Salam untuk para pembaca semua, Saya Sugi TheRich Man, mohon maaf karena update bab sempat tertunda sebulan lebih. Mohon doanya, karena saya sekarang masih dalam masa pemulihan paska cedera di tangan. Semoga untuk bab selanjutnya bisa semakin lancar update. Terima kasih. Salam hangat. Penulis.
“Terima kasih, Ki!“ Wira Soma menagkupkan tangannya mengangguk pada Ki Mantep.Ki Mantep mengangguk dan juga tersenyum lalu perlahan menghilang kembali.Suasana di desa kembali damai sekali lagi. Penduduk desa bersukacita dan berterima kasih kepada Wira, Ratih, dan Lonbur atas kepahlawanan mereka. Tanpa disadari, sosok legenda yang telah membantu sebelumnya telah menghilang seolah tak pernah muncul.Namun, di balik kegembiraan, perasaan yang berbeda mulai tumbuh di antara Wira dan Ratih.Ratih, gadis desa yang memiliki kemampuan khusus dalam berkomunikasi dengan makhluk-makhluk mistis, merasakan getaran aneh saat bersama Wira. Dia mulai merasa tertarik pada pemuda itu, tetapi Wira masih ragu-ragu.Wira masih terbayang akan Dewi Meru, teman masa kecilnya yang selalu ada di sisinya. Meskipun ia merasakan getaran rasa spesial dari Ratih, namun ia merasa tidak pantas untuk melupakan Dewi Meru begitu saja.Mencoba mengingat sesuatu yang terlupakan, Wira akhirnya bertanya sambil berjalan, “
Sejak tiba, karena masih ada beberapa orang lain yang sedang berusaha mendapat Pring Petuk, Wira Soma langsung duduk di dekat lokasi rumpun bambu gading dan mulai bermeditasi.Di dalam kedalaman meditasinya, dia mendapatkan petunjuk spiritual yang mengejutkan bahwa sosok penjaga Pring Petuk sebenarnya adalah makhluk yang sangat sakti dan independen. Makhluk itu tidak hanya menjaga pring petuk dengan kekuatan fisiknya, tetapi juga dengan kekuatan spiritual yang mengikat pada batang bambu tersebut.Tentu saja Wira tidak mendengar informasi tentang beberapa kejadian yang telah terjadi sebelumnya dari diskusi di sekitar.Saat Wira terbangun dari meditasinya dia mendapat pemahaman yang baru.Ratih segera melaporkan hasil penyelidikan pada makhluk mistis di sekitar area pada Wira Soma, sehingga Wira semakin paham situasinya.Dia menemukan seekor ular yang tampak menempel di batang bambu gading di dekat ruas yang terjadi petuk. Dalam pandangan sekilas ular itu tampak samar, bisa dianggap han
Jalanan terjal menanti di depan mata. Pepohonan rindang memenuhi segala arah membuat suasana tampak gelap karena bayangannya. Hanya suara serangga berderik yang nyaring di kejauhan, menandakan waktu siang menjelang sore.Seorang pemuda tampak lelah berjalan dengan tongkat di tangan. Duduk beristirahat di sebuah batu besar, dia mengeluarkan kantung kulit berisi air lalu meminumnya beberapa tegukan. Air pun habis.“Sudah kantung ke-5 air yang kuhabiskan. Aku belum menemukan goa itu.“ Pemuda itu bergumam. Mengingat betapa jauh langkah yang telah dia lewati.Melanjutkan langkah, pemuda itu mendengar suara air gemericik. Bermaksud memenuhi kembali kantung air yang dibawanya, dia bergerak ke arah sumber air itu.Sebuah aliran air kecil mengalir di sela-sela batu. Airnya begitu jernih dan segar.Pemuda yang memakai ikat kepala itu segera mengambil kelima kantung kulit miliknya, lalu mengisi penuh semuanya. Kemudian dia minum secara langsung dengan tangan sampai puas.Setelah semua kantung pe
Pukulan tangan Wira yang mengandung kekuatan angin mengenai dada kakek tua. Tak bergeming sedikitpun, kakek hanya tersenyum sinis.Dengan lambaian tangan kakek tua sedikit saja, Wira terlempar sampai keluar goa. Dia langsung bangkit kembali masuk dan menyerang kakek tua.Setelah beberapa kali serangan dan Wira terus terlempar keluar goa. Di serangan terakhirnya, kekuatan semakin meningkat ke mendekati alam diatasnya.Namun kali ini, tinju angin wira masih ditahan dan ditangkap oleh kakek tua. Fluktuasi energi terpecah ke belakang kakek dan menjatuhkan beberapa batu stalaktit.Seketika aura Wira turun drastis hingga terkapar lemas.…Tak sadar entah berapa lama Wira tak sadarkan diri, dia akhirnya membuka mata.Dia duduk di batu datar, tempat yang sebelumnya ditempati oleh Garuda Emas. Auranya semakin murni dan stabil.“Akhirnya kamu bangun juga, bocah bau!“ seru kakek tua.Melihat sekeliling, Wira langsung kepikiran sahabatnya yang terakhir dia ingat sahabatnya tertusuk bulu emas di p
