Sesaat Lillian termenung. Layar ponsel otomatis meredup lalu gelap sementara pemiliknya sedang termangu. Lillian benar - benar tak tahu harus bagaimana merespon pesan itu. Pikiran buruk tentang Ernest semakin merasuki pikirannya. Masalah kartu kredit dan hutang pada rentenir belum juga beres, tapi sepertinya masalah lain akan segera menyusul. Ruwet dan mumet, itulah yang dirasakan oleh Lillian saat ini.
Sekali lagi ponsel Lillian bergetar. Kali ini dari Harvey yang memberitahu kalau dirinya sudah siap di lobby. Tak ingin membuat Harvey menunggu, Lillian bergegas menyambar tas tangan miliknya. Dalam sekejap, dia sudah setengah berlari menuju lift untuk turun ke lobby dengan hati yang kacauDi dalam lift, Lillian berusaha mengatur ekspresinya senatural mungkin supaya tidak membangkitkan kecurigaan Harvey. Langkahnya terhenti saat melihat Harvey menunggunya di depan lift sambil tersenyum. Matanya teduh dengan kedua tangannya terentang seperti seorang kekasih yang menanti wanitanya menghambur ke pelukan.Seketika semua beban di pikiran Lillian menguap. Dia melangkah mendekat pada Harvey dan membuka mulutnya, "Har... -"Kalimat Lillian terputus saat kedua lengan Harvey menariknya ke dalam pelukan. Jantung Lillian berdebar kencang saat lengan Harvey yang kuat memeluk pinggangnya. Tiba - tiba saja tubuh Harvey sudah melingkupi dirinya.Tanpa sadar wanita muda itu memejamkan mata. Harum aftershave yang dipakai oleh Harvey masuk ke indera penciumannya. Aroma woody yang khas, menenangkan pikiran. Lillian merasa berada di tempat yang aman dan nyaman.Beberapa kali Harvey mengecup pucuk kepala Lillian hingga wanita itu menyadari kalau mereka sedang berpelukan di lobby kantornya."Har, ayo pulang," ajaknya sambil melepaskan pelukan mereka. Dia takut ada teman satu kantornya melihat adegan ini. Tidak ada kakak dan adik ipar yang berpelukan dengan cara seperti ini, sedekat apa pun mereka."Tapi kita harus mampir dulu ke suatu tempat.""Makan malam?" tanya Lillian dengan mata berbinar. Dia memutuskan untuk melupakan sejenak masalahnya dan menghabiskan malam ini bersama Harvey. Biarlah masalah Ernest dipikirkan besok.Harvey merangkul bahu Lillian dan merapatkan tubuh wanita itu ke tubuhnya. Kemudian mereka berjalan bersama dengan tangan Harvey melingkar di bahu Lillian. "Tadi Richard menghubungi nomermu. Dia ingin memberitahu sesuatu tentang Ernest, tapi kamu tidak membalasnya. Sekarang kita akan pergi menemuinya, sekalian makan malam. Ya?""Richard?" Dahi Lillian berkerut, jadi nomer asing tadi adalah Richard, kuasa hukum Harvey dan Ernest. Nomor yang digunakan bukan nomer yang biasanya, sepertinya laki - laki itu memakai nomer pribadinya.Harvey mengangguk. Mereka sudah tiba didepan mobil. Laki - laki itu segera membukakan pintu dan mempersilahkan Lillian masuk."Ada apa lagi ini? Aku harap Ernest tidak membuat masalah lagi." keluh Lillian sambil menghempaskan tubuhnya ke jok mobil. Biasanya Richard hanya menghubunginya kalau ada masalah.Separuh hati Lillian ingin menangis. Kalau saja bisa, ingin rasanya dia kabur dari semua masalah yang datang silih berganti. Tapi hati nurani Lillian terus mengingatkannya pada sumpah setia yang diucapkan di depan altar pernikahan, yaitu untuk saling menjaga dan memiliki, dalam susah maupun senang."Apalagi yang bisa dibuat oleh Ernest selain masalah?" sinis