Nggak kebayang kalau seandainya Dara sekantor sama Arjuna ....
Arjuna menyudahi menyantap sarapannya dengan meminum air putih hangat setengah gelas."Kita bicarakan nanti pas aku sudah pulang kerja, Mi. Aku harap mami mengerti dan paham," ucapnya sebelum akhirnya beranjak. Sama sekali Arjuna tak melempar pandangan pada Santi ataupun Dara."Arjuna! Arjuna! Kamu dengar mami manggil nggak?" teriak Santi, akan tetapi Arjuna sama sekali tidak menoleh ke belakang apalagi memberhentikan langkahnya. Mata Santi menatap tajam meski punggung anaknya saja yang terlihat. Dia tampak begitu emosi dengan sikap Arjuna yang masih tidak sejalan dengan dirinya. Saking susahnya menahan emosi, wajah Santi yang mengkilat karena perawatan tampak memerah bagai kena cahaya matahari yang terik."Kalau Mami dibiarkan seperti ini terus bisa-bisa kedepannya makin memperburuk keadaaan," bisik Arjuna dalam hati sembari terus melangkah ke arah pintu utama. "Tan, kayaknya aku balik saja ke Jogja. Percuma aja aku di sini, Tan. Mas Arjuna tampak keberatan dengan adanya aku. Apala
Eka langsung sekejap beranjak dan bertekuk lutut di hadapan Ratna."Aku yang make. Ibuku sakit keras di kampung. Jadi aku terpaksa pakai uang toko kamu, Rat. Maaf … Maaf … kalau aku lancang. Aku rela kalau kamu pecat, Rat."Bukannya memarahi Eka, Ratna malah membantu janda beranak dua itu untuk bangkit."Bagiku, uang bukanlah suatu yang terpenting dibanding kepercayaan. Aku rasa akan berbeda cerita jika kamu mengatakan hal sebenarnya, tanpa melibatkan nama orang tuamu bahkan parahnya kamu menyematkan sakit keras pada perempuan yang berjuang melahirkan kamu dulu, Ka."Tubuh Eka bergetar hebat. Dia berdiri dalam kondisi tertunduk. Sama sekali tak berani mengangkat kepalanya untuk menatap Ratna."Berat hati, aku harus memecat kamu dan aku sendiri yang akan turun tangan mengurus toko ini."Seketika dunia Eka runtuh seketika. Selain hidupnya akan menjadi rakyat jelata lagi, hal yang cukup membuat dirinya terkejut dan tidak habis pikir kenapa Ratna bisa tahu kebenaran yang sesungguhnya."Ja
"Oke … Oke …," sahut Arjuna seraya bangkit dari duduknya. Seketika itu juga senyum Santi mengembang pertanda kemenangan di depan matanya. "Dara bisa kerja di sini, tidak sekarang, tapii mulai Senin depan."Senyum yang sempat merekah mendadak menciut seketika mendengar ucapan Arjuna selanjutnya."Lho, nggak bisa dong. Mami maunya besok sudah masuk kerja langsung," protes Santi tak sabar.Dara yang tadinya diam seribu bahasa, itupun hanya …"Tan …," panggil Dara seraya menatap penuh arti pada Santi."Okelah, Senin depan ya. Mami terima. Asal kamu jangan sampai ingkar janji kayak sebelumnya.""