Kapokmu Kapan, Mas? (42b)"Bapak minta saya berhenti kerja, Bu.""Itu aja, Mbok?"Mbok Mina mengangguk."Iya, Bu. Katanya nanti pesangon saya nyusul ditransfer.""Terus, sekarang Bapak ke mana lagi, Mbok?""Lagi ke rumah sama polisi, Bu. Buat nyelidikin apa penyebab kebakarannya.""Terus sekarang rencananya Mbok mau ke mana?""Saya juga belum tau, Bu. Nunggu Wisnu datang dulu. Mungkin sementara ikut saudara dulu. Ibu sendiri?""Saya juga belum tau, Mbok. Lihat nanti saja."Setelahnya, kami beristirahat untuk mengganti waktu tidur yang terganggu akibat peristiwa malamnya. Kami hanya tidur kurang lebih dua jam karena terbangun ketika mendengar ketukan di pintu kamar. Asisten rumah tangga Pak RT memberitahu bahwa ada orang yang mencari kami.Ternyata, yang datang adalah Mas Wisnu. Anak Mbok Mina itu datang membawa tas milikku yang dimasukkannya ke dalam sebuah tas lainnya. Tas itu diserahkannya langsung kepadaku."Silakan dicek lagi, Mbak. Jangan sampai ada yang kurang," kata Mas Wisnu s
Kapokmu Kapan, Mas? (43)Entah dengan siapa Emak dan Nining pergi. Tiba-tiba perasaanku menjadi tak enak. Menurut penuturan tetangga Emak, ada beberapa orang yang menjemput Emak dan Nining. Sementara selama ini yang tahu alamat Emak hanya Pak Arsyad. Apakah dia yang menyuruh orang membawa Emak dan Nining? Kalau iya, untuk apa?Aku bingung. Entah harus ke mana aku pergi mencari Emak dan Nining. Aku benar-benar mencemaskan mereka. Aku takut mereka berada dalam bahaya.Malam itu, aku terpaksa memutuskan kembali ke rumah Bude Ningsih. Beruntung, aku masih bisa mendapatkan angkutan karena memang belum terlalu larut. Meski agak takut berjalan seorang diri di tengah malam, aku mencoba memberanikan diri. Akhirnya aku sampai juga di rumah Bude Ningsih pada pagi harinya."Loh, cepat sekali baliknya, Nduk?" tanya Bude Ningsih saat membukakan pintu untukku di Subuh itu.Aku tak langsung menjawab pertanyaannya."Boleh aku istirahat dulu, Bude? Capek banget."Syukurlah, Bude Ningsih bisa memaklumik
Kapokmu Kapan, Mas? (43b)"Halah ... si Arsyad mah susah mau sama cewek. Giliran deket, sama CS di kantor. Siapa namanya?" Bang Robi meledek Pak Arsyad. Tawanya kemudian diikuti abang dan temannya"Apaan, sih, Bro. Gak lucu!" Pak Arsyad kelihatan tak suka dengan ledekan-ledekan itu."Dih, sensi. Abis ditolak, lo, Bro?" tanya Bang Anton.Pak Arsyad cepat-cepat mengalihkan pembicaraan ke hal lain. Sepertinya pria itu benar-benar tak nyaman dengan pembahasan itu.Tak lama, mereka membubarkan diri. Aku juga ikut pergi dari restoran itu. Kembali, aku membuntuti Pak Arsyad dengan taksi online yang sebelumnya kugunakan. Aku sengaja meminta sopirnya menunggu."Kita lanjut buntutin mobil itu, ya, Pak!" perintahku setelah masuk mobil."Siap, Bu!"Kali ini mobil Pak Arsyad kembali ke rumah mewah sebelumnya. Kemungkinan besar itu rumah orang tuanya.Awalnya kupikir Pak Arsyad tidak akan keluar lagi karena hari sudah malam. Jadi, aku berniat kembali ke rumah Bude Ningsih saja. Itu pun setelah sopi
Kapokmu Kapan, Mas? (44)Siapa yang dimaksud Nining dengan temanku? Mungkinkah Ira? Kalau iya, mengapa sambungan telepon dengan Nining harus diputuskan begitu saja? Benar-benar membuatku curiga.Nomor ponsel Nining juga menjadi tidak aktif saat aku mencoba meneleponnya kembali. Aku jadi sangat kawatir karenanya. Entah siapa yang dimaksud temanku oleh Nining."Jadi gimana? Mereka di mana?" tanya Pak Arsyad setelah aku mengembalikan ponselnya.Aku menggeleng lemah."Nining cuma bilang mereka di kota dibawa teman saya. Setelah itu telepon mati. Nomornya gak bisa dihubungi lagi," jawabku.Pak Arsyad sigap menangkap tubuhku yang melemas dan menuntunku untuk duduk di bale depan rumah Emak."Kamu memangnya ada ngasih alamat sini ke siapa lagi selain sama saya?" Pak Arsyad kembali bertanya saat kami sama-sama duduk di bale itu."Tidak ada. Cuma sama Bapak saya kasih alamat sini.""Lalu siapa teman kamu yang Nining maksud itu?"Aku menggeleng lemah.Malam semakin larut. Dari kejauhan terdengar
Kapokmu Kapan, Mas? (44b)Entah bagaimana Pak Arsyad dan aku tidur malam itu, saat terbangun di pagi harinya kami sudah dalam posisi saling berpelukan. Kami sama-sama terkejut dan saling melepas diri. Aku cepat-cepat bangun dan menuju kamar mandi.Jantungku berlarian tak beraturan ketika mengingat posisi kami tadi. Aku tidak boleh terbawa perasaan! Aku yakin, Pak Arsyad juga tidak ada rasa terhadapku. Apalagi sejak aku mengakui semuanya pagi itu di dalam mobilnya. Sikapnya yang ramah berubah dingin sejak hari itu. Aku tak boleh bermain hati!Pak Arsyad bergantian denganku menggunakan kamar mandi. Setelah selesai, barulah kami keluar dari motel itu bersama. Selanjutnya kami menuju mobil untuk melanjutkan perjalanan.Namun, di parkiran tidak terdapat mobil milik Pak Arsyad. Saat kami tanyakan pihak motel tentang itu pun tak ada jawaban pasti untuk itu. Kemungkinan besar mobil Pak Arsyad dicuri saat kami terlelap."Jadi gimana, Pak? Kita ke kantor polisi untuk lapor mobil Bapak dicuri?"
Kapokmu Kapan, Mas? (45)Aku memandangi Ira dan Pak Arsyad secara bergantian. Apakah mereka saling kenal? Di mana dan bagaimana?"Kalian saling kenal?" tanyaku pada akhirnya.Bukannya menjawab, Ira dan Pak Arsyad malah saling melempar tawa. Aku jadi bingung dibuatnya. Apa sebenarnya hubungan mereka?"Udah, ayo masuk dulu!" ajak Ira.Kami lantas duduk di ruang tamu rumah nenek Ira. Emak dan Nining datang membawakan minuman dan camilan. Mereka juga ikut duduk setelahnya."Kalian saling kenal?" Aku kembali menanyakan status hubungan Ira dengan Pak Arsyad."Banget, Ti!" jawab Ira."Di mana? Gimana?" Entah mengapa aku sangat penasaran dengan kedekatan mereka."Ehm. Ada yang cemburu." Celetukan Ira membuat Pak Arsyad yang sedang menyesap tehnya jadi tersedak.Dengan sigap aku menyodorkan air mineral dari dalam tasku."Apaan, sih, Ra. Gak lucu!" Aku mencebik."Aku sama Mas Yayat ini tetanggaan dulu waktu di kampung, Ti. Gak usah cemburu gitu, dong." Ira terus saja menggodaku."Siapa yang cem
Kapokmu Kapan, Mas? (45b)Setelah semua selesai didiskusikan, aku pamit pulang ke rumah Bude Ningsih. Kubiarkan Emak dan Nining tinggal bersama Ira dulu. Pak Arsyad juga ikut pamit pulang.Pak Arsyad memesan dua taksi online untuk aku dan dirinya. Arah kami berlawanan. Jadi, tidak memungkinkan kami menumpang satu mobil yang sama. Kami berpisah saat taksi online pesanan kami datang.Aku berjanji akan menghubungi Ira dan Pak Arsyad begitu diriku sampai di rumah Bude Ningsih. Mereka berdua begitu mencemaskanku. Begitu juga dengan Emak dan Nining.Dalam perjalanan pulang ke rumah Bude Ningsih, entah mengapa aku menjadi gelisah. Aku seperti mendapat firasat buruk. Berulang kali aku beristigfar dan memohon perlindungan Allah.Macet panjang semakin membuatku gelisah."Kok, macet di sini, ya, Pak? Biasanya jalur sini bebas macet, loh," ucapku ke sopir taksi onile."Wah, gak tau juga saya, Bu. Tapi ini panjang banget kayaknya macetnya. Gak bergerak sama sekali juga mobil-mobil di depan."Hampi
Kapokmu Kapan, Mas? (46)Seketika itu juga perawat datang dan mengajakku pergi dari sana. Beberapa orang perawat lain dan dokter bergegas menuju tempat Bude Ningsih. Firasatku buruk tentang itu.Pak Arsyad yang menunggu di depan ruang ICU, segera menghampiriku saat aku keluar ruangan itu."Bagaimana, Ti?" tanyanya.Aku menggeleng.Hampir saja aku limbung terjatuh ke lantai kalau Pak Arsyad tidak segera menadah tubuhku. Segera saja aku dituntunnya untuk duduk di kursi tunggu yang letaknya tak jauh dari depan ruangan itu. Pak Arsyad juga memberiku air minum setelah aku duduk."Ada apa?" tanyanya kemudian."Bude Ningsih suruh saya sembunyi, Pak," ucapku lirih."Kenapa?""Kata beliau, mereka sudah tau saya masih hidup.""Lalu, Bude Ningsih bilang apa lagi?"Aku menggeleng."Bude gak bilang apa-apa lagi, Pak. Bude ...." Setelah mengatakan itu, aku refleks memeluk Pak Arsyad dan menumpahkan tangis dalam pelukannya.Pak Arsyad mencoba menenangkanku dengan mengelus dan menepuk pelan pundakku