"Kalian cucuku?" Dewa Penempa muncul di depan keduanya dalam posisi membungkuk, membantu mereka berdiri. "Iya kakek!" jawab keduanya dengan wajah penuh haru saat melihat kakeknya. "Menikah dengan siapa ibu kalian?" "Ayah Adlar!" Sang Dewa Penempa langsung tertunduk menyamping, memejamkan mata hingga wajahnya terlipat. "Murid sialan!" umpatnya, lalu kembali bertanya dengan tenang. "Lalu siapa lagi?""Hanya ayah Adlar," jawab Adlia membuat kakeknya terdiam menatapnya. "Ayah Adlar menikahi keduanya," lanjutnya membuat Dewa Penempa merapatkan bibirnya dan menghirup napas dalam-dalam, hingga membuat dadanya terangkat. Kemudian menghembuskan napas sambil geleng-geleng kepala dan melihat Akara kembali."Lalu pemuda ini?" "Ini tuan Regera, yang membantu ayah dan kami tidak akan bisa sampai tempat ini tanpa bantuannya," jelas Adlia. Dewa Penempa melihatnya dengan tatapan aneh cukup lama, lalu Akara berkata. "Silahkan kalian mengakrabkan diri antara cucu dan kakek. Aku ingin menaikkan
Beberapa waktu sebelumnya di tempat Dewa Penempa. Pusaran energi tercipta, bergerak ke segala arah di dalam aula. Gadis berambut abu-abu dan adik laki-lakinya jadi terganggu latihannya. Mereka segera berdiri, melihat energi yang bergerak ke segala arah. "Sudah mulai kenaikan ranahnya." Pria tua tinggi kurus melayang mendekat, lalu secara acak mengibaskan tangannya. Swush swing!... Hembusan energi seketika mereda, disusul cahaya hijau yang menyala, membentuk ukiran di seluruh sisi dinding giok. Ia lalu melayang di atas jurang, disusul kedua cucunya. Selain cahaya hijau yang memenuhi seluruh sisi, di bawah sana ada cahaya merah menyala. Lingkaran aura naga 5 pola berputar hebat, menyebarkan listrik yang mengurut dinding. Aura mulai naik saat tubuh pemiliknya mulai melayang, duduk bersila di udara. Kesepuluh esensi surgawi muncul di depan dadanya, meluapkan berbagai elemen, tapi segera terkendali. "Kakek, energi apa yang keluar dari tubuhnya?" tanya Zur Admon.Dewa Penempa tertawa
"Cantik, kenapa bisa di sini?" Clrrt... Listrik merah muda menyebar, tertahan di udara seperti jaring laba-laba, membuat waktu di sekitar mereka terhenti. Memberikan Akara sedikit waktu untuk melihat wajah cantiknya. Lisa, mata jernihnya berwarna semburat merah muda sedikit melebar. Bibir merah mudanya yang basah tak bergeming, tak ada perubahan ekspresi di wajahnya. Listrik melebur..."Lancang!" Pendekar botak melesat. Bwushhh... Tiba-tiba Akara terjatuh ke dalam air hitam dan Blar!... Ledakan energi terjadi saat ia menahan pukulan sang pendekar, membuatnya terlempar semakin dalam. Jwush!... Ia berteleport, melayang di atas lautan hitam yang tak jauh dari reruntuhan Dewa Penempa. Langit sudah tak karuan, bukan hanya awan hitam dan badai, juga terlihat gelapnya ruang angkasa. Jubah hitamnya merumbai kering, lalu menatap tajam ke arah pria kekar di depannya. "Apa yang kau lakukan kepada Lisa?!" Ia acungkan satu peda
Di kejauhan, tepatnya di atas kawah gunung yang sudah mengering dan tandus, para Zur tengah beristirahat. Namun dari salah satu sisi kawah yang terbuka, terlihat percikan api dan ledakan energi di kejauhan. Hal yang dapat langsung mereka semua sadari di wilayah yang hanya tandus. "Regera? Apa dia bertarung dengan makhluk mutasi lainnya?" Zur bertubuh besar bangkit dan melayang lebih tinggi, disusul Zur lainnya."Adlia dan Admon memiliki artifak peninggalan kakek, kemungkinan di sana tempat yang kita tuju," jelas Adlea. Zur Ashah langsung berdiri di depan mereka dan berbicara. "Bersiaplah, kita harus segera ke sana. Kita butuh pembukaan peta lebih luas dan mencari tau informasi tentang makhluk mutasi lainnya!" ...Pendekar botak masih mengamati air lautan yang kembali menyatu, tapi segera menoleh saat ada kristal salju yang turun. Udara berubah menjadi dingin, membuat bongkahan es yang tersapu ombak. Crang!... Pedang terangkat seca