Harvey. Mobil yang mereka kendarai mulai menembus jalanan kota yang ramai.Lillian memutar bola matanya. "Ernest hanya tidak pintar mengatur keuangan, Har. Setidaknya dia setia," ucapnya membela Ernest. Kalau dipikir - pikir, justru dirinya yang melakukan kesalahan lebih besar dengan tidur bersama Harvey. Lillian tidak bisa membayangkan bagaimana marahnya Ernest kalau tau dirinya sudah tidur dengan Harvey."Setia katamu?" dengus Harvey tak suka."Ayolah, Har. Kita yang sudah menusuk Ernest dari belakang. Kenapa kamu malah menuduhnya yang tidak - tidak?""Hanya karena kamu tak tahu apa - apa, bukan berarti Ernest setia padamu," desis Harvey penuh emosi.Lillian memandang heran pada Harvey. "Sejak kapan kamu mulai berbicara buruk tentang adikmu?""Sejak dia menyakiti dan terus memanfaatkan ketidak tahuanmu. Jangan dikira, aku tak tahu jumlah hutangnya pada rentenir dan kartu kredit."Lillian membuka mulut, lalu segera menutupnya kembali ketika Harvey kembali bicara dengan penuh emosi. "Aku yakin dia sengaja menghilang supaya bisa melimpahkan tanggung jawab padamu. Lebih baik dia menghilang selamanya atau aku akan menghajarnya tanpa ampun."Tak jadi membantah, Lillian malah memandang wajah serius Harvey yang sedang menyetir sambil marah - marah. Jantungnya berdebar saat melihat garis rahang yang tegas milik Harvey. Tampan dan gentleman.Terlalu fokus pada pikirannya sendiri, Lillian tak menyadari mereka sudah sampai. Harvey mengulum senyum. Di saat dirinya mengomel panjang lebar, yang diomeli malah sedang melamun. Pantas saja tidak ada bantahan dari Lillian. Merasa bersalah, Harvey mengusap lembut kepala Lillian."Apapun yang disampaikan Richard, kita akan menghadapinya bersama. Ya?"
Setelah itu Harvey menggandeng Lillian masuk ke dalam restaurant. Saat mereka masuk ke private room, Richard langsung menyambutnya dengan luar biasa ramah. Tanpa sadar, Lillian bergidik. Keramahan Richard justru membuatnya merasa kalau akan ada badai datang setelah acara basa basi ini. Sementara itu disebelahnya, Harvey mengeratkan genggaman tangannya, meyakinkan tanpa kata kalau semua akan baik - baik saja.
Richard memberi kode pada pelayan untuk mulai mengeluarkan makanan yang sudah dipesannya dari tadi. Kedua orang di hadapannya baru pulang dari kantor masing - masing, tentu saja perut mereka sudah keroncongan.
"Habiskan makananmu, setelah itu baru kita bicara." perintah Harvey pada Lillian dan juga Richard yang langsung mengangguk setuju. Harvey meletakkan beberapa potong daging dan sayur ke dalam piring Lillian.
Lillian berterima kasih dan langsung menyantapnya. Dia tahu moodnya akan buruk setelah mendengar kabar yang akan disampaikan oleh Richard. Tidak ada hal baik tentang Ernest belakangan ini, jadi lebih baik dirinya mengisi perutnya. Dia butuh energi untuk menghadapi masalah.Entah karena tak sabar atau memang lapar, Lillian menghabiskan makanannya dengan cepat. Begitu suapan terakhir masuk ke mulut, dia menyeka mulut dan memandang Richard sambil berkata, "Sekarang aku sudah siap mendengarkan. Silahkan dimulai," ucapnya yakin. Ada Harvey disini, apalagi yang ditakutkannya? Mau menutupi dari Harvey pun rasanya sia - sia. Laki - laki itu sudah tau semuanya.Richard mengeluarkan sebuah ipad dari tasnya, mengutak atik sejenak dan menyodorkannya pada Lillian. "Silahkan dibaca, Ms. Lillian."
