“Kamu lupa sudah nampar saya?”“Gimana?”“Kan kamu kemarin siang nampar saya pakai lidah,” ucapnya dengan senyuman geli, membuatku salah tingkah karena ucapannya.“Hayoo apa nih yang pakai lidah – lidah segala, bisikin dong!!” suara Rima yang tiba-tiba membuat aku dan Mas Riza terlonjak kaget bersamaan.=====================================================POV RizaHuasem kecut, punya adik cuma satu saja meresahkan sekali. Hatiku dongkol setengah mati saat lagi-lagi Rima mengganggu ku ketika bersama dengan Gianira. Padahal aku selalu berbuat baik kepadanya, memberikan semua yang dia butuhkan tanpa ada penolakan, namun sikap resenya kepadaku seolah tidak pernah hilang, malah semakin parah, membuatku merasa terdzolimi.Kalau saja ayah tidak menitipkan pesan kepadaku untuk selalu menjaga dan melindungi anak itu, pastilah aku akan melawan tiap kali dia menjahiliku. Ayah sangat menyayangi Rima, bukan berarti ayah tidak menyayangiku, hanya saja ayah lebih protektif jika itu berhubungan deng
“Ta-tapi, ke-kenapa?” ucapnya lirih saat sudah bisa menguasai rasa terkejutnya.“Seperti yang kamu bilang, Gianira memiliki kepribadian yang baik, dia cantik, bertutur kata lembut, sayang sama anak-anak, dia rela dimaki Riza hanya untuk memperjuangkan kebahagian Tiara yang bahkan bukan anak kandungnya, itu membuat hati Mas tersentuh, sepertinya Mas cinta Gia beneran dan Mas akan berjuang untuk mendapatkannya juga,”“Mas …”“Maafin mas, Rim,”=====================================================Butuh waktu beberapa saat untuk Rima akhirnya menyadari jika yang dikatakan Dhanis barusan adalah sebuah kenyataan yang harus diterimanya. Rencana yang dia susun akhirnya tidak sepenuhnya berhasil, karena kini, walaupun dia sudah mengetahui jika kakaknya menyukai Gianira, namun dia juga tidak bisa menutup mata, jika Adhanis bukanlah lawan yang bisa dianggap remeh.Segala yang Adhanis miliki, mulai dari karier, jabatan di kampus maupun di perusahaan jasa advokatnya, wajah dan postur tubuh yang s
Dadanya berdegup dengan kencang, nafasnyapun memburu cepat, saat melihat Gianira dan sahabatnya berbincang dengan saling melempar senyum. Riza memandang penuh marah, entah kepada siapa, karena dirinya pun sadar jika Gianira bukanlah miliknya, tidak seharusnya dia merasakan hal seperti itu, namun hatinya tidak bisa berbohong, dia tidak menyukai pemandangan saat Gia dan Dhanis berbincang santai.Riza merasa cemburu, karena selama ngobrol dengannya, Gia tidak pernah sekalipun menampakan ekspresi santai seperti saat dia berbicara dengan sahabatnya.=====================================================Gianira tampak kewalahan menghadapi banyaknya pembeli, sungguh, dirinya tidak menyangka jika usaha bubur yang baru digelutinya selama dua hari ini menarik antusiasme warga desa dengan cukup tinggi. Suara denting karena terpantulnya sendok dengan mangkuk dari pembeli yang memakan bubur ditempatnya, membuat senyum Gianira tidak berhenti berkembang, walaupun lelah, namun kalimat syukur senan
“Nanti sore bikinin saya kopi susu, ya! Saya mau minum kopi susu sambil nikmatin ombak,”“Kok kopi susu, bukannya enakan minum air kelapa muda kalau di pantai gini?”“Boleh aja, sih, tapi kamu temenin, yah!”“Emooohh!!”“Ha ha ha,”=====================================================Gianira keluar cottage untuk memanggil Rosmalia dan anak-anak serta cucunya, untuk segera makan siang karena makanan sudah tersedia di atas meja makan. Lagi-lagi senyum Gianira berkembang lebar, dadanya sesak penuh haru saat melihat kebahagiaan yang tengah anak-anaknya rasakan.Pasalnya ini adalah pertama kalinya Langit dan Bumi pergi berlibur, bukan hanya ke pantai, namun juga untuk berlibur, karena selama ini uang yang ayahnya berikan kepada Gianira hanya cukup untuk makan dan membayar kontrakan saja, sehingga jangankan liburan jauh, bahkan untuk sekedar ke pasar malampun mereka belum pernah.Kini, saat melihat kedua putranya berlari berkerjaran dengan gembira bersama Riza dan Rima, membuatnya bersyuku