Akara terbang maju perlahan, ditambah lagi dengan aura dan energi yang masih meluap, membuat jubah yang sudah tak karuan bentuknya merumbai. Tatapannya berubah menjadi datar, tapi tetap terasa dingin dan hanya tertuju pada Baram. Swushh!... Muncul para Zur di belakang Akara. Mereka terlihat sangat kesal saat menatapnya, tapi segera menoleh ke arah para Zurrark. Zur Ashah langsung menatap ayahnya dan berkata. "Ayah, dia ..." ucapannya terhenti saat Zurrark Ashu melambaikan tangan sekilas, menyuruhnya untuk diam. Hal itu membuat para pemuda Vasto kebingungan."Regera." Zurrark Ashu melayang maju perlahan. "Aku dapat melindungimu dari Fraksi Cahaya Ilahi ..." Ia terdiam karena Akara malah tertawa, lalu menatapnya dengan tajam. "Tidak butuh!" Akara berhenti, tepat di dalam kubah pelindung. "Apa yang kalian tunggu? Bukalah kubah pelindung!" teriak Baram kepada para Zurrark dan Zurrark Ashu segera menoleh ke arah Adlar. "Adlar, bu
"Kemarilah!" Akara menantang mereka dengan tubuh diselimuti petir, serta aliran energi seperti belasan ekor raksasa yang menggeliat.Mereka langsung melesat ke arahnya, tapi Blar Gleng!... Petir meledak dan seketika tekanan gravitasi menghantam mereka, menjatuhkan mereka hingga memicu retakan di pelindung yang menyelimuti permukaan kota. Bagaimana bisa?! Belenggu kota tidak berpengaruh kepadanya?! Mereka tertahan, tapi Baram dan Zurrark Fam segera terlepas. Jwush jlar!... Mereka langsung melesat, tapi Akara juga segera melesat ke atas, meninggalkan sambaran petir yang menyebar di arah lajunya. Energi pelindung yang menyelimuti kota hancur, mengaktifkan perlindungan otomatis yang ditinggalkan Dewa Penempa sebelumnya. Magma meluap naik, menyelimuti kubah pelindung yang mengelilingi kota, tapi aliran energi masih meluap keluar. Hal itu membuat para Zurrark kesal, termasuk Zurrark Ashu yang langsung menoleh ke arah kakak iparnya."Adlar, k
Sorot cahaya merah menyala dari mata Akara, membuat luapan energi ikut terlihat berwarna merah. Sorot mata lebih besar terlihat dalam gelapnya langit, meneror mental Baram. Petarungan dengan pendekar botak tak sia-sia, menbuat Akara sedikit mempelajari teknik matanya.Jlar!... Akara meluncur bagaikan petir yang menyambar Baram, dengan satu pedang menembus tubuhnya. Bilah pedang dari kayu berwarna hitam telah ternodai cairan merah, saat itulah Baram tersadar kembali. Namun, ia sudah tak berdaya, melihat pemuda di depannya dengan tatapan bingung. Akara langsung menarik kembali pedangnya, mengibaskan darah dari bilah pedangnya. "Agk!" Baram langsung mundur satu langkah karena terhuyung, sambil memegangi luka dadanya.Akara lalu menjambak rambutnya, membuat Baram mengangkat wajah yang bibirnya sudah dipenuhi darah. "Tenang saja, akan aku pastikan jiwamu dalam penyiksaan abadi!" Jwushh!... Api hitam membakar tubuh Baram, membuat t
Wanita dari klan Sheva lalu menghilang, disusul suara teriakan penuh kesakitan. Akara yang kesulitan berdiri karena tekanan intimidasi segera menoleh, melihat kehadiran Zurrark wanita yang membawa tubuh Zurrark Fam. Pemuda itu merintih kesakitan, dengan kedua tangan dan kaki yang sudah hancur, bergelantung bebas. "Klan Sheva akan hancur jika kau berani membunuhku!" teriaknya sambil menggigit gigit, menahan sakit.Grek!... "Agkhhhh!" Ia kembali berteriak saat rahangnya tiba-tiba patah, hingga mulutnya tidak bisa tertutup kembali. Napasnya terengah-engah penuh emosi, dengan tatapan tajam ke arah wanita bertanduk ranting. Namun, wanita itu menoleh ke arah pemuda yang tubuhnya babak belur, diselimuti kristal es darah. "Aku juga korban Fraksi Cahaya Ilahi!" ucap Akara sembari mengangkat wajahnya, dengan tubuh sedikit membungkuk karena tekanan intimidasi. "Klan Vasto juga sedang bermasalah dengan mereka!" lanjutnya. Wanita itu hanya diam saja memandanginya, sebelum akhirnya menghilang