Share

Bab 7 - Ketenangan Sebelum Badai

Sesaat Lillian termenung. Layar ponsel otomatis meredup lalu gelap sementara pemiliknya sedang termangu. Lillian benar - benar tak tahu harus bagaimana merespon pesan itu. Pikiran buruk tentang Ernest semakin merasuki pikirannya. Masalah kartu kredit dan hutang pada rentenir belum juga beres, tapi sepertinya masalah lain akan segera menyusul. Ruwet dan mumet, itulah yang dirasakan oleh Lillian saat ini.

Sekali lagi ponsel Lillian bergetar. Kali ini dari Harvey yang memberitahu kalau dirinya sudah siap di lobby. Tak ingin membuat Harvey menunggu, Lillian bergegas menyambar tas tangan miliknya. Dalam sekejap, dia sudah setengah berlari menuju lift untuk turun ke lobby dengan hati yang kacau

Di dalam lift, Lillian berusaha mengatur ekspresinya senatural mungkin supaya tidak membangkitkan kecurigaan Harvey. Langkahnya terhenti saat melihat Harvey menunggunya di depan lift sambil tersenyum. Matanya teduh dengan kedua tangannya terentang seperti seorang kekasih yang menanti wanitanya menghambur ke pelukan.

Seketika semua beban di pikiran Lillian menguap. Dia melangkah mendekat pada Harvey dan membuka mulutnya, "Har... -"

Kalimat Lillian terputus saat kedua lengan Harvey menariknya ke dalam pelukan. Jantung Lillian berdebar kencang saat lengan Harvey yang kuat memeluk pinggangnya. Tiba - tiba saja tubuh Harvey sudah melingkupi dirinya.

Tanpa sadar wanita muda itu memejamkan mata. Harum aftershave yang dipakai oleh Harvey masuk ke indera penciumannya. Aroma woody yang khas, menenangkan pikiran. Lillian merasa berada di tempat yang aman dan nyaman.

Beberapa kali Harvey mengecup pucuk kepala Lillian hingga wanita itu menyadari kalau mereka sedang berpelukan di lobby kantornya.

"Har, ayo pulang," ajaknya sambil melepaskan pelukan mereka. Dia takut ada teman satu kantornya melihat adegan ini. Tidak ada kakak dan adik ipar yang berpelukan dengan cara seperti ini, sedekat apa pun mereka.

"Tapi kita harus mampir dulu ke suatu tempat."

"Makan malam?" tanya Lillian dengan mata berbinar. Dia memutuskan untuk melupakan sejenak masalahnya dan menghabiskan malam ini bersama Harvey. Biarlah masalah Ernest dipikirkan besok.

Harvey merangkul bahu Lillian dan merapatkan tubuh wanita itu ke tubuhnya. Kemudian mereka berjalan bersama dengan tangan Harvey melingkar di bahu Lillian. "Tadi Richard menghubungi nomermu. Dia ingin memberitahu sesuatu tentang Ernest, tapi kamu tidak membalasnya. Sekarang kita akan pergi menemuinya, sekalian makan malam. Ya?"

"Richard?" Dahi Lillian berkerut, jadi nomer asing tadi adalah Richard, kuasa hukum Harvey dan Ernest. Nomor yang digunakan bukan nomer yang biasanya, sepertinya laki - laki itu memakai nomer pribadinya.

Harvey mengangguk. Mereka sudah tiba didepan mobil. Laki - laki itu segera membukakan pintu dan mempersilahkan Lillian masuk.

"Ada apa lagi ini? Aku harap Ernest tidak membuat masalah lagi." keluh Lillian sambil menghempaskan tubuhnya ke jok mobil. Biasanya Richard hanya menghubunginya kalau ada masalah.

Separuh hati Lillian ingin menangis. Kalau saja bisa, ingin rasanya dia kabur dari semua masalah yang datang silih berganti. Tapi hati nurani Lillian terus mengingatkannya pada sumpah setia yang diucapkan di depan altar pernikahan, yaitu untuk saling menjaga dan memiliki, dalam susah maupun senang.

"Apalagi yang bisa dibuat oleh Ernest selain masalah?" sinis Harvey. Mobil yang mereka kendarai mulai menembus jalanan kota yang ramai.

Lillian memutar bola matanya. "Ernest hanya tidak pintar mengatur keuangan, Har. Setidaknya dia setia," ucapnya membela Ernest. Kalau dipikir - pikir, justru dirinya yang melakukan kesalahan lebih besar dengan tidur bersama Harvey. Lillian tidak bisa membayangkan bagaimana marahnya Ernest kalau tau dirinya sudah tidur dengan Harvey.

"Setia katamu?" dengus Harvey tak suka.

"Ayolah, Har. Kita yang sudah menusuk Ernest dari belakang. Kenapa kamu malah menuduhnya yang tidak - tidak?"

"Hanya karena kamu tak tahu apa - apa, bukan berarti Ernest setia padamu," desis Harvey penuh emosi.

Lillian memandang heran pada Harvey. "Sejak kapan kamu mulai berbicara buruk tentang adikmu?"

"Sejak dia menyakiti dan terus memanfaatkan ketidak tahuanmu. Jangan dikira, aku tak tahu jumlah hutangnya pada rentenir dan kartu kredit."

Lillian membuka mulut, lalu segera menutupnya kembali ketika Harvey kembali bicara dengan penuh emosi. "Aku yakin dia sengaja menghilang supaya bisa melimpahkan tanggung jawab padamu. Lebih baik dia menghilang selamanya atau aku akan menghajarnya tanpa ampun."