“Berarti kalau proses cerainya sudah selesai mau dong suka-sukaan? Maunya sama mas Dhanis apa mas Riza?”“Ah mbak Rima ngaco aja, siapa juga yang mau sama janda miskin kayak saya, Mbak, punya anak dua lagi,” sahutku mencoba untuk menghentikan pembicaraan yang kurang nyaman ini.“Kalau saya mau gimana, Gi?” tiba-tiba sebuah suara terdengar yakin hingga membuatku terkejut.=====================================================Aku dan Rima terkejut saat mendengar suara, yang mengatakan jika dirinya bersedia untuk menikahiku, setelah proses cerai dan masa iddahku selesai. Sebuah suara baritone yang beberapa hari ini cukup akrab di telingaku. Seorang pria yang ku ketahui selain sebagai seorang pengacara, juga berprofesi sebagai seorang dosen di kampus tempat Rima mengajar.Mas Adhanis, pria yang baru tiga hari ini hadir dalam kehidupanku, karena dia yang akan menggantikan mas Riza dalam membantu mendampingiku selama proses perceraian. Pria cerdas, humoris nan santun namun bergaya seperti
Air mata berlinang keluar dari wajah sendu milik Gianira, tidak menyangka jika putra sulungnya akan mengingat semua peristiwa pahit yang mereka alami. Kembali terbayang, saat kedua putranya diteriaki maling karena kedapatan mengambil sebuah roti seharga dua ribu rupiah.Dua anak kecil yang tengah kelaparan harus menanggung makian dari orang-orang dewasa yang seharusnya bisa memberikan mereka perlindungan. Dirinya sungguh takut, jika kedua putranya akan hidup dengan bayang-bayang masa lalu yang kelam.=====================================================Selepas ini Gianira berjanji akan kerja lebih keras lagi agar bisa memenuhi semua kebutuhan kedua putranya. Dia tidak lagi menginginkan jika Langit dan Bumi kekurangan hiduonya, terlebih sampai kelaparan dan tidak ada makanan.Gianira juga bertekad akan selalu membahagiakan anak-anaknya agar bisa menghapus memori kelam dalam ingatan mereka. Karena sungguh, anak-anak yang tumbuh dewasa dalam bayang-bayang masalalu yang menyakitkan, akan
“So, jadi pilih apa, Bro?””Truth,” sahut Riza pelan.“Riza, jawab pertanyaan ibu, kemarin malam jadinya kamu sama Gianira tidur di mana?” seketika mata Riza membulat saat mendengar pertanyaan dari ibunya tersebut, feelingnya sudah tidak enak sejak awal Dhanis meminta bermain permainan ini, dan sekarang terbukti, hal sulit yang kemarin dia bisa lewati ternyata terulang kembali.=====================================================POV RizaDadaku berdebum begitu hebat, mengalahkan suara debur ombak yang memecah kerasnya batu karang. Bagaimana bisa ibu kembali mengulang pertanyaan yang ku anggap sudah dia lupakan. Ibuku memang sangat gigih dalam mengorek informasi apapun dari kedua anak-anaknya.Sejak ayah meninggal, ibu memiliki peran ganda dalam membesarkan aku dan juga Rima, beliau bekerja keras seperti ayah, namun juga tetap bersikap perhatian penuh kasih sayang selaiknya seorang ibu pada umumnya. Setiap harinya, ibu akan mengajak ngobrol kami berdua sebelum tidur, menanyakan apa
“So, jadi pilih apa, Bro?”Gianira membawa ibuku masuk ke kamar, saat aku ingin mengikutinya, lagi-lagi ibu melarangnya. Sungguh besar pengorbanan yang harus kulakukan untuk mendapatkan seorang sespesial Gianira.“Gue tau lu bohong, kan? Ngaku! Lu cemburu gue deketin Gianira, hah?” cecar Dhanis, saat ibuku dan Gianira sudah masuk ke dalam, menyisakan hanya kami berdua.“Buat apa gue bohong? Lu tau sendiri gue enggak akan melakukan hal yang membuat ibu gue kecewa,” elakku.“Terus apa yang lu lakuin ini, hah? Tol*l!!”“Menurut lu, cowok mana yang enggak akan tergoda kalau mendapat serangan dari cewek, hah?”“Brengs3k!!” lagi-lagi Dhanis menyerangku dengan bogemnya, ah, sakit sekali! “Pukul gue terus, Bro, sampai lu puas, tapi hal itu enggak akan merubah apapun yang sudah terjadi!”“Mas Dhanis! Tolong ibu, Mas!” Astaga, ada apa ini?=====================================================Aku dan Dhanis berlari menuju sumber suara yang berasal dari teriakan Gianira, namun karena tidak hat