“Tidurlah Furika, Aghis juga sudah pulas, aku tidur dulu ya, besok kerja,” pamitnya lalu berjalan memasuki kamar.
Aku hanya melongo. Setengah tidak percaya dengan ucapan mas Marvin. Beli nasi goreng dua bungkus? Dan itu hanya dimakan olehnya dan juga ibu mertua? Bagaimana dengan aku? Apa mas Marvin tidak tahu, bahwa istrinya yang butuh banyak asupan makanan untuk menyusi? Dan malam ini, aku juga belum makan malam.
Dengan sedikit nelongso, akhirnya aku hanya bisa diam. Tidak mungkin aku protes dan ngambek dengan sikap suamiku, yang ada malam ini kami akan bertengkar lagi.
Aku tidak memasak hari ini, karena seharian Aghis rewel tidak bisa ditinggal, sementara bahan masakan di dapur pun juga sudah habis semua. Hanya ada beras, dan itu pun harus dimasak dulu agar menjadi nasi.
Andai saja aku memiliki uang lebih, aku pasti akan memesan makanan juga seperti mas Marvin. Sayangnya, uang di dompetku sudah menipis sementara aku sudah tidak bekerja lagi dan menggantungkannya kepada suamiku.
Kutidurkan bayiku, dan karena aku sangat lapar namun tidak mungkin aku memesan makanan delivery akhirnya dengan sangat terpaksa agar perutku tidak keroncongan, hanya ada air putih dan biscuit di rumah yang bisa kunikmati untuk pengganjal perut.
****
“Oek... Oekkk...”
“Oekkkk….”
Suara tangisan bayiku semakin kencang. Padahal, masih pukul satu dini hari. Baru saja aku selesai merampungkan pekerjaanku. Mencuci seragam kerja Mas Marvin dan menyetrika sebagian yang sudah kering.
Kenapa aku melakukannya malam–malam begini? Semua bukan karena tanpa alasan.
Aku tidak sempat melakukannya saat pagi, sebab Aghis hanya tidur dua jam selepas mandi pagi setelah itu rewel minta digendong dan tidak mau diletakkan di Kasur.
Tidak masalah jika kukerjakan semua malam–malam, karena jika tidak mas Marvin akan ngambek lagi karena merasa aku ‘tidak melayaninya’ seperti kemarin.
“Oeeeek.. Oekkk..”
Aku berlari kecil menuju kamar, menggendong Aghis dan menenangkannya. Dan ternyata benar, Aghis menangis karena risih pampersnya sudah penuh. Memang aku terakhir menggantinya tiga jam yang lalu.
Jangan meniruku! Aku terpaksa melakukan ini. Tidak mungkin aku mengganti diapers setiap dua jam sekali, karena itu akan dinilai boros, Mas Marvin dan keluarganya pasti akan memarahiku jika aku berbuat boros.
Aku hanya memakaikan diapers untuk bayiku saat malam hari saja, saat pagi dan siang Aghis kupakaikan popok kain agar lebih menghemat pengeluaran.
“Mas Marvin, tolong buatkan susu buat Aghis,” pintaku kepada Mas Marvin yang tertidur di samping bayiku.
Sayangnya Mas Marvin tak kunjung bangun. Dan akhirya, aku terus menggoyang-goyangkan tubuhnya. Aku tidak mungkin meninggalkan bayiku yang menangis semakin kencang.
“Mas, bangun!” Ucapku meninggikan suara.
“Apaan sih dek! Berisik banget anakmu itu!” Bentaknya kasar.
Mas Marvin hanya bangun sekejap, setelah itu memiringkan tubuh membelakangi kami.
Jika mas Marvin sudah marah, aku selalu diam dan mengalah atau jika tidak pasti akan semakin menjadi.
“Mas, kalau gitu bantuin gendong Aghis biar aku yang buatkan susu,” pintaku dengan terus menggoyangkan tubuh mas Marvin.
Aku terlalu takut jika membuat susu dalam kondisi bayi rewel, aku takut jika itu sangat beresiko. Bagaimana jika air panasnya tumpah dan mengenai bayiku? Aku tidak rela. Itulah alasanku membagi tugas ini.
“Ih! Aku ngantuk Dek, seharian Mas kerja!” bentak mas Aghis yang akhirnya terduduk.
Lama-lama juga risih karena terus kubangunkan dan mendengar suara tangisan bayi kita.
