"Siapa?" tanya Kafka sambil menyenggolku. Aku tidak menjawab pertanyaannya sama sekali. Sibuk memikirkan dulu.
"Nina. Ayo sini.""I—iya." Dengan langkah pelan aku melangkah duduk di sebelah Ibu paruh baya yang sedang tersenyum itu. "Kamu cantik. Sudah besar ternyata. Udah lama banget gak ketemu, Nina."Aku tersenyum, kemudian menganggukkan kepala."Kalian kesini untuk mencari tau kebenaran bukan? Soal Angkasa, kamu, dan orang tua kamu, Nina."Pelan sekali, aku menganggukkan kepala kembali. Itu memang benar. Aku mencari kebenaran di sini. "Ah, itu bukan sesuatu yang mudah untuk menjawabnya, Nina."Kenapa? Aku menatap wanita itu. "Kita harus bisa memutar kisah itu lagi. Kamu sudah mau membuka kenangan masa lalu itu?"Hah?! Aku menatap tidak mengerti. Ibu paruh baya itu menganggukkan kepala padaku. Dia tersenyum. "Apa kamu mau, NinBAB 68"Hah?! Tiada gimana, Bu?" tanyaku setengah terkejut.Bu Sari menggelengkan kepala. Buru-buru aku, Bang Tirta, juga Kafka masuk ke dalam kamar itu. Lihatlah, kedua orangtua yang tadi mengobrol dengan kami sudah terbaring lesu. Apakah mereka benar-benar tiada?Aku menelan ludah. Tidak berani mendekati lagi."Mbak." Kafka memegang tanganku. Dia mencengkeram erat. Baru kali ini bisa aku lihat kalau Kafka terlihat ketakutan sekali."Maaf, Mbak Nina. Mungkin bisa tunggu di luar. Kami akan membersihkan seluruh selang yang melilit tubuh mereka."Buru-buru aku mengangguk, meskipun masih takut. Ini benar-benar terlihat menyeramkan sekali.Ah, aku paling tidak bisa kalau sudah begini."Sudahlah. Yang penting kalian sudah bertemu dengan mereka, bukan? Tidak ada yang perlu disesali."&nb
BAB 69"Mbak, ngapain bengong di situ aja? Ayo masuk, gak capek apa dari tadi cuma bengong aja kerjaannya?"Eh? Aku menatap Kafka yang sibuk mendumal dengan kondisi lingkungan rumah Bu Sari."Mana, sih? Belum pulang juga?" tanya Bang Tirta kesal.Hanya kami berdua. Yang lainnya masih dimakam. Aku menghela napas pelan, agak pusing melihat Kafka yang sejak tadi muter-muter tidak jelas."Coba telepon, Mbak.""Telepon siapa? Mbak gak punya nomor Bu Sari.""Mama atau Papa gitu. Panas banget di sini. Pengen tidur aja."Aku mendengkus melihat Kafka yang uring-urungan. Namun, ketika hampir menghubungi, rombongan datang. Aku menghela napas lega. Akhirnya datang juga."Udah nungguin lama, ya? Maaf Ibu harusnya gak buat kalian nunggu lama.""Enggak lama, Bu." Aku menjaw
BAB 71"Ini peninggalan apa, Bu?" tanyaku pelan.Aku berkali-kali mengecek kalung itu, tidak ada yang istimewa sebenarnya. Lalu apa yang dibangga-banggakan? Dan kenapa menjadi barang peninggalan?"Itu penting sekali, Nak. Bukan hanya soal harganya, tapi banyak sekali. Kamu simpan baik-baik, ya."Baiklah. Aku menganggukkan kepala. Kami selanjutnya membahas hal lain. Sesekali aku tertawa mendengar perkataan Ibu. Sekarang, kami tidak lagi terlihat canggung. Aku melebarkan senyum ke Ibu."Lalu, kamu mau dapat harta warisa. Itu kan, Sayang? Sudah jelas kamu juga berhak atasnya."Aku menggigit bibir, tapi kemudian menggelengkan kepala. Mau aku cucunya Nenek atau Kakek, apalah. Aku tidak mau pokoknya. Ibu terlihat sedih melihat jawab yang aku berikan."Biarlah diberikan pada yang membutuhkan bagian Nina, Bu. Nina tidak ingin me