Tak jadi membantah, Lillian malah memandang wajah serius Harvey yang sedang menyetir sambil marah - marah. Jantungnya berdebar saat melihat garis rahang yang tegas milik Harvey.  Tampan dan gentleman.

Terlalu fokus pada pikirannya sendiri, Lillian tak menyadari mereka sudah sampai. Harvey mengulum senyum. Di saat dirinya mengomel panjang lebar, yang diomeli malah sedang melamun. Pantas saja tidak ada bantahan dari Lillian. Merasa bersalah, Harvey mengusap lembut kepala Lillian.

"Apapun yang disampaikan Richard, kita akan menghadapinya bersama. Ya?"

Setelah itu Harvey menggandeng Lillian masuk ke dalam restaurant. Saat mereka masuk ke private room, Richard langsung menyambutnya dengan luar biasa ramah. Tanpa sadar, Lillian bergidik. Keramahan Richard justru membuatnya merasa kalau akan ada badai datang setelah acara basa basi ini. Sementara itu disebelahnya, Harvey mengeratkan genggaman tangannya, meyakinkan tanpa kata kalau semua akan baik - baik saja.

Richard memberi kode pada pelayan untuk mulai mengeluarkan makanan yang sudah dipesannya dari tadi. Kedua orang di hadapannya baru pulang dari kantor masing - masing, tentu saja perut mereka sudah keroncongan.

"Habiskan makananmu, setelah itu baru kita bicara." perintah Harvey pada Lillian dan juga Richard yang langsung mengangguk setuju. Harvey meletakkan beberapa potong daging dan sayur ke dalam piring Lillian.

Lillian berterima kasih dan langsung menyantapnya. Dia tahu moodnya akan buruk setelah mendengar kabar yang akan disampaikan oleh Richard. Tidak ada hal baik tentang Ernest belakangan ini, jadi lebih baik dirinya mengisi perutnya. Dia butuh energi untuk menghadapi masalah.

Entah karena tak sabar atau memang lapar, Lillian menghabiskan makanannya dengan cepat. Begitu suapan terakhir masuk ke mulut, dia menyeka mulut dan memandang Richard sambil berkata, "Sekarang aku sudah siap mendengarkan. Silahkan dimulai," ucapnya yakin. Ada Harvey disini, apalagi yang ditakutkannya? Mau menutupi dari Harvey pun rasanya sia - sia. Laki - laki itu sudah tau semuanya.

Richard mengeluarkan sebuah ipad dari tasnya, mengutak atik sejenak dan menyodorkannya pada Lillian. "Silahkan dibaca, Ms. Lillian."

Dengan hati - hati Lillian menerima benda pintar itu, disana tersimpan data - data perusahaan milik Ernest yang tercatat hingga detail - detailnya. Lillian membaca halaman demi halaman hingga berhenti di sebuah laporan yang membuat kerutan di dahinya makin dalam. Disana tertulis kalau beberapa kali Ernest memakai uang perusahaan dalam jumlah yang besar untuk keperluan pribadi. Lillian melirik angka - angka yang tertera disana.

"Apa maksudnya keuangan perusahaan Ernest sedang minus?" tanya Lillian hati - hati, sambil berharap dirinya yang salah paham.

"Aku meminta Richard menyelidiki keuangan Ernest. Dan inilah hasilnya, bangkrut hanyalah soal waktu." jawab Harvey menggantikan Richard. Sepasang matanya memandang Lillian dengan tatapan iba. Tidak ada yang tersisa dalam pernikahannya selain hutang yang menumpuk.

"Jadi ini alasannya kenapa Ernest meminjam rentenir. Mungkin untuk menolong keuangan perusahaan." gumam Lillian, berusaha positive thinking.

"Tidak, Lili. Adikku tidak sebaik itu. Aku curiga kebiasaan berjudinya kambuh lagi." bantah Harvey tanpa tedeng aling - aling.

Richard mengangguk setuju. Dia sudah lama mengenal kakak beradik Luther ini dan tahu benar bagaimana sesungguhnya kelakuan Ernest. Laki - laki itu tahu bagaimana menutupi keburukan dari keluarganya. Bahkan di awal - awal Harvey tak percaya kalau adiknya suka berjudi.

"Tapi Ernest sudah lama menghentikan kebiasaan berjudinya." Lillian hanya berani mengucapkannya dalam hati karena Harvey pasti akan langsung membantahnya.

Setelah itu pembicaraan diantara mereka bertiga keluar masuk telinganya tanpa benar - benar bisa diserap dengan baik oleh Lillian. Dia gelisah. Kemana harus menghubungi Ernest? Sedangkan hutang menumpuk ditambah perusahaan yang sebentar lagi collapse.

"Lili, Lili. Hey, sayang!" Harvey menggoyang - goyangkan telapak tangannya di depan wajah Lillian.

"Eh?"

"Kamu melamun?"

"Tidak. Aku tidak."

"Kamu tidak mendengar Richard berpamitan?"

"Oh, eh, ya. Silahkan, Rich," gagap Lillian sambil menganggukkan kepala ke Richard.

Harvey memutar bola matanya. Kebiasaan, Lillian selalu berusaha menutupi perasaannya. Tapi tetap saja dirinya bisa membaca kegelisahan wanita itu.

"Tidak melamun, tapi ponsel berbunyi pun tidak dengar." cibir Harvey lagi.

"O'ya?!" Refleks Lillian mengambil ponsel dari tas dan langsung menerima panggilan tanpa sempat melihat layar.

"Hallo ---"

"Keluyuran kemana saja kamu?"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Effie Widjaya
baru muncul si ernest
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status