Bulan menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha menolak kebenaran setelah mengingat semua yang terjadi padanya semalam. Bulan malu pada dirinya sendiri dan juga Langit. Ke mana akal pikirannya hingga dia dengan berani menggoda suaminya. “Seharusnya kamu menyadarkan aku, bukan mengambil kesempatan!” “Bukankah kamu sudah mengingat semua yang terjadi? Aku sudah mengingatkanmu, aku tak bertanggung jawab kalau kamu bangun pagi ini. Semuanya salahmu, bukan salahku.” “Pokoknya itu semua salahmu, kamu yang salah!” Langit berdecap sebal. Bulan kekeh dengan pendapatnya. Baginya wanita selalu benar. “Terserah. Sekarang lebih baik kamu mandi. Aku sudah memesan sup pengar, setelah itu kita sarapan. Jangan lupa telepon Mama. Semalam aku lihat Mama mengirimkan pesan padamu.” Bulan mengangguk, masuk ke dalam kamar mandi seraya membanting pintu dengan keras. Langit bahkan mengusap dadanya beberapa kali karena terkejut. Detik berikutnya, Langit mengulum senyum. Dia tahu istrinya itu pasti malu hin
Bulan dan Langit kini berada di restoran hotel. Seperti kata langit, dia mengajak Bulan sarapan lebih dulu sebelum meninggalkan hotel.Setelah perdebatan mereka yang seolah tak ada habisnya. Bulan dan Langit tampak akur berjalan beriringan mengambil beberapa makanan yang ada di stand.Langit mengambilkan bubur ayam dan membawanya ke meja. Dia mendorong mangkok berisi bubur ayam itu ke arah istrinya.Bulan mendongakkan kepalanya, “Kamu menyuruhku makan ini?”Langit mengangguk, “Perutmu pasti tak nyaman, lebih baik kamu makan ini dulu baru yang lain.”“Jangan bercanda, aku nggak mau, aku nggak sakit.”“Sekali saja dengarkan aku kali ini. Atau aku harus menelepon Mama dan mengatakan yang sebenarnya? Meminta mama membujukmu makan ini?”Bulan menghela nafas berat, pilihan yang cukup sulit baginya. Dia tidak suka makan bubur, tapi dia juga tak mau Langit mengatakan pada Mamanya tentang apa yang terjadi semalam. Langit menatap istrinya yang masih gamang. Dia tahu butuh effort untuk
Langit menyeka wajah kasar. Langit yang merasa tak enak hati dengan Baby pun berusaha mencegah Bulan melanjutkan adu mulut antara keduanya. “Apa! Katakan saja!” “Aku antar Baby pulang, kamu tunggu aku di sini.” Demi mencegah kejadian yang tidak dia inginkan, lebih baik Langit dengan cepat memisahkan mereka berdua. Sebab suasana sepertinya kian memanas. Langit hanya tak mau Baby melakukan sesuatu di luar kendalinya yang bisa merugikan istrinya. “Pergi saja, antarkan dia, aku takut dia merajuk dan menangisi nasibnya nanti,” ketus Bulan pada Baby seraya menyendok buburnya. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam dia remuk redam. Sebab bukan akhir seperti ini yang dia harapkan dari Langit. Dia ingin gadis itu yang pergi dari sana, bukan pergi dari sana dengan bayangan Langit. Bulan berusaha menghempaskan perasaan perih yang tiba-tiba hadir. Bulan menatap gadis di depannya yang sudah berdiri memegang lengan suaminya. Kebahagiaan terlukis jelas di wajahnya. “Aku pergi dulu,” pamit Lang
Bulan mengerjapkan mata beberapa kali, dia berjalan mondar-mandir dan tampak berpikir jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan suaminya. Sebuah tebakan konyol yang cukup sulit dijawabnya.“Sudahlah, menyerah saja.”“Nggak, aku bahkan belum mencoba menjawabnya dan kamu sudah menyuruhku menyerah, itu bukan aku, Langit.”Langit mengangguk-angguk, kesombongan istrinya memang tiada duanya.“Aku beri waktu dua menit lagi.”Bibir Bulan menyeringai, dia tahu jawabnya, dengan cepat dia mendekati suaminya dan menjawab.“Karena matahari nggak bisa berenang.”“Damn it!” umpat Langit. Dia tak menyangka Bulan bisa menjawab pertanyaan konyol darinya. Bulan tertawa senang, dia menang dari suaminya. Tanpa sadar dia memeluk Langit dengan gemas. Ternyata bahagia versi Bulan benar-benar sederhana. Langit membatin saat melihat istrinya itu tertawa lepas tanpa beban.Bulan yang mulai menyadari kekhilafannya pun melepaskan pelukannya.“Sorry, Langit. Aku terbawa suasana.”“It’s ok, nggak mas
