tidak menghiraukan apa yang dikatakannya. Semua lelaki sama saja. Hanya manis di awal sebelum semua dia dapatkan.Aku membelakangi Arlan seolah tidak menggubris perkataannya. Otakku masih saja tidak terima atas pernikahan ini."Sayang ... Tolong jangan seperti ini!" ucap Arlan kembali. Dia mencoba melingkarkan tangannya di pinggang. Satu sisi jiwaku meronta-ronta untuk melakukan ibadah. Namun, di sisi lain aku merasa risih.Perlahan kutepiskan lengannya lalu aku beranjak dari atas dipan. Aku melangkah ke arah kamar mandi untuk segera mencuci muka. "Kamu mau ke mana?" seru Arlan terus berusaha untuk meluluhkan hatiku.Aku teru
"Tolonglah belajar menerima kenyataan, Nesya!" ucap Arlan terus memohon kepada istrinya.Aku hanya bergeming. Memutar arah sehingga memunggunginya. Kupejamkan netraku seolah belum bersedia menerima kenyataan yang ada. "Baik kalau itu maumu," ucapnya sembari beranjak dari atas dipan lalu melangkah pergi ke arah pintu. Suara dentuman kakinya sangat terasa terdengar. Aku mencoba berbalik menatap punggungnya.'Maafkan aku ... bukannya aku tidak ikhlas dan ridho atas pernikahan ini. Aku hanya belum siap dan mampu menerima kenyataan yang ada,' batinku sembari menarik selimut untuk rebahan di atas dipan. Tiba-tiba, ke dua bola mataku terpejam berlayar ke pulau seribu.Arlan pergi ke dapur. Perutnya sudah terasa perih akibat menahan lapar. Mau tidak mau, dia terjun langsung memasak buat bekal sarapan pagi. Sebelum menikah pun dirinya, dia sudah terbiasa masak, makan dan cuci baju sendiri. Padahal, dia berharap ketika sudah menikah tugas yang selama ini dia emban tidak akan dilakukannya lagi.
"Aku sudah menduga kalau kamu menikah dengan pria itu, hidupmu pasti tertekan."Aku mengernyitkan kening mendengar perkataannya. Seolah-olah dia maha mengetahui. Aku tidak menggubrisnya sama sekali."Kamu mau ke mana? Jangan hanya diam saja!" seru Rusly tidak terima.Aku membiarkan dia mengoceh sesuka hatinya. Saat ini aku akan membungkam mulut ke dua pria yang telah menghancurkan masa depanku."Apakah sudah selesai racauanmu?!" tanyaku penuh telisik. Aku sengaja menautkan alis seolah menyimpan sejuta gurat amarah kepada pria yang terlalu egois selama ini.Hening ... tidak ada yang berani buka suara. Aku berdiri tegak di atas kakiku dan melipat ke dua tangan lalu diletak sejajar dengan dada."Aku tidak tahu, apakah semua pria sama saja," ucapku berpikir sejenak. Ekor mataku memperhatikan ke dua pria itu. "Oh ya ... Aku sangat berterima kasih atas luka dalam yang kalian pahat," ucapku lirih. Aku menahan bulir bening yang terus meronta agar tidak jatuh membasahi pipi. Segenap daya dan u
Part 79: Memaafkan itu IndahSatu Minggu setelah kejadian itu, semua terasa hampa. Seperti di belahan bumi yang lain. Rusly kini resah dan gelisah memikirkan mantan istrinya. Rasa penyesalan kini telah menghardik dirinya. 'Andai kutahu kalau sudah tiada, baru terasa kehilangan. Aku pasti tidak akan menyesal di usia senjaku.'Sekarang Rusly masak sendiri, nyuci baju sendiri, tidur sendiri dan bahkan mencari biaya hidup buat diri sendiri. Dia masih merenung bayang-bayang dan kenangan ketika rumah tangganya masih utuh. "Apakah ini yang dirasakan Nesya pada saat aku tidak pulang ke rumah dengan alasan lembur padahal berbagi kasih dengan Lela dan Ririn?" Pertanyaan itu kini menghantui pikirannya.Kopi hitam khas Sosopan kini menyeruak hidungnya. Dia tersadar akan aroma itu dari lamunannya. Tidak sabar ingin mengecap kopi buatannya. Biasanya, selalu dibuatkan oleh istrinya. Kini sudah telah sirna. Ponsel miliknya berdering membuat dirinya semakin fokus kepada siapa yang menelpon dirinya."Y