Dengan hati - hati Lillian menerima benda pintar itu, disana tersimpan data - data perusahaan milik Ernest yang tercatat hingga detail - detailnya. Lillian membaca halaman demi halaman hingga berhenti di sebuah laporan yang membuat kerutan di dahinya makin dalam. Disana tertulis kalau beberapa kali Ernest memakai uang perusahaan dalam jumlah yang besar untuk keperluan pribadi. Lillian melirik angka - angka yang tertera disana.
"Apa maksudnya keuangan perusahaan Ernest sedang minus?" tanya Lillian hati - hati, sambil berharap dirinya yang salah paham.
"Aku meminta Richard menyelidiki keuangan Ernest. Dan inilah hasilnya, bangkrut hanyalah soal waktu." jawab Harvey menggantikan Richard. Sepasang matanya memandang Lillian dengan tatapan iba. Tidak ada yang tersisa dalam pernikahannya selain hutang yang menumpuk."Jadi ini alasannya kenapa Ernest meminjam rentenir. Mungkin untuk menolong keuangan perusahaan." gumam Lillian, berusaha positive thinking."Tidak, Lili. Adikku tidak sebaik itu. Aku curiga kebiasaan berjudinya kambuh lagi." bantah Harvey tanpa tedeng aling - aling.Richard mengangguk setuju. Dia sudah lama mengenal kakak beradik Luther ini dan tahu benar bagaimana sesungguhnya kelakuan Ernest. Laki - laki itu tahu bagaimana menutupi keburukan dari keluarganya. Bahkan di awal - awal Harvey tak percaya kalau adiknya suka berjudi."Tapi Ernest sudah lama menghentikan kebiasaan berjudinya." Lillian hanya berani mengucapkannya dalam hati karena Harvey pasti akan langsung membantahnya.Setelah itu pembicaraan diantara mereka bertiga keluar masuk telinganya tanpa benar - benar bisa diserap dengan baik oleh Lillian. Dia gelisah. Kemana harus menghubungi Ernest? Sedangkan hutang menumpuk ditambah perusahaan yang sebentar lagi collapse."Lili, Lili. Hey, sayang!" Harvey menggoyang - goyangkan telapak tangannya di depan wajah Lillian."Eh?""Kamu melamun?""Tidak. Aku tidak.""Kamu tidak mendengar Richard berpamitan?""Oh, eh, ya. Silahkan, Rich," gagap Lillian sambil menganggukkan kepala ke Richard.Harvey memutar bola matanya. Kebiasaan, Lillian selalu berusaha menutupi perasaannya. Tapi tetap saja dirinya bisa membaca kegelisahan wanita itu."Tidak melamun, tapi ponsel berbunyi pun tidak dengar." cibir Harvey lagi."O'ya?!" Refleks Lillian mengambil ponsel dari tas dan langsung menerima panggilan tanpa sempat melihat layar."Hallo ---""Keluyuran kemana saja kamu?""Keluyuran kemana saja kamu? Apa gunanya membawa ponsel kalau susah sekali dihubungi?"Tubuh Lillian menegang saat mendengar suara seorang laki - laki, sebuah hardikan yang familiar dari seberang sana. Tanpa sadar matanya refleks menatap Harvey dengan perasaan nelangsa. Seharusnya dia yang bertanya kemana Ernest keluyuran selama ini, bukan malah dibalik seperti sekarang ini. Ernest lebih dulu menuduhnya keluyuran. Memang beberapa jam ini, Lillian tidak menyentuh ponselnya. Tapi apakah semua ini salahnya? Toh selama ini Ernest tidak pernah menghubungi Lillian. Belum sempat Lillian menjawab, perintah berikutnya sudah kembali terdengar, "Bukakan pintu untukku! Lima belas menit lagi aku sampai rumah."Akhirnya perjalanan pulang dilalui Lillian dengan perasaan yang terombang ambing. Setelah sekian lama tanpa kabar, akhirnya Ernest menelepon dengan nomer baru. Seharusnya seorang istri senang saat suaminya memberi kabar akan pulang ke rumah. Tapi pada kenyataannya, Lillian sama sekali tidak
