Bersyukur kepada Tuhan, sudah menyembuhkan kekasih hatiku. Lagi, kupanjatkan puji syukur kepada Tuhan, sebab Tuhan sudah memberi kelancarkan dalam semua rencana kami.
Setelah mengurus adminitrasi rumah sakit, kami semua kembali kerumah masing-masing. Keluarga Mas Yasir menyerahkan dia pulang kerumahku dalam waktu tiga hari. Dan setelahnya aku yang bergantian tinggal dikediamannya. Dan untuk kedepannya, orangtua menyerahkan semua keputusan kepada kami. Anak-anaknya.Dua keluarga berjalan beriringan dilorong rumah sakit, hati benar-benar bahagia, melihat rona disetiap wajah keluarga baruku.Aku mendorong kursi roda yang didudukki Mas Yasir, rasa lemasku menguap begitu saja saat memegang kursi roda ini. Sepanjang jalan Mas Yasir selalu mengeratkan tangannya dijemariku, senyum manis selalu terhias saat tak sengaja mata kami beradu tatap.Mata tak sengaja menatap laki-laki berpenampilan serba hitam. Walau matanya tertutup kacamata gelap, aku daTakdir Tuhan, siapa yang tahu?Mengira aku akan hidup sendiri dalam kesepian, tapi ternyata Tuhan mengirimkan Yasir, sosok hangat dan penyayang untuk diriku.Kebahagiaan ini tiada terukir, aku harap Mas Yasir adalah yang terakhir untuk hidupku. Dan semoga Tuhan mengizinkan.***Ofd.Hembusan nafas Mas Yasir begitu lembut menyapa tubuh, tiupan cinta yang keluar dari bibirnya menerpa tekuk leher, membuat aku bergidik seketika. Mataku terpejam erat saat kecupan hangat hinggap dileherku.Bulu kuduk meremarang, nafasku terhenti seketika, saat kecupan itu kembali dia daratkan. Kedua tangannya yang melingkar diperutku semakin dieratnya. Kumis tipisnya mengenai telinga, membuat sensasi geli menerpa tubuh."Harum ..." desahnya ditelinga.Tenggorokan terasa kering, bahkan saliva pun sulit untuk tertelan. Mataku terpejam, menikmati moment romantis ini."Fii ..." bisiknya."I-ya?" sahutku gug
"Eh ... maaf." ucapku dengan pipi bersemu merah.Mas Yasir terkekeh, lalu mencium pucuk kepala ini dengan lembut.Suara hujan semakin deras terdengar, seolah merestui apa yang sedang kami kerjakan. Bisa aku rasakan tangan kekar itu melepas kancing bajuku dengan bibir yang masih berpagutan.Aishh ... sangat menggairahkan, membuat gelora yang sedari tadi terpendam benar-benar terbangun dari tidurnya. Mas Yasir yang semula gugup kini mulai melepaskan satu demi satu pakaian yang melekat pada tubuhnya.Tangan nakalnya mulai menjelajah, tanpa aku minta, dia langsung melakukan hal yang memang seharusnya dia lakukan.Mata bening itu menatapku teduh, binarnya begitu indah membuatku sedikit memajukan wajah. Pelan namun pasti, bibir itu kembali menyentuh dan melumatnya lembut hingga berubah liar saat tanganku menyentuh bagian sensitifnya.Desah nafas saling bersahut-sahutan, malam ini kami lewati dengan sangat Indah dan pe
"Bawa masuk saja Fiona kedalam kamar, Yas." suara barinton milik Ayah terdengar ditelinga. Memaksa aku menghentikan, sengatan tanganku.Mas Yasir meringis, saat aku melepaskan tangan. Lalu mengusap- ngusap pipinya yang terlihat memerah sebab ulahku. "Ish ... sakit tahu," rengeknya dengan bibir yang mencucut, sangat menggemaskan."Biarin! Wee ..." ucapku sambil menjulurkan lidah.Mas Yasir, menyipitkan mata menatapku tajam. "Jahat kamu, awas aja!" ancamnya.Tak kuhiraukan ucapannya, tanganku meraih sendok, menyendok nasi goreng lalu memasukkannya kedalam mulut."Maklum pengantin baru ..." goda Ayah, sambil melirik Bik Inah. Bik Inah hanya terkekeh melihat expresi Ayah, yang menurutku menyebalkan itu."Sarapan, Tuan?" tanya Bik Inah sopan."Iya ... mau nasi goreng juga, seperti Fio." jawab Ayah, sambil menarik kursi yang ada didepanku."Ayah belum sarapan?" tanyaku setelah menelan nasi goreng yang
Pov Mas Yasir.Alhamdulillah, wasyukurilah.Allah selalu memberi kemudahan, setelah kesulitan. Percayalah, bahwa pertolongannya begitu dekat.Setelah sadar dari tidur panjang, hanya ada satu nama yang muncul dikepala. Dialah Fiona, seorang wanita dingin berwajah jelita. Yang mampu membuat hati berdebar-debar ingin segera memilikinya.Kepala berdenyut hebat, ingatanku tertuju pada sorot mata yang menghunus perutku dengan belati. Alis tebal dengan bulu mata panjang, seperti pernah melihat, namun entah dimana.Acara pernikahan berjalan dengan lancar, tak henti kupanjatkan doa pada Tuhan serta shalawat kepada Nabi besar kami. Ibu menangis haru, meski air mata menetes dipipinya, namun raut wajahnya menyimpan kebahagiaan.Setelah tiga hari tinggal dirumah Fiona, kini giliran dia yang tinggal dirumahku. Ayah menemani perjalanan kami, khawatir dengan kondisiku yang bisa dibilang belum membaik ini.Keluargaku menyam
"Sudah sana panggil Fiona, kita masak sama-sama, biar lebih akrab dan dia tidak canggung ada dirumah ini." lanjutnya sambil bangkit dari duduk, meninggalkan aku dengan rasa penasaran yang mengganjal dihati.Tercenung sendiri, mata beralih pada bingkai besar foto keluarga kami. Senyum tipis diwajah Ayah, terlihat muram dimataku.Pasti ... ada sesuatu yang disembunyikan oleh, Ibu. Aku bahkan baru tahu, fakta yang selama ini tersimpan rapi tanpa celah.Saat itu .., ketika aku sedang mencoba jas untuk acara pernikahan. Ibu menatapku sendu, dengan air mata yang menganak sungai. Kukira itu adalah suatu hal yang wajar, mengingat keinginan Ibu, untuk aku menikah sudah ada didepan mata."Yas ..." lirih suara Ibu, ada rasa ragu saat dia ingin melontar kata."Kenapa, Bu?" tanyaku sambil berjalan mendekatiny
Fiona membuka jendela kamar, angin malam langsung berhembus menerpa wajah cantiknya. Rambut hitam panjangnya dia biarkan terurai, terpaan angin membuat rambutnya menari-nari diudara.Sungguh, satu ciptaan Tuhan yang sangat sempurna.Dari tatapan mata bening itu terlihat kosong, seolah menerawang jauh, entah apa yang tengah difikirkan oleh pemilik hatiku ini. Ingin bertanya, namun lidah ini begitu kelu. Untuk pertama kali dalam kebersamaan kami, aku melihatnya seperti ini."Sayang ..." ragu, aku bersuara.Fiona menoleh, dan melempar senyum termanisnya."Apa ada yang mengganggu, fikiranmu?" ucapku hati-hati.Fiona mendesah lelah, dan menggelengkan kepalanya."Kamu tidak nyaman tinggal disini?" lagi aku bertanya."Nyaman." ucapnya. "Ibumu, sungguh baik padaku. Aku sangat diperhatikan," Fiona bicara dengan tatapan yang entah kemana."Apa lagi Putri, dia sangat menghormatiku." sambungnya.
Sepanjang perjalanan, tangan halus Fiona menggenggam jemariku, seolah memberikan aku ketenangan dan kekuatan. Jujur saja, aku sedikit gemetar mengingat kejadian itu. Entah apa motif dari pelaku, entah dia ingin merampokku atau bisa jadi ingin membunuhku.Dengan hati yang berdebar aku dan Fiona menuruni mobil, melangkah lebar mengikuti langkah dua Polisi tadi."Silahkan, Pak." Polisi dengan kumis tebal dan perut sedikit maju, menunjuk kursi didepan meja, yang penuh dengan berkas dan satu buah laptop."Agak jauh dari lokasi kejadian. Didepan pabrik terdapat cctv yang menangkap wajah tersangka tengah menembak pistol keudara saat warga berusaha mengejar pelaku. Ini dia Pak, mungkin Pak Yasir mengenal orang ini." Polisi mendekatkan layar 14inci didepanku, terlihat walau tidak terlalu jelas wajah penjahat yang sudah menyerangku."Plat mobil itu palsu, jadi kami tidak bisa melacaknya."jelas polisi, saat mempertegas gambar nomer plat mobil.
Pov Ibu.Rasa cemas mendera jiwa, memikirkan nasib pernikahan Yasir.Untuk yang kedua kalinya dia gagal urusan percintaan. Dari cinta yang dia perjuangkan kandas ditengah jalan, hingga perjodohan yang batal begitu saja.Rasa bersalah kian menjadi, mengingat aku yang memaksanya untuk segera menikah dengan pilihanku. Harapku, semoga Yasir segera menemukan jodohnya.Akhir-akhir ini, aku perhatikan Yasir sering sekali pergi kerumah Mamang nya. Aku merasa ada hal besar yang dia sembunyikan.Setelah Yasir melajukan mobil ketempat kerja, aku memutuskan untuk kerumah Karim dan mencari informasi mengenai anak suamiku itu.Sudah cukup lama aku tak menyambangi rumah Adik iparku, banyak sekali perubahan menuju rumahnya. Termasuk jalan yang sudah teraspal rapih yang sebelumnya banyak lubang dan batu besar.Mobil berhenti dihalaman rumah berpagar bambu, cukup sederhana namun terlihat asri dan nyaman dipandang mata.