Hari kedua Wira bermeditasi, auranya semakin pekat dan kuat. Gerakan tangan semakin selaras dengan aliran energi dalam tubuhnya.Sesekali muncul fluktuasi energi keluar tubuh dan membentuk pusaran-pusaran angin kecil. Dalam beberapa nafas, pusaran itu menghilang lagi.Di luar goa, pepohonan bergoyang hebat. Menari dan mengikuti irama. Senada dengan gerakan angin di dalam goa.Ki Santarja memperhatikan dengan seksama dan mengangguk beberapa kali.'Sungguh anak yang berbakat. Tidak salah aku menerimanya sebagai murid.'Lonbur terbang mendekat dan memberikan sekantung bunga senggani pada Ki Santarja. Melihat sekilas pada sahabatnya, lalu dia keluar dari goa lagi.“Sepertinya kamu akan segera naik ke alam Adhikara Madhyama. Stabilkan terus dan padatkan energimu. Misteri kekuatan angin mulai kau kuasai.“ Ki Santarja berkata dengan suara dalam membimbing meditasi Wira.Di hari ketiga, pusaran angin di sekitar Wira semakin kuat dan cepat. Hingga seluruh ruangan dalam goa terpengaruh.Rambut
Wira membuka mata perlahan. Setelah bermeditasi beberapa hari, akhirnya dia selesai menyerap kekuatan Aji Saipi Angin yang ia dapat sebelumnya. Auranya semakin pekat dan stabil.“Tak heran, perkembanganmu selalu berjalan lancar. Bakatmu memang bagus. Beruntung aku bisa punya murid sepertimu.“ Ki Santarja mengamati Wira sambil memegangi dagunya.“Guru terlalu memuji.““Baiklah. Sekarang apalah artinya kamu telah menguasai ajian itu kalau kamu hanya berdiam di dalam goa. Pergilah berkelana untuk mendapat pengalaman sejati di dunia persilatan.““Sendika dawuh, Guru!““Tapi sebelumnya, jemputlah Lonbur, dia kemarin ku tugaskan mencari sesuatu, tapi dia belum kembali.““Kemana aku harus mencarinya, Guru?““Kau rasakan auranya saja, lalu konsentrasi padanya. Dengan begitu, Aji Saipi Angin akan membantumu menuju tempat dimana Lonbur berada. Setelah ketemu, segera kembali.““Baik, Guru.““Baru selanjutnya kalian pergilah bersama.“Segera Wira memejamkan mata dan merasakan pancaran aura dari s
Dalam hening hutan yang rapat, Wira bersama Meru dan Sari tiba di dekat sebuah hutan. Di pinggir hutan itu, terdapat sebuah sumur tua yang kelihatannya tak terpakai. Setelah perjalanan yang panjang, mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak dan membersihkan diri dengan mandi bergantian.Saat giliran Sari mandi, tanpa sengaja, cincin kesayangannya terjatuh dan bergulir ke dalam sumur tua tersebut. Sari panik dan berteriak memanggil Wira dan Meru.“Tolong! Cincin Sari jatuh!“ teriak Sari mengagetkan Wira dan Meru.Wira dengan sigap datang menolong, sementara Sari buru-buru memakai pakaian.“Ada apa, Sari? Apa yang jatuh?“ tanya Wira.“Itu cincin Sari jatuh ke dalam sumur. Cincin itu satu-satunya yang diberikan ibuku. Kang Wira ambilkan!“ Sari menjelaskan dengan wajah sangat sedih dan memelas.Merasa iba, Wira memutuskan untuk menyelamatkan cincin tersebut dan menceburkan diri ke dalam sumur.Tak disangka, sumur tua itu bukan hanya sumur biasa. Wira merasa seolah memasuki sebuah loron
“Wira Soma muridku. Datanglah ke atas puncak gunung Susuh Angin. Kau akan bertemu seseorang yang akan memberimu anugerah setelah mengujimu.“ Suara Ki Santarja terdengar melalui bisikan angin di telinga Wira.Wira masih fokus dalam meditasinya. Walaupun matanya tertutup, indera batinnya tetap awas terhadap lingkungan. Bahkan seekor tikus atau bahkan nyamuk yang terbang tak luput dari pengawasannya.Ketika pagi menjelang, teman-temannya bangun dan bersiap melanjutkan perjalanan. Dengan tenang, Wira menceritakan pesan dari gurunya. Dewi Meru, Sari, Lonbur, dan Blentung mendengarkan dengan penuh perhatian. Semuanya setuju untuk mengarah ke puncak gunung yang disebut dalam pesan tersebut.“Karena itu arahan Guru, kita harus menjalankannya, Wira!“ Lonbur berseru menyakinkan.Dewi Meru dan Sari secara alami mengangguk setuju, terlebih lagi Blentung yang baru bergabung.Perjalanan dimulai dengan langkah hati-hati, mengarungi hutan dan melalui lembah-lembah yang dalam. Para pendekar itu berjal