Dengan tampang cemberut, dan matanya yang belum terbuka lebar. Akhirnya, dengan terpaksa Mas Aghis memangku bayi kita. Dengan segera aku kedapur, membuatkan susu untuk bayiku.
“Kamu males banget sih nenenin bayi kita! Ngrepotin banget,” cibir Mas Marvin yang mendekatiku di dapur sambil menggendong Aghis yang terus menangis.
“Aku nggak males mas, ASI-ku belum keluar,” belaku sambil mengaduk susu.
“Lagian apa nggak bisa nidurin bayi sendiri, aku capek kerja seharian!” Protes Mas Marvin.
“Iya, maaf. Habis ini aku gendong anak kita.”
“Aghis sayang, minum susunya ya, Nak. Setelah ini mari kita tidur,” bujukku dengan lembut pada si bayi.
Dengan cekatan, aku meraih Aghis dan menggendongnya berharap bayi kesayanganku segera terlelap dan aku pun bisa segera istirahat.
****
“Hari ini aku lembur jadi pulang agak malam, Dek." Tutur Mas Marvin sembari mengecup kening Aghis dengan lembut.
Aku mengangguk kemudian menyiapkan segala keperluan mandi untuk bayiku setelah menyiapkan kebutuhan mas Marvin. Kecuali sarapan, hari ini aku bangun kesiangan gara-gara Aghis menangis semalaman dan baru mau tidur jam 3 pagi tadi.
Jadi, aku tidak sempat belanja sayur dan membuatkan bekal untuk suamiku seperti dulu saat aku masih hamil.
Untungnya, Mas Marvin tidak marah. Cuek-cuek saja.
“Oh, jadi sekarang menantuku semakin malas ya? Masak anakku nggak pernah dimasakin, kasihan dong." Terdengar suara yang sangat tidak asing dari ruang tamu.
Dan aku tahu siapa pemilik suara itu. Pagi-pagi begini ibu mertua sudah berkunjung.
“Bu- bukan begitu bu, Furika—”
“Halah, semenjak kamu melahirkan makin pinter alasan terus, kemarin alasan nggak bisa ngasi ASI bayimu, sekarang lagi nggak pernah masakin suami,” cibir ibu mertuaku menyela ucapanku yang belum selesai.
“Sarapan itu penting Furika, apalagi untuk pekerja seperti Marvin, benar-benar kamu tega sama suamimu.”
Gemas sekali aku dengannya, selalu bersikap seenaknya saja.
“Jangan banyak alasan, semua sudah jelas! Kalau kamu itu pe-ma-las,” ucapnya mengeja dengan penekanan.
Mas Marvin hanya melirikku sekilas, kemudian sibuk merapikan dasinya.
Kenapa mas Marvin tidak membelaku? Serba repot jadinya jika begini, hidup terus dikomentari dewan juri seperti ibu mertua. Sementara, aku tidak bisa menjawab apa-apa, segala yang kuperbuat semua serba salah.
“Semalam Marvin juga makan nasi goreng di rumah, kasihan banget, capek-capek kerja nggak pernah dirawat istri, kamu nggak kasihan anakku, hah?”
Ibu mertua merebut Aghis yang kugendong dan masih tertidur pulas. Karena gerakan ibu mertua yang cukup keras, sampai akhirnya membangunkan anakku. Dan apa yang terjadi?
Aghis menangis sekencang-kencangnya karena kaget.
“Oekkkk…oeeek…”
“Lihatlah anakmu Marvin, dia jadi cengeng gara-gara perutnya kelaparan, ibunya nggak pernah memberinya ASI!” Ujar sang ibu menatap sinis ke arah Furika.
