Aku tersentak kaget mendengar putriku mengatakan hal yang tidak sopan di telingaku. Wajahku mengeras dan segera mendekatinya, aku menyentak lengannya untuk memintanya berdiri dengan paksa. Aroma alkohol dari badannya menyeruak hingga menusuk perutku.“Apa kamu bilang? Apa yang kamu barusan bilang hah?!” desisku tertahan, jemariku gemetar memegangi lengannya. Dari sudut sana Budi tengah bersiap dengan segala kemungkinan yang terjadi.“Mom gak dengar San bilang apa tadi? San bilang perbuatan Mom yang memfitnah Ben itu sangat menjijikan!”Plaaak ….!Tanpa sadar kuayunkan telapak tanganku dengan keras lalu melepas lengan Sandrina hingga terhempas di sofa. Anak itu sama sekali tidak tampak terkejut, atau kesakitan, dia mungkin sudah tahu dan bersiap dengan konsekuensi kata-katanya.“Ikut aku pulang sekarang!” tekanku pada Sandrina yang terlihat mengusap pipinya serta merapikan rambutnya, matanya memerah dengan sorot amarah bercampur kecewa.“Tidak, Sandrina tidak mau pulang! San tidak perc
Aku mengedarkan pandanganku, kepalaku masih berat dan pusing. Entah siapa yang mengangkatku sehingga aku sudah berada di tempat tidurku. Ingatanku samar-samar mulai kembali, villa itu, Sandrina yang aku siram air dan … ooh Tuhan … apakah aku sudah mengatakannya? Apa aku sudah sempat mengatakan siapa ayah kandungnya pada Sandrina?Perlahan aku bangun dan tampak Rico masuk membawakan aku segelas air putih dan beberapa butir suplemen vitamin.“Tante sudah bangun rupanya, apa Tante ingin ke rumah sakit memeriksakan diri?” tanyanya sambil menyodorkan air minum. Aku mengambilnya dan meneguknya beberapa kali.“Tidak perlu, Co. Oh ya, kenapa bisa kamu ada di sini dan siapa yang membawa Tante ke kamar?” aku meletakkan gelas itu, sejuknya air putih yang ku minum memberiku sedikit rasa segar.“Budi mengabari Rico ketika Tante sudah menemukan Sandrina dan membawanya pulang jadi Rico kemari untuk melihat keadaannya. Pas Rico tiba Tante sudah pingsan di lantai, kasihan Nenek sampai panik.”Aku meng
Ponselku pun berdering, Ariel menelponku tanpa menunda waktu lagi. Aku mendengkus, dadaku sesak untuk menjawab panggilan ini.“Kenapa? Kau tidak percaya dengan apa yang kau ketahui barusan hingga kau sekejap ini menelponku?!” aku meninggikan suaraku, Budi melirikku dari kaca spion sesaat.“Yaa, kau perempuan yang punya segudang rencana dan bisa saja kau menipuku dengan berbagai alasan!” jawab Ariel tak kalah sengit.“Baik kita sebaiknya bertemu dan bicarakan hal ini, datang lah ke hotelku, aku menunggumu, Tuan Ariel!”Dengan gemas ku matikan ponselku, kepalaku berdenyut, aku harus mencoba menenangkan diri jika tidak aku akan kolaps lagi.“Budi, segera menuju hotel, aku ada janji penting!” seruku pada sopir muda itu.“Baik, Nyonya.” Budi menginjak pedal gas lebih dalam dan melajukan mobil ini lebih cepat. Aku harus punya kesiapan diri untuk menemui laki-laki itu.Semua rapat dan janji hari ini aku batalkan, semua data pribadi putriku telah kukumpulkan termasuk data pak Sanjaya yang seb
Aku harus memastikan jika penjagaan Sandrina di rumah benar-benar diperketat sehingga aku kembali sebelum jam makan malam dan berpikir kembali tentang tes DNA itu. Bagaimanapun caranya Ariel dan Sandrina harus menjalani tes itu agar Ariel bisa percaya jika San adalah putrinya.Kutelusuri satu demi satu laman internet penjelasan tentang vasektomi yang gagal. Kemungkinan gagalnya kontrasepsi itu sebesar tiga puluh persen di awal-awal bulan pemakainya. Mendadak aku merasa sangat sial dengan kemungkinan tiga puluh persen itu. Hanya sekali saja Ariel menyentuhku aku langsung mengandung Sandrina. Mungkin memang keputusan yang tepat untuk menikah dengan mendiang pak Sanjaya ketika itu sehingga Sandrina mendapat kehidupan yang sangat layak.“Mom! Apa-apaan di luar sana itu? Kenapa San gak bisa keluar? Sandrina ada janji dengan teman San malam ini, San harus pergi.” Sandrina berdiri tak jauh dariku dengan wajah cemberut.“Mom hanya melakukan yang terbaik buatmu, San. Untuk sementara waktu kamu