BAB 72"Kamu gak mau gitu untuk mundur? Kenapa harus maju?" tanya Mas Reno lagi.Aku diam sejenak. Apa maksud dia? Kenapa seolah aku yang salah di sini?Ah, lucu sekali. Dia mau memohon-mohon begitu? Aku malah hendak tertawa mendengarnya. Itu lucu sekali."Kenapa perceraian ini harus dilanjutkan? Aku masih cinta sama kamu.""Cinta?" Aku tertawa pelan. "Apa yang kamu bilang cinta itu?""Nin—""Coba kamu pikir dulu ulang. Sebelum kamu sampai ada di sini. Siapa yang selalu semangatin kamu? Terus sekarang, kamu gak anggap aku ada? Udahlah, capek aku ngomong sama kamu." Dia bilang begitu.Aku tersenyum tipis. Apa yang dia lakukan untukku? Wow, bisa-bisanya mengaku seperti itu. Manusia tak tahu malu."Jangan lupa datang di jadwal segitu. Mau kamu membujukku sampai ber
BAB 73"Kenapa Mama baik sekali?" Mama mengulang pertanyaanku barusan.Beberapa detik, Mama kemudian menggelengkan kepala. Tersenyum kecil ke aku."Mama gak pernah merasa baik sekali, Sayang. Mama malah sering merasa kamu itu kurang ini, kurang itu. Mama gak seperti apa yang kamu pikirkan. Mama gak sebaik itu."Aku menelan ludah, menatap Mama yang tersenyum padaku, kemudian mengusap rambutku."Kamu anak Mama, Kafka juga, Bang Tirta juga. Kenapa Mama dibilang sebaik itu?""Karena Mama—""Udah. Mama gak sebaik apa yang kalian pikirkan.""Ma, udah selesai? Ada yang nelep9n, nih."Kami menoleh ke Papa. Wajah Papa terlihat meyakinkan sekali dengan ponsel di tangannya. Menunjukkan ada yang menelepon."Ah, baiklah. Sudah selesai bicaranya, Sayang.
BAB 74"Kamu gak mau gitu untuk mundur? Kenapa harus maju?" tanya Mas Reno lagi.Aku diam sejenak. Apa maksud dia? Kenapa seolah aku yang salah di sini?Ah, lucu sekali. Dia mau memohon-mohon begitu? Aku malah hendak tertawa mendengarnya. Itu lucu sekali."Kenapa perceraian ini harus dilanjutkan? Aku masih cinta sama kamu.""Cinta?" Aku tertawa pelan. "Apa yang kamu bilang cinta itu?""Nin-""Coba kamu pikir dulu ulang. Sebelum kamu sampai ada di sini. Siapa yang selalu semangatin kamu? Terus sekarang, kamu gak anggap aku ada? Udahlah, capek aku ngomong sama kamu." Dia bilang begitu.Aku tersenyum tipis. Apa yang dia lakukan untukku? Wow, bisa-bisanya mengaku seperti itu. Manusia tak tahu malu."Jangan lupa datang di jadwal segitu. Mau kamu membujukku sampai berlutut,
BAB 75"Disuruh ambil kunci malah ngobrol sama Rini. Aneh banget."Kami menoleh lagi. Bang Tirta sedang memarahi Kafka. Aku menghela napas pelan, sebenarnya apa yang terjadi di sini? Kenapa kesannya jadi menyebalkan sekali?"Lho, ini ngapain lagi di sini? Maaf, ya. Bukan pasar. Sana pergi. Ayo, Nina, Fajar.""Tapi, Bang-"Mereka berdua tidak akan bisa melawan Bang Tirta. Aku tertawa pelan ketika sudah masuk ke dalam mobil."Aneh-aneh aja." Fajar menggelengkan kepala. Kami mulai meninggalkan area rumah.Sesekali, aku melirik Fajar yang sedang memutar musik. Belum ada obrolan apa pun di antara kami."Udah bilang sama si Reno soal sidang itu?"Aku menoleh, kemudian menganggukkan kepala."Kenapa memangnya?" tanyaku pelan."Nanya a
BAB 76"Serius ngapain?""Ada sesuatu. Aku duluan, ya. Maaf gak bisa antar. Bang, maaf gak bisa anter Nina pulang."Kami sama-sama melongo. Sementara Fajar sudah tergesa-gesa pergi meninggalkan tempat ini."Kesambet apa anak itu?" tanya Bang Tirta pelan. Bingung dengan apa yang dilakukan oleh Fajar.Sama, aku juga bingung, tapi sepertinya itu masalah yang cukup besar. Aku menghela napas pelan, menoleh ke Bang Tirta dan Kafka yang masih diam saja."Mau pulang kapan?" tanyaku pelan."Sekarang aja. Ngantuk." Kafka beranjak. Aku juga mengikutinya."Tunggu, dong!"Kami melangkah meninggalkan pasar malam. Di dalam mobil, tidak berhenti aku menatap layar ponsel, berharap Fajar mengirimkan pesan sekarang, tapi sepertinya hanya harapan saja. Dia tidak ada memberi kabar sampai sekara