"HENTIKAAAAN!!" pekik Lillian sekuat tenaga. Melihat wajah panik Lillian memenuhi pandangannya, Harvey menghentikan kepalan tangannya di udara. "Kalian berdua kakak beradik! Semua bisa dibicarakan baik - baik. Lihat! Ernest tidak melawan. Apa kamu ingin membunuhnya?" seru Lillian penih emosi. Dia menghampiri Ernest dan membantu laki - laki itu supaya bisa berdiri. Saat ini dia harus memilih untuk mengurus orang yang lebih membutuhkan dirinya. "Ernest, kamu tidak apa - apa?" tanya Lillian sambil menatap tajam kearah Harvey. Harvey bergeming. Dia memperhatikan setiap ekspresi yang bercampur menjadi satu di wajah Lillian. Di wajah wanita itu tidak hanya tergambar rasa panik dan cemas tapi juga marah. Rasa khawatir itu tentu saja untuk Ernest, sedangkan kemarahannya sudah jelas ditujukan kepada dirinya. "Apa kamu marah padaku, Lili?" tanya Harvey pelan. "Menurutmu?" Lillian balik bertanya, kebiasaannya saat dia marah. Dia mengangkat alisnya tinggi - tinggi. "Tapi dia sudah membuatmu
"Done. Thanks," ucap Ernest sambil tersenyum puas. "Ha?" Lillian melongo melihat Ernest dengan santai melemparkan ponsel yang tadi dia rampas ke tempat tidur. Apa yang telah dilakukan oleh Ernest pada ponselnya? Lillian bergegas menyambar benda pipin itu. Belum sempat dirinya memeriksa ponsel, sudut matanya menangkap bayangan Ernest berjalan menuju lemari tempat penyimpanan barang berharganya. Laki - laki itu terlihat sedang memasukkan kode dan membuka brankas mini milik Lillian. Kemudian dengan santai meraup barang - barang berharga didalamnya lalu memasukkan semuanya ke dalam kantong celana. Setelah itu dia menggulung beberapa lembar surat berharga dan memasukkannya ke dalam saku bagian dalam jaketnya. Tubuh Lillian semakin gemetar karena marah. Tapi dia juga takut dipukul. Suasana seperti ini sangat familiar dan biasanya akan berlanjut dengan kekerasan fisik apabila dia tak mau patuh pada Ernest. Lillian putus asa. Dia belum sempat membicarakan soal tagihan debt collector dan cic
Di saat Lillian sedang berseteru dengan Ernest, Harvey memutuskan untuk pergi mengunjungi apartment Richard, satu - satunya teman yang bisa dia percaya saat ini. Pengacara itu bergegas membukakan pintu, dia bengong sesaat begitu menyadari siapa yang datang. "Harvey?" "Hey," sapa Harvey yang terlihat lesu. Dia mendorong Richard agar tidak menghalangi jalan masuk ke dalam apartment. Harvey masuk begitu saja seolah masuk ke dalam rumahnya sendiri. Langkahnya gontai, wajahnya kusut. "Ada apa denganmu?" Richard heran, mereka baru saja bertemu saat makan malam tadi. Dia menutup pintu dan mengikuti langkah Harvey. Harvey menghempaskan tubuhnya di sofa, di depan sebuah ipad yang posisinya berdiri di atas meja. Layarnya dalam kondisi menyala dan menghadap kearah Harvey. "Hey, Har! Harvey!" Suara seorang wanita yang sangat familiar terdengar tak jauh darinya. Nadanya ceria dan bersemangat. Harvey terkejut. Celingukan, dia menoleh ke kanan dan kiri. "Di ipad, Har. Lihat aku!" seru wanita it
"Ya, Sayang?" Suara lembut Ernest seakan bergema di suasana malam yang sepi. Lillian terhenyak. Dia seperti melihat Ernest di masa lalu. Laki - laki ramah dan lembut yang dicintainya. Waktu itu panggilan cinta berhamburan dari mulut manis Ernest, membuat Lillian mabuk kepayang. Siapa sangka, tiba - tiba saja Ernest berubah setelah mereka menikah. Laki - laki itu seperti menunjukkan sifat aslinya. Dia begitu kasar, suka menghambur - hamburkan uang dan ringan tangan. "Oke. Aku datang." Suara Ernest memudarkan lamunan Lillian. "Ern... -" Sebelum sempat Lillian menyelesaikan kalimatnya, Ernest sudah masuk ke dalam mobil dan langsung melajukan kendaraannya, meninggalkan Lillian begitu saja. Seketika pikiran buruk menyelusup di kepala dan hati Lillian bersamaan dengan angin malam yang menghembuskan udara yang dingin. Lillian memeluk dirinya sendiri, sekali lagi memandang mobil yang dikendarai Ernest. Kendaraan beroda empat itu pergi menjauh, lalu menghilang di tikungan. Terlalu kecew