Darwis datang menghadap kepadaku dengan surat hasil tes DNA itu dan benar, Sandrina memang putri dari Ariel. Aku tersenyum puas melihat ini tetapi aku tidak akan menggunakannya langsung. Aku punya rencana untuk sebuah pesta perayaan. Sebuah pesta yang begitu ditunggu oleh Ariel.“Darwis, kita akan jalankan rencana B, biarkan semua berjalan seperti yang dikehendakinya, tetapi di malam sebelumnya, amankan Sandrina.”“Apa Anda yakin dengan ini? Apa Nona Sandrina akan baik-baik saja?”“Dia butuh suatu pelajaran penting, setelah kamu mendapatkannya bawa dia ke tempat ayahnya di Singapore dan aku akan menyusul.” Aku menjelaskan secara detail rencanaku kepada Darwis meskipun laki-laki itu beberapa kali terlihat mengernyitkan dahinya.“Nyonya, rencana Anda terdengar menyeramkan, terlebih Anda sedang mempertaruhkan putri Anda sendiri.” Darwis terdengar ragu, iya pastinya, siapapun yang mendengar ini pasti akan mengatakan aku gila. Aku seorang ibu yang nekat akan menikahkan putrinya dengan ayah
“Ibu tolong tunggu Airin di sana yaa, beberapa hari lagi Airin akan menyusul. Pastikan saja para perawat di sana dan para dokter memberikan pelayanan yang terbaik untuk mas Andy.” Aku membantu ibu berkemas untuk keberangkatannya menuju Singapore. Aku tidak membiarkannya untuk bertemu dengan Sandrina agar anak itu tidak bercerita apapun pada neneknya.“Tapi kok mendadak begini sih, Rin? Ibu jadi gak leluasa siap-siapnya.” Ibu mengansurkanku sehelai sweater yang biasa dipakai beliau ketika di London dulu.“Maaf, Bu. Sebenarnya Airin sudah dikasih tahu supaya salah satu dari anggota keluarga kita harus berada di sana tetapi Airin yang salah kasih jadwal ke bawahan Airin jadi ada beberapa jadwal Airin yang bentrok. Dalam waktu dekat Aldrin juga akan liburan dan dia juga mau menjenguk ayahnya.” Aku melirik sekilas ibu yang tampaknya mencoba menerima penjelasanku.Dalam waktu satu jam semua siap, aku dan Budi yang mengantarkan ibu langsung ke bandara. Di sana ibu akan dijemput bawahanku da
Persiapan pernikahan Sandrina sudah nyaris rampung, aku datang untuk melihatnya meski hanya dari atas balkon hotel ini. Para kru WO hotel bekerja dengan keras dan penuh semangat untuk mewujudkan pernikahan “impian” ini. Walaupun, aku tahu akan berakhir seperti apa nanti pesta yang disebut-sebut sebagai wedding of the year. Aku juga tahu saat ini Rico dan pak Rudy sedang berusaha keras meredam para wartawan yang sudah mencium berita besar ini.Aku sendiri pun merinding jika membayangkan rencana yang akan kulakukan nanti. Semua perhatian sedang tertuju pada pernikahan akbar ini dan aku ibu dari calon mempelai wanita yang akan merusaknya.“Maaf, Bu, ada telepon dari pak Rico, Ibu diminta ke kantor pusat sekarang karena ada meeting penting.” Suara dari Vera sekretaris Sandrina memecah lamunanku.“Ouh … baiklah, tolong siapkan mobilnya,” pintaku pada gadis muda itu. Aku kembali menyapu seluruh ruangan melihat dekorasi yang indah dengan dominasi warna putih dan putih tulang. Indah … indah
Aku kembali memastikan jika semua sudah siap, bukan… bukan pesta pernikahan ini, tetapi sesuatu yang lebih “meriah” dari pesta yang luar biasa ini. Malam kemarin aku sudah bertemu dengan Budi dan menanyakan kebenarannya secara langsung. Pemuda yang terlihat kuat, garang dan dingin itu menangis bersimpuh mengingat penderitaan ibunya yang diusir dari rumah orang tuanya karena hamil di luar nikah. Masih sedikit beruntung karena ibunya ditampung oleh pemilik panti sehingga perempuan itu bisa melahirkan dan sempat merawat Budi kecil hingga beberapa tahun.“Waktu itu umurku tujuh tahun, penyakit mama semakin parah, sehingga mama memutuskan untuk membawaku kepada laki-laki itu, menerimaku sebagai putranya. Tapi dia menyangkalnya dan mengatakan jika ibuku adalah seorang jal*ng.” Budi menghela napas, matanya mulai basah, kenangan itu begitu buruk dalam hatinya.“Setelah dia menghina mamaku habis-habisan dengan pongahnya dia mendorong kami ke tepi jalan. Ketika itu malam hujan deras dan mama se