“Saya hutang lagi ya mbak, saya butuh banget buah dan sayur – sayur ini,” bisikku kepada mbak Mina, seorang penjual sayuran keliling langganan.Aku tak mau ada orang lain yang mendengar dan menjadikan bahan pergunjingan, apalagi jika kebetulan mertuaku melintas dan tahu bahwa aku sedang ngutang belanja di tukang sayur. Mampuslah aku.“Oh, tenang saja mbak. Ibu menyusui harus rajin makan buah dan sayur biar ASI lancar,” ucapnya dengan senyum jumawa.Hatiku lega mendengarkannya. Setelah seharian sumpek melihat sikap ibu mertua yang selalu menyalahkanku, ada juga orang yang baik kepadaku di lingkungan ini.“Untuk totalannya, akan saya bayar bulan depan, janji deh.” Bisikku lagi.Aku ingin membuktikan perkataan ibu mertua dengan menyajikan masakan enak untuk suamiku dua hari ke depan dari sayur dan buah yang kuhutang barusan, meski pun dengan makanan sederhana sebab Mas Marvin belum memberiku uang belanja untuk minggu ini.Kebetulan Aghis tertidur, akhirnya kuputuskan membeli sayur mayur
Ibu mertua, mbak Iza dan Mas Marvin tidak berkomentar setelah itu, mereka berjalan menuju ruang tamu dan bercengkrama di sana. Tanpa memperdulikan, aku yang merasa ini semua semakin tak adil. Kenapa mereka selalu bersikap seenaknya kepadaku?Tragis. Sehumor inikah hidupku?Kenapa keluarga ini tidak pernah memikirkan perasaanku? Melahirkan bukanlah yang sepele, harusnya mereka menjaga kesehatan jiwa dan ragaku pasca persalinan. Bukannya terus menyalahkan.Mereka meninggalkanku seolah aku lah orang yang melakukan kesalahan fatal dan benar – benar fatal.Pun Mas Marvin, semakin hari tingkahnya semakin susah kupahami. Seolah tidak paham, apa yang seharusnya dilakukan seorang suami setelah istrinya melahirkan. Bukan malah menuntut seperti ini.“Jadi gimana, Dek? Kamu bisa kan pinjemin aku uang? Sebulan lagi akan kubayar.”Samar – samar terdengar suara manja mengalun dari bibir mbak Iza. Rupanya ini alasan wanita itu jauh – jauh mengunjungi kami. Untuk meminjam uang suamiku.Kakak ipar kedu
Aku semakin kesal dengan hasil musyawarah tadi sore, benar – benar Mas Marvin langsung terpengaruh begitu saja dengan ucapan mbak Iza dan ibu mertua. Malam ini, Aghis tidak diperkenankan memakai pampers oleh suamiku, dan apa yang terjadi?Sejak sore dia menangis tak berhenti, sebab risih dengan kain basah yang harus diganti setiap kali bayiku buang air kecil. Tidurnya jadi tak nyenyak dan dia semakin rewel.Aku belum istirahat sejak pagi, ibu Mas Marvin melarangku tidur siang karena ‘pamali’ katanya. Sementara, sore pun aku tidak berani tidur sebab ada mbak iza dan ibu mertua di rumahku. Mereka akan berkomentar yang tidak – tidak jika melihatku tidur sementara, bayiku tidak ada yang menjaga.Sangat miris bukan? Harusnya, setelah melahirkan seorang ibu harus memaksimalkan istirahat. Karena akan mempercepat pemulihan dan juga bisa berpengaruh terhadap derasnya ASI. Tapi mau bagaimana lagi, support sistemku alias mas bojo juga tidak peduli dengan apa yang sedang kualami.“Mas, gantiin ja
"Kamu jangan kebiasaan dong dek, selalu saja menunda pas kusuruh!” protes Mas Marvin kemudian.Aku kembali bergeming menatap suamiku. Kenapa sikapnya semakin seperti anak kecil saja. Tidak pernah mau mengerti keadaanku.“Buat sendiri nggak bisa mas?”Mas Marvin malah merengut mendengarkan pertanyaanku.“Iya deh, aku buatin kopi, tapi jagain Aghis di kamar ya nanti takutnya dia terbangun.” Akhirnya gegas kubuatkan kopi secepat kilat. Hatiku masih dirundung penasaran dengan temuan kwitansi belanja tadi.Haruskah aku tanyakan kepada suamiku? Tapi, bagaimana jika dia marah pas kutanyai?Kopi sudah kuseduh, sesuai takaran yang mas Marvin mau. Tidak terlalu manis dan kental. Kusuguhkan di atas meja rias. Terlihat mas Marvin malah asyik main HP, tidak memperhatikan bayiku sama sekali.“Mas, ini kopinya,” ucapku berbasa – basi.“Hem…” jawabnya tanpa menoleh. Sangat terlihat focus dengan benda persegi Panjang digenggaman. Bukannya malah terima kasih.Aku mendekat, menduduki kursi rias di samp
