Share

Karma Mantan Suami Usai Kami Bercerai
Karma Mantan Suami Usai Kami Bercerai
Penulis: Yani Santoso

1. Foto di Media Sosial

1; Foto di Media Sosial

---

Kutatap nanar foto yang terpampang di layar ponselku. 

Sebuah foto yang baru saja di posting oleh Bang Asrul, suamiku. 

Tanpa terasa, airmata meleleh membasahi kedua pipiku. Buru-buru kuhapus kasar dengan punggung tangan, sebelum ada yang melihatnya. 

Kutata hatiku yang bergemuruh, terasa panas bak api dalam sekam. Begitu panas hingga membuatku sulit bernapas. Kuhela nafas dalam, karena dada mendadak terasa begitu sesak, seolah sesuatu yang besar menghimpitnya.

"Siapa wanita yang bersama suamiku itu? Ah ... mungkin dia salah satu teman kerjanya." Bisikku dalam hati, mencoba berbaik sangka dengan apa yang kulihat sambil terus berusaha untuk tetap tenang.

Dengan cepat kukeluarkan ponsel dari dalam tas dan mengetik sebuah pesan untuk Bang Asrul, suamiku. 

"Bang, siapa perempuan yang berfoto dengan Abang itu?"  tulisku dalam pesan, yang langsung aku kirim ke nomer Bang Asrul. 

Hatiku kembali sakit, ada rasa nyeri jauh di dalam lubuk terdalam. Entah perasaan apa ini. Perasaan yang begitu menyiksa dan membuatku tidak nyaman. Aku menekan dadaku untuk mengurangi rasa nyeri itu, namun rasa itu seolah semakin terasa sakit.

Berkali-kali kulihat ponselku, berharap ada pesan balasan dari Bang Asrul. Namun setelah hampir 15 menit, tak ada juga pesan balasan yang aku terima. 

"Kak Marina, kenapa bengong seperti itu? Masa kita di cuekin? Simpanlah ponselnya dalam tas."

Celoteh Niken ketika melihatku hanya sibuk mengutak-atik ponsel dalam genggaman. Ucapakan Niken sempat membuatku tergagap dan membuyarkan lamunan.

"Maaf ya ... tadi sedang balas pesan dari Bang Asrul," jawabku setenang mungkin,  mencoba untuk tidak mengundang kecurigaan teman-temanku yang kebetulan sedang bersama. 

"Bang Asrulnya tidak akan hilang, percayalah Kak. Bang Asrul kan laki-laki paling setia dan suami terbaik." 

Kembali Niken melontarkan candaannya. 

Iya, Bang Asrul memang suami terbaik. Setidaknya, itulah yang aku rasakan selama 15 tahun menjadi istri dan mengarungi bahtera rumah tangga bersama. 

Drrttt... drrttt... 

Terdengar dering ponsel yang kusimpan dalam tas. Dengan cepat kukeluarkan benda pipih itu dari dalam tas. Kudapati sebuah pesan baru masuk dalam aplikasi pesan, yang ternyata dari Bang Asrul.

"Dia cuma teman kerja." Pesan balasan dari Bang Asrul singkat. 

Ingin sekali rasanya aku balas lagi pesan itu, menanyakan lagi apakah wanita itu benar-benar teman kerjanya. Namun kuurungkan niat tersebut, mengingat saat itu aku sedang bersama dengan teman-temanku.

"Teman-teman, aku pulang duluan ya ... ada sesuatu yang harus aku kerjakan. Mungkin lain kali kita bisa kumpul dan ngobrol bareng," kataku kemudian.

Akhirnya, kuputuskan untuk pergi lebih dulu, meninggal teman-teman yang lain yang masih menikmati kebersamaan kami. Akan sangat mengganggu jika aku tetap berada diantara mereka, sementara hati dan pikiranku berada di tempat lain. 

Setelah sedikit cipika-cipiki dengan teman-teman, kutinggalkan mereka menuju tempat parkir, masih dengan perasaan yang campur aduk tidak menentu.

Kehela napas pelan, lalu menghembuskannya pelan. Rasanya berat sekali. "Beban apa ini sebenarnya? Kenapa hatiku terasa ngilu dan dadaku begitu sesak, apa yang terjadi dengan suamiku?" Kembali hatiku bertanya.

Aku berharap, ini hanya sebuah kekhawatiran yang berlebih dari seorang istri saja. 

Atau, firasatkah ini? 

****

Kembali kutatap foto Bang Asrul dengan wanita itu. 

Dia terlihat masih begitu muda, jika dilihat dari wajahnya, mungkin usianya masih di awal 20 tahunan, masih begitu muda. Lalu aku menatap diriku sendiri dari pantulan kaca spion, gambaran seorang wanita di akhir usia 30 tahun.

Aku kembali memperhatikan foto mereka berdua, gadis itu, iya ... gadis itu, dia menatap manja ke arah suamiku. Sementara jari tangannya menggenggam jemari Bang Asrul.

Kembali kurasakan dadaku begitu nyeri. Rasa sakit yang yang tidak bisa aku lukiskan dengan sebuah kata atau kalimat. 

Buru-buru kumasukkan ponsel ke dalam tas, hingga sebuah tepukan di punggung mengagetkanku. 

"Kak Marina ...." Panggil seseorang di belakang sambil menepuk punggunggu.  

Panggilan dan tepukan di punggung begitu mengagetkanku. Hingga tanpa sadar, ponsel yang hendak kumasukkan ke dalam tas terjatuh. Buru-buru aku menoleh, dan mendapati adik sepupuku sudah berdiri di belakangku.

"Rahma ...." ucapku ketika kutahu siapa yang baru saja mengagetkanku. 

Aku membungkuk hendak mengambil ponselku yang jatuh, namun Rahma telah lebih dahulu mengambilnya.

Sebelum dia menyerahkan ponselku, matanya memandang dengan tatapan serius ke layar ponsel. 

Ah ... aku lupa kalau belum keluar dari akun media sosialku tadi. Dia pasti melihat foto Bang Asrul dengan gadis itu. Rutukku dalam hati. 

"Kak Marina ... di--dia siapa?" Tanya Rahma sambil memperlihatkan foto Bang Asrul dan gadis itu.

Dan seperti dugaanku, Rahma melihat foto Bang Asrul. Bahkan sekarang dia sedang menginterogasiku. 

"Oh ... itu hanya teman kerja Abang," jawabku sedikit terbata. 

Mendapat jawaban seperti itu, Rahma justru memandangku lekat. 

Wajahnya menjadi berubah, ada gurat kekhawatiran di sana. 

"Kakak tidak sedang ada masalah dengan Bang Asrul, kan?" Kembali Rahma melontarkan tanya.

"Kami tidak ada masalah, sungguh," jawabku meyakinkan. Karena aku memang merasa tidak sedang ada masalah dengan suamiku. 

"Kak ...." Rahma menghentikan kalimatnya. 

"Ada apa Rahma? Jangan membuat Kakak cemas dan khawatir," kataku menimpali.

"Bang Asrul dalam masalah, Kak. Aku melihat aura yang sangat gelap pada gadis yang foto dengannya," ucap Rahma dengan suara lirih.

Mendadak lututku menjadi lemas, keringat dingin mengucur deras dari sekujur tubuhku. 

Bahkan kini, bukan saja hatiku yang merasa sakit. Namun seluruh jasadku seperti dirajam sembilu. Begitu perih, meskipun luka itu tidak berdarah.

Rasanya, kakiku tak lagi mampu menopang berat tubuhku, aku berlutut sambil menutup wajahku dengan kedua telapak tangan, kubiarkan diriku menangis di tempat parkir. Kurasakan usapan lembut di punggung, dengan lembut, Rahma berusaha membantuku untuk berdiri. 

Selain sahabat dekat, Rahma juga masih sepupu jauh. Dia tahu banyak tentangku dan juga Bang Asrul. Dan di keluarga besar kami, Rahma memang dikenal memiliki indera ke enam atau indigo. 

Tidak berlebihan jika aku begitu merasa sakit dan takut mendengar penuturannya tentang Bang Asrul. 

Apalagi ditambah foto-foto yang di posting suamiku di akun media sosial miliknya. 

"Rahma, apa yang harus aku lakukan? Katakan padaku," ucapku dengan suara parau.

Rahma terdiam, dia hanya menatapku dengan tatapan iba. Beberapa kali kulihat dia menarik napas dalam. Apakah begitu buruk firasat yang dia lihat dengan penglihatannya itu? 

Melihat Rahma masih terdiam, membuatku semakin kalut dan takut. Firasatku sebagai seorang wanita sekaligus istri, mengatakan sesuatu hal yang buruk telah terjadi pada suamiku, Bang Asrul.

"Sebaiknya kita pulang dulu Kak, aku tidak ingin membahasnya di sini," ucap Rahma dengan suara lembut.

"Tapi, bagaimana dengan Bang Asrul?" Tanyaku.

Rahma terdiam, lalu dengan lirih dia berkata, "Akan aku katakan setelah kita sampai di rumah."

****

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sary Sartka
tdk bgtu bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status