Acara sudah selesai, Sumini dan ibunya juga sudah diantar pulang. Menik berjalan memasuki kamar AStutik, dia ingin berganti baju sekaligus istirahat disana. Hari ini, dia sungguh merasa sangat lelah, bukan hanya badannya, namun juga hati dan fikirannya. Setegar apapun dia dimata orang lain, seolah ribuan belati menyayat hatinya ketika suaminya mengucap ijab kabuk untuk perempuan lain.
Malam ini menik akan tidur dikamar anak perempuannya itu, namun baru saja dia hendak memejamkan mata, terdengar pintu kamar yang terbuka."Dek, kenapa malah tidur disini? Seharian kamu belum sempat makan, aku dan anak-anak sudah menunggu kamu dari tadi dimeja makan. Ayo kita makan dulu, aku nggak mau kamu sakit.""Aku belum lapar mas""jangan seperti itu. Kamu belum makan, bagaimana mungkin tidak lapar?""Perempuan mana mas, yang bisa makan dengan lahap setelah melihat suaminya mengucapkan ijab kabul uSemula, Sumini memang tidak ada niatan untuk menyakiti Menik. Dia hanya meminta sedikit kebahagiaan dari sahabatnya itu.Semula, dia memang tidak berniat untuk merebut Tukiman dari Menik. Selama ini, Menik sudah memiliki hampir semua yang diinginkan oleh seorang wanita, wajah yang cantik, kulit yang putih bersih, anak-anak yang pintar, harta yang melimpah, disegani masyarakat, juga keluarga yang terpandang.Lalu, salahkah dia bila meminta sedikit saja kebahagiaan itu? Rasanya begitu tamak jika Menik ingin menikmati semua itu sendiri. Bukankah didunia ini tidak ada yang sempurna? Sejak kecil, Sumini hanya dibesarkan oleh seorang ibu. Tempat tinggalnya pun tak tentu, seringkali berpindah karena tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Sejak kecil, Sumini sudah harus bekerja membantu ibunya agar tetap bisa makan untuk hari esok. Bahkan Sumini tidak tahu bagaimana rasanya bermain dengan kawan seusianya. Tidak ada waktu untuk bersenang-senang, tidak
"Masak apa nik?" "Astagfirullah, mbak Sumi, kaget aku mbak. Masuk rumah kok nggak ada suaranya sih?" "Hehe... iya maaf, habis kamu sibuk sampai gak denger aku masuk. Tadi sudah ketok-ketok malah nggak nyaut, yasudah aku langsung masuk saja." "Iya mbak, aku kesiangan bangun ini tadi, semalam nemenin Tutik belajar sampai larut malam, sekarang takut sarapannya gak keburu." "Aku bantuin ya, ini kopi buat bapaknya anak-anak ya? Sejak menikah, kami belum pernah makan dan berbincang, saling bertukar cerita dimeja makan, seperti suami istri pada umumnya Nik." Ucap Sumini lirih dengan senyum tipis penuh kehampaan, atau tepatnya bicara dengan diri sendiri. Mendengar penuturan Sumini, muncul rasa iba menyusup dihati Menik, atau justru lebih tepatnya rasa bersalah? Egoiskah dirinya? Karena memang, bahkan setelah suaminya menikah lagi, pria itu tak pernah sekalipun
Setelah Tukiman dan Menik berunding, akhirnya dengan berat hati Tukiman mengijinkan Sumini tinggal dirumah itu untuk sementara waktu. Sebenarnya Menik pun juga masih ragu, akankah keputusanya ini sudah benar. Apakah hatinya sudah siap? Namun ketika mengingat Sumini yang mengiba, muncul pertentangan dalam hatinya. Antara tak tega dan juga tak rela. Batinnya berperang, satu menghakimi dirinya bahwa betapa egoisnya dia selama ini, satu lagi berkata bahwa dia sudah benar. Tidak ada kewajiban dirinya untuk terus mengalah. Namun akhirnya Menik mengijinkan Sumini untuk tinggal seatap dengannya. Menik berfikir bahwa dia tidak bisa selamanya sembunyi dari kenyataan. Apapun yang terjadi nanti, Menik sudah siap. Sumini merasa senang, akhirnya keinginannya untuk tinggal dirumah itu bisa terwujud dengan mudah. Dia sangat tahu kelamahan Menik, dan Dia juga sangat tahu, Menik adalah kelemahan Tukiman. Tukiman akan menuruti apapun keinginan Menik,