“Iya kan benar apa kataku? Kamu kerjaannya Cuma ongkang – ongkang aja, mana bisa ngasilin duit,” ujar ibu mertuaku ketus. Lirikan mautnya selalu berhasil membuatku meremaskan tangan menahan kesal.Aku hanya bisa mendengus saja jika sudah begini. Menghina dan merendahkan, apa tidak ada kalimat lain yang bisa ia ucapkan kepadaku? Kentara banget ibu mertuaku ini kalau memang tidak suka kepadaku.“Ya sudah, ibu balik ke rumah dulu, urus anakmu dengan baik.” Akhirnya wanita paruh baya itu melangkahkan kaki meninggalkanku berpelukan dengan damai usai kepergiannya.“Huft, sabar – sabar,” ucapku mengelus dada.*** Malam menjelang, sudah lama kumenanti sejak Mas Marvin berangkat kerja pagi tadi. Sesuai janjinya, suamiku itu akan membawakan oleh – oleh yang kuidamkan. “Skincare”. Sudah lama tak kubeli barang itu untuk sekedar merawat kulit wajahku yang semakin terasa kering ini.Dan seperti biasanya, kuintip dari jendela kamar, Mas Marvin melangkahkan kaki menuju rumah kami dengan menenteng ta
Andaikan aku masih bekerja, aku tidak akan minta – minta seperti ini kepada suamiku. Apalagi hanya sekedar membeli skincare dan kosmetik. Borong setoko pun aku bisa membelinya. Sejak semalam, hatiku masih dirundung kesal dan nelangsa. Gini banget jadi ibu rumah tangga. Yang tidak pernah dihargai, selalu dituntut dan selalu disalahkan.Ruang gerakku hanya sebatas di rumah saja, mengurus anak tanpa ada yang menggantikan, mengurus keperluan rumah tanpa boleh ada yang salah, dan selalu kekurangan uang karena tidak bisa mencari pemasukan sendiri.“Furika! Kamu ngapain bengong, ayo ke rumah ibu, ada tamu!”Ibu mertuaku memanggilku dengan nada terburu – buru.“Tapi anakku bu?”“Anakmu kan tidur, tinggal saja bentar!” ocehnya memaksa.“Nggak bisa bu, kasihan sendirian di rumah, kalua anaknya bangun terus nangis gimana?” protesku berusaha membela diri.Mana tega aku meninggalkan bayi kecilku sendirian di rumah. Bukannya aku lebay ya!“Halah, alasan! Cepet gendong anakmu, buatkan minuman tamuk
“sudah jam setengah sepuluh malam, tapi mas belum pulang, perutku lapar sekali.”Aku hanya bisa merintih menahan lapar sambal mengelus perutku yang semakin terasa perih saja. Mungkin asam lambungku naik sebab terlalu sering telat makan dan kuabaikan begitu saja. Rasanya pengen mual dan kepala kliyengan.Anakku sudah tidur pulas sejak sore tadi, sementara aku tidak bisa tidur karena perutku yang terus menjerit keroncongan. Sementara di rumah tidak ada makanan sama sekali.Penantianku akhirnya tidak sampai lama. Mas Marvin dan ibu mertua akhirnya sudah pulang. Dari luar terdengar sebuah mobil terparkir di teras samping, dan aku yakin itu adalah mobil Giandra yang mengantarkan ibu mertua, mas marvin dan kakak ipar usai acara makan – makan di restoran.Iya. Makan – makan! Mereka enak – enakan menikmati makan enak tanpa mengajakku. Dengan alasan, anakku masih bayi dan tidak boleh di bawa ke mana – mana.Begitu nelangsanya aku menyaksikan mereka dari balik jendela kamar, namun apa boleh bua
"Dulu ibu bisa mengurus tiga anak sekaligus padahal jadi janda, sedangkan kamu mengurus satu anak saja nggak becus!"Lontaran kalimat pedas itu kembali menyembur dari mulut ibu mertua. Bukannya menguatkan aku yang benar - benar rapuh karena buah hatiku terkapar dengan selang infus, tak hentinya wanita tua itu terus menyalahkanku."Istrimu memang nggak becus Marvin, untung saja Aghis tidak parah.""Jika ibu kemari hanya untuk marah - marah teriak -teriak saja, lebih baik pulang," ucapku sedikit memberanikan diri."Kamu ngusir ibumu? Lihatlah Marvin, istrimu makin hari makin kurang ajar. Tak tahu terima kasih dijenguk malah mengusirku.""Furika, tolonglah jangan memancing keributan," sahut Mas Marvin yang meraih pundak ibu dan mangusapnya.Bukannya menenangkanku, mas Marvin lagi - lagi berpihak kepada mak lampir."Biaya rumah sakit kan mahal, kamu mampu bayar semua?" Sentak ibu lagi sambil melengos.Aku tak berkomentar memilih meninggalkan suami dan ibu mertua di luar ruangan dan meneng