Langit hanyut dalam derap lamunan panjangnya. Memikirkan bagaimana caranya agar dia mengungkapkan perasaan yang sebenarnya pada istrinya. Namun sisi hatinya yang lain takut menghadapi kenyataan bahwa Bulan lebih memilih atasannya ketimbang dirinya yang tak memiliki apa-apa. Melihat Bintang yang tampak begitu lembut memperlakukan Bulan, ditambah lagi, sejak awal memang lelaki itulah yang seharusnya menjadi suami Bulan bukan dirinya, membuat hatinya kian gamang. “Kamu ngapain di sini.” Langit terjengit kaget saat tepukan Bulan berada di bahunya. “Nggak ngapa-ngapain, hanya berjaga-jaga kalau kalian membutuhkan sesuatu." “Mau ke mana?” tanya Langit yang curiga istrinya akan pergi dengan Bintang. “Aku mau pergi sama Bintang, sebentar saja.” “Ke mana?” “Tanyakan saja padanya, aku tak tahu dia mau membawaku ke mana.” “Apa dia buta? Bukankah dia tahu kalau aku suamimu? Wajarkah jika seorang istri pergi dengan lelaki lain sementara suaminya di rumah?” “Jangan mengaturku, Langit.” “M
Mine berdecih, “Kamu terlalu negatif thinking, Langit. Honestly aku mau membantumu, kalau kamu benar-benar menyukai sahabatku."Langit tertawa meremehkan, dia tak yakin kalau Bulan menyukainya, secara melihatnya tampak begitu nyaman dengan Bintang. Sementara saat bersamanya sembilan puluh persen mereka berantem dan hanya sepuluh persen berdamai.“Jangan bercanda, even kamu ngomong dia menyukaiku, aku masih belum yakin. Kamu tak pernah tahu isi hati seseorang, Mine. Tak terkecuali sahabat dekatmu sendiri.”Mine menghela nafas panjang, dua anak manusia yang sama-sama keras kepala itu masih denial dengan perasaannya sendiri. Membiarkan perasaan mereka seperti rumput liar yang tumbuh dengan lebat, namun dengan sigap memangkasnya habis-habisan.Melihat Langit yang masih duduk di depannya, Mine pun menggodanya.“Katanya mau pergi?”Langit diam, memilih mengatupkan bibirnya lalu menikmati kopinya. Dia menggeser posisi duduknya menjadi di samping Mine. Mine meliriknya dan tersenyum geli
Temaram mulai datang, lembayung senja mulai menghilang. Keheningan memecah di antara mereka. Mine tampak masih saja menekuk muka. Dia mengayunkan kakinya yang berada di bawah meja. Sayangnya kakinya yang jenjang itu salah sasaran. Bak bumerang yang kembali pada pemiliknya. Bulan mengaduh saat Langit mencubit kakinya yang berhasil menendang tulang kering suaminya.“Aduh, sakit, Langit.”“Makanya punya kaki di jaga, kalau perlu disekolahin biar tahu sopan santun.”Bintang geming, dia memilih menulikan telinganya mendengar perdebatan mereka berdua. Sesak merundung dadanya mendengar serta melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana mereka bertengkar dengan mesra. Bagi orang lain mungkin itu terlihat biasa. Namun tidak bagi Bintang dan juga Mine. Mereka punya mata dan indera perasa yang cukup tajam untuk mengetahui bagaimana perasaan sepasang suami istri pura-pura itu.Bintang berdeham, dia mencari perhatian Bulan dengan caranya sendiri. Bulan yang mulai menyadari keberadaan Bint
“Kita pulang beneran? Atau kamu mau pergi ke mana?” tanya Mine pada sahabatnya yang memilih melempar pandangannya keluar jendela, menikmati indahnya lampu kota yang tampak berkelap-kelip layaknya hatinya yang kadang padam dan kadang terang. “Honestly aku belum ingin pulang, Mine, ini masih terlalu dini untuk pulang,” jawab Bulan melirik pergelangan tangannya. Ide cemerlang mendadak menghampirinya. “Aku sedang butuh pelampiasan. temani aku kulineran, aku mau street food, sekaligus kita bisa mencari udara segar.” “Hilih, mencari udara segar, memang yang kamu hirup sekarang kurang segar? Kalau kurang segar pergilah ke kutub utara.” Bulan tertawa mendengar ocehan sahabatnya yang tergolong sarkas padanya. Bulan membuka kaca jendela dan mulai membiarkan angin menampar wajahnya. Berharap itu bisa meredakan riuh isi kepalanya. Perlahan Bulan mulai memejamkan matanya. Lalu membuka matanya kembali saat wajah Langit terlintas di pikirannya. Dia menatap lurus ke depan pada jalanan yang cuku