"kamu kenapa to Yem, tak perhatikan dari tadi kok melamun saja?"Tanya nyai Saminah kepada mak Siyem. "Aku kepikiran sama Sumi nyi." "Kenapa Dia? Bukankah anak itu sekarang sudah bahagia tinggal sama suaminya?" "Justru itu nyi, sejak Sumi tinggal bersama Tukiman, Dia itu sering sekali sakit, aku kok kawatir dia disakiti Menik, atau disuruh melakukan semua pekerjaan rumah sendiri? Mungkin Menik cemburu melihat kemesraan Sumini dengan Tukuman, sehingga ketika Tukiman pergi bekerja, Menik akan dengan leluass menyiksa badan dan batin Sumini." "Ah, aku kok sangsi, selama ini aku kenal Menik, anaknya baik kok, wong anak itu nggak tegaan. Nepuk nyamuk aja dia ndak tega, apalagi nyiksa manusia." "Loh, ya bisa saja Lo nyi, siapa tahu dia cemburu, melihat suaminya nempel terus sama Sumi? Sekarang, perempuan mana yang dengan suka rela dimadu sih nyi? Duh malah sekali nasib anakku satu-
"Wanita ini harus diarak dan diusir dari desa ini, agar tidak menimbulkan bala untuk kita semua. Karena telah bersekutu dengan setan! Tega-teganya kamu berbuat seperti itu kepada anakku! Kalau kamu tidak suka Sumini tinggal disini, kenapa kamu tidak terus terang saja? Masih bagus Sumini tidak menuntut Tukiman untuk menceraikan kamu, tapi kamu malah setega itu dengan anakku! Dasar kamu ya, kelihatannya saja baik, kenyataannya jahat!"Ujar Mak Siyem dengan lantang. "Sabar dulu Mak, kita dengar dulu penjelasan mbak Menik." ujar salah satu warga menengahi. "Penjelasan apa lagi yang harus kita dengarkan? Semua sudah jelas, kalian semua yang ada disini juga menyaksikan sensiri dia ingin menyantet anakku karena cemburu! Ada media santet yang dia sembunyikan dikamarnya!" Mendengar ada keributan, warga yang lain pun banyak yang berdatangan. Mereka ingin melihat apa yang sedang terjadi. Penasaran, dan kebanyakan mereka hanya
Mereka mengarak Menik dengan tanpa perasaan, Menyeretnya hingga keluar dari desa tanpa perundingan dan berfiki panjang.Bahkan, sebagian dari mereka tak tahu masalahnya, hanya ikut-ikutan dalam keramaian. Tak ingatkah mereka, saat dirumah tak ada yang bisa dimakan, Menik yang datang dengan tangan penuh bahan makanan?Tak ingatkah mereka, saat anaknya sakit. Dengan tanpa perhitungan Menik yang datang dengan uang terselip dalam genggaman. Lalu kini, apa balasan mereka kepada wanita berhati mulai tersebut?Mempercayai fitnah dan tega mengusirnya tanpa pembelaan. Menik berjalan dengan menahan luka perih di sekujur tubuhnya, Dia menyesali apa yang terjadi.Apa salahnya kepada Sumini? Kenapa emak dan anak itu begitu tega kepada dirinya?Kurang apa dia selama ini? Dulu sebelum dirinya mengenal Sumini, hidupnya baik-baik saja. Lalu Menik timbul kasihan meli
Hari masih begitu pagi, namun Sumini sudah sibuk didapur. Dengan sepenuh hati dia memotong sayur, memasukkan daging,serta menambahkan sedikit garam pada masakanya. Aroma masakannya sudah menyebar diseluruh ruangan. Begitu wangi menggugah selera. Hari ini dia begitu menikmati peran barunya sebagai seorang istri, dan ibu seutuhnya dirumah ini. Bahkan sesekali berdendang kecil. Ternyata begini rasanya menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Mungkin sedikit lelah, namun menyenangkan. Aura bahagia terpancar diwajahnya, seolah hari kemarin tidak pernah ada. Sakit ditubuhnya memang masih perih, lukanya masih basah. Namun semua tidak terasa. Tidak sebanding dengan apa yang dia dapatkan sekarang. Sumini mulai meracik kopi, menyeduh susu dan sepiring buah segar yang telah dipotong ditata cantik didalam piring saji. Semua Sumini lakukan dengan sepenuh hati. Berbagai menu sarapan telah terhidang dimeja makan, seolah ada sebu
Ki Harjo sangat murka, ketika mendengar berita yang kini menimpa keluarga Tukiman, anak satu-satunya dari kakaknya yang kini sudah almarhum itu. Dia merasa gagal menjalankan amanat kakaknya untuk menjaga Tukiman, selayaknya anaknya sendiri.Dia panggil Mak Siyem dan beberapa warga yang terlibat dalam pengusiran Menik beberapa waktu yang lalu. Bagaimana mungkin dia bisa tidak tahu? Ki Harjo merasa dilangkahi. Lancang sekali mereka yang berbuat demikian kepada Menik? Menik adalah anak yang dia besarkan sendiri dengan tangannya, Menik dan Tukiman adalah amanah yang dititiokan oleh orang-orang terdekatnya kepada dirinya. Namun nyatanya, beberapa waktu terakhir ini, berbagai hal buruk menimpa mereka, dan dirinya bahkan tidak tahu. "Apa yang sudah kalian lakukan kepada keponakanku?" "Kami hanya melakukan apa yang seharusnya kami lakukan ki. Justru kami tidak ingin desa ini terkena bala karena perbuatan jahat Menik."