Telapak tangan Harvey mulai menyusup kebalik piama yang dipakai oleh Lillian, mengusap kulit halus yang ada di dalam sana. Perjalanan tangan Harvey begitu lancar hingga mendapati Lillian tidak memakai bra."Hm..., apa kamu mencoba menggodaku, Lili?" bisik Harvey di sela - sela ciumannya."Ha?""Lembut sekali," bisik Harvey semakin melantur. Tangannya dengan santai menyentuh bulatan kembar milik Lillian seakan benda itu miliknya.Lillian memutar matanya kesal. Di saat orang sedang terhanyut oleh suasana, kata - kata Harvey malah mengembalikannya pada sebuah kenyataan bahwa hubungan mereka terlarang."Har, stop! Kamu yang memancingku. Jangan katakan kamu ingin mengulang kesalahan yang sama lagi!" Lillian berusaha membentengi diri meski tidak ada ketegasan dalam nada suaranya. Akhir - akhir ini, Harvey terlihat lebih tampan dimatanya. Setiap kali bersama Harvey, Ernest pasti akan tersingkirkan dari pikirannya."Woops...!"Harvey tiba - tiba mengganti posisi mereka. Dia tertawa saat tubuh
Gara - gara melihat bekas merah di leher Lillian, pagi - pagi Harvey sudah uring - uringan. Harvey berusaha menyibukkan diri dengan menyiapkan sarapan pagi untuk mereka dan menunggu Lillian turun dengan sendirinya. Dia sengaja tidak membangunkan wanita itu karena masih marah. Biar saja sekali - kali Lillian ijin tidak masuk kerja, toh jatah libur tahunan milik Lillian masih banyak. Harvey mengambil laptop, duduk di meja makan dan membukanya, lalu tangannya meraih mouse. Dalam sekejap layar monitor yang terpampang di hadapannya menampilkan nilai - nilai mata uang dunia, update harga logam mulia terkini hingga pergerakan saham pagi ini. Laki - laki itu mengerang kesal saat suara ponsel yang nyaring memecah konsentrasinya. Padahal dirinya mulai hanyut dengan berita - berita yang dibacanya. Telapak tangannya menggapai ponsel yang ada di sebelah laptop, lalu membaca nama yang tertera di layar. "Ya, Mama?" sapa Harvey begitu menempelkan ponsel di telinganya. Suaranya terdengar berat dan t
Tangan Lillian bergetar saat melihat sisa saldo yang tertera di rekening bank-nya. Uang tabungannya terkuras habis. Di catatan transaksi jelas sekali tertera nama Ernest sebagai penerima dana. Suami kurang ajar itu benar - benar keterlaluan. Dia hanya menyisakan sedikit uang yang bahkan tak akan cukup untuk makan hingga akhir bulan.Uang tunai di dompet dan perhiasan juga sudah lenyap dibawa oleh Ernest. Mau menyebut Ernest dengan sebutan perampok tapi laki - laki itu suaminya. Lillian benar - benar geram. Perasaannya bercampur baur antara muak dan kalut. Tega sekali Ernest memperlakukan dirinya semena - mena seperti ini. Dia tahu kalau Ernest dari dulu tidak pintar mengatur keuangan tapi bukan berarti harus habis - habisan seperti ini kan? Mereka sama - sama bekerja, punya penghasilan masing - masing. Seharusnya uang tidak masalah kalau hanya untuk dipakai keperluan sehari - hari untuk dua orang. Selama ini, hanya pendapatan Lillian yang dipakai untuk biaya hidup. Pendapatan Ernest ya