Ratna tak banyak bicara setelah kejadian itu."Berat banget masalahnya ya, Rat? Sampai-sampai salah seorang dari tetanggamu tadi terkesan kasar begitu."Arjuna membuka percakapan saat Ratna menyuruh Devina masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian. Keduanya masih berdiri di teras rumah. Kejanggalan yang terasa, membuat Arjuna memancing percakapan agar Ratna mau menceritakan tentang apa yang terjadi selepas Arjuna balik ke mobil tadi."Mas, sebaiknya kamu langsung pulang saja. Aku mau istirahat soalnya."Merasa terpatahkan tanpa ada penjelasan terlebih dahulu, Arjuna lebih memilih untuk pamit."Oh, oke. No problem. Hati-hati di rumah, periksa dulu semuanya sebelum tidur," petuah Arjuna sebelum wajahnya berganti dengan punggung yang perlahan menghilang dalam pandangan Ratna.Juga tak seperti biasanya, yang selalu mengantar Arjuna hingga berdiri tak jauh dari mobil Arjuna terparkir, kali ini Ratna hanya menatap kepergian Arjuna di ambang pintu utama."Maaf, Mas. Tidak bermaksud mengusi
Hani tampak menatap lekat Ratna, yang berusaha tenang. Memang ini bukanlah hal yang mudah, bukan masalah melarang kedua lelaki itu datang ke rumah. Hanya saja, dia tidak enak dan segan jika para warga sudah berdiskusi sebelumnya tentang dirinya."Bisa dong pasti, Mbak Ratna. Kalau janda itu kan lebih tau porsi attitudenya gimana. Jangan sampai, kamu yang bikin dosa, kita para tetangga yang ketiban sial," tambah Mona. Ratna yang ingin menjawab pertanyaan Hani, urung seketika saat Mona lebih dulu berujar. Entah apa yang membuat perempuan satu ini berkata kasar pada Ratna."Mbak Mona, saya rasa mbak terlalu berlebihan ngomongnya. Mbak Ratna juga nggak ngelakuin hal aneh 'kan. Jangan membuat yang bersangkutan merasa tidak nyaman dengan lingkungan komplek ini. Dan, jangan sampai pula membuat masalah yang baru." Sorot mata tajam Hani menampakkan kalau dia juga tak suka dengan yang terucap dari mulut Mona."Jelas bisa, Mbak Hani. Maaf juga jika sudah meresahkan para warga.""Ya … kita sebagai
Ratna hanya berbicara di balik pagar yang tidak dibuka. Hari ini tepat seminggu yang lalu Bram bertandang ke rumah Ratna. Kedua tangannya memegang besi-besi pagar sejurus dengan wajahnya yang memelas berharap Ratna akan memberinya kesempatan.Hidupnya yang terasa damai tanpa diusik mantan suaminya kini seolah kembali lagi."Rat, aku salah apa? Kenapa kamu ngomongnya kayak gitu? Kenapa tiba-tiba mengatakan kalau aku sepertu mengancamku? Apa karena Laura? Apa kamu nggak tau dia yang bikin aku masuk ke dalam penjara seminggu ini. Sampai-sampai aku nggak bisa berkunjung untuk melihat kamu dan Devina?"Bram terpaksa menikmati hidup dinginnya di balik jeruji besi. Kelengkapan surat yang diminta kepolisian tak bertemu juga oleh mamanya. Padahal, seisi kamar sudah dibongkar, tak jua Wati menemukan yang dicari. Sampai-sampai office boy kantor mencari di ruangan kerja Bram. Namun, keberuntungan belum berpihak pada dirinya.Saat Bram menyebut namanya mantan sirinya itu, Ratna seolah diingatkan k
Ratna berdiam sejenak, menarik napas dalam-dalam, kemudian melepaskannya perlahan.Tok … Tok … Tok …"Na … Devina," panggilnya lagi seraya mengetuk pintu kamar. Hatinya sungguh tak tenang melihat Devina seperti itu. Apalagi tadi sampai menitikkan air mata. Begitu terluka kah Devina?"Buka pintunya, Nak? Devina kenapa? Cerita sama mama!" pinta Ratna lirih.Kreet!!!Pintu terbuka pelan.Gadis kecil kesayangan Ratna berdiri di ambang pintu dengan mata yang sembab.Tanpa bertanya, Ratna langsung memeluk putri semata wayangnya dengan sangat erat.Dadanya yang sejak tadi sesak menahan tangis, lolos juga tanpa permisi."Maafin mama, Na. Bukan bermaksud bikin kamu sedih.""Nana yang minta maaf, Ma. Gara-gara Nana, mama jadi nangis. Mama nggak mau mama sedih."Mereka berpelukan hingga beberapa menit, larut dalam tangis yang tertahan."Sekarang Nana, cerita sama mama. Kenapa Nana sedih?"Setelah berpelukan, Ratna mengajak Devina duduk di meja makan dan sebelumnya dia memberikan air putih hangat
Doddy mengikuti saran dari Bram untuk merental mobil guna melancarkan aksinya. Doddy juga ingin membukti seakurat apa ucapan Bram yang terkenal dengan playing victim dalam pertemanan itu. Saat Doddy menyetujui usulannya, Bram seolah percaya diri akan mampu membuktikan semuanya pada Doddy.Lima menit memarkir di depan kantor, tampak mobil yang dikemudi Arjuna keluar dari area perkantoran. Bram menunggu sebentar, memberi jarak agar tidak terlalu dekat. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih empat puluh lima menit, mobil Arjuna menepi ke sebuah rumah mewah yang terdiri dari dua lantai.Melihat mobil yang dikemudi Arjuna memasuki sebuah komplek perumahan mewah. Meski agak curiga, Bram masih berharap kalau Arjuna tidak membelokkan mobilnya ke dalam komplek dan harapan Bram berakhir sia-sia. Tak dipungkiri, Bram sedikit kesal hingga dia tak sadar menekan rem agak kencang, hingga membuat Doddy sedikit terhuyung ke depan. Untung saja kepalanya tidak mengenai dashboard."Ini bukti apaan sih,
Arjuna menarik napas dalam-dalam kemudian dia lepaskan perlahan."Arjuna! Kamu itu sadar nggak barusan bicara apa?" Suara Santi semakin meninggi sesekali tampak dia menoleh ke belakang yang jelas tidak ada siapa-siapa."Kenapa kamu diam, Ar? Kenapa bukan Dara? Kamu benar-benar ingin mempermalukan mami?" Bertubi-tubi pertanyaan yang terlontar dari mulut Santi, membuat Arjuna agak kebingungan menjelaskan semuanya.Papi Arjuna dan Papa Dara sahabatan dari bangku kuliah hingga mereka meniti karir. Untungnya, Papa Dara adalah anak pewaris tunggal yang mana lepas kuliah langsung duduk di kursi perusahaan yang diperuntukkan padanya. Berbeda dengan Papi Arjuna yang berasal dari keluarga sederhana, kuliah pun bermodalkan beasiswa karena kepintaran Sugiono tak diragukan lagi."Apa sudah ada perempuan lain yang mengisi hatimu, Mas?" Ruang tamu yang sunyi beberapa saat digetarkan dengan suara seorang perempuan tinggi semampai, berbadan ideal, putih, dan punya dua lesung pipi yang dalam.Arjuna ya
"Jangan bicara seperti itu. Cinta itu dipupuk. Cinta juga tidak menjamin seseorang berjodoh atau tidaknya. Kamu tidak perlu khawatir. Serahkan semuanya pada tante.""Tapi, Tan –.""Tenang, Arjuna sudah tante suruh temui kamu. Tante ke kamar dulu, ya, Sayang.""Jangan dihapus air matanya!""Tante tahu, Arjuna itu pantang melihat perempuan menangis di depan matanya.""Kamu harus membuat Arjuna merasa bersalah dengan ucapannya."Santi berbisik sebelum akhirnya beranjak dan berlalu. Masih sempat mengulas senyuman sebelum beranjak.Di dalam kamar Arjuna tampak berulang kali menarik napas dalam dan melepaskannya perlahan. Kondisi yang terjadi sekarang dirasa tak tepat datangnya.*Tahun demi tahun beranjak dengan tanpa terasa. Usia Arjuna sudah cukup matang begitupun dengan Dara yang sudah menyelesaikan pendidikan S-1 nya di salah satu universitas swasta di Malaysia. Arjuna 32 tahun, Dara 22 tahun. Memang terkesan masih muda jika berganti status di umur segitu, tapi balik lagi setiap orang
Setelah mengambil ponsel dari tangan Devina, Ratna langsung mematikan sambungan telepon meski di seberang sana masih terdengar samar Bram berucap halo berulang kali. Namun, Ratna sengaja tidak menggubris sama sekali. Seolah-olah tak mendengar apalagi Devina tak mengalihkan pandangannya sama sekali.Setelah mematikan sambungan teleponnya, Ratna malah mendekatkan ponselnya ke telinganya sendiri, "Halo, Mas. Halo .... "Ma, kok diambil handphonenya? Kan Nana belum selesai ngomong sama papanya," protes Devina, tampak wajahnya heran bercampur sedikit kecewa. "Oh ini, Na. Pulsa mama habis," Ratna beralasan seraya berusaha tak salah tingkah. "Yah, Mama. Dikira tadi nelpon pake w******p. Telpon pake w******p aja, Ma. Kan ada jaringan internet.""Iya, tapi kapan-kapan kita coba telpon papa lagi. Sekarang udah malam, lebih baik Nana tidur biar nggak kesiangan bangun besok!" "Baiklah." Meski di dalam hatinya ada rasa tak terima dan tak puas, Devina tak bisa berbuat banyak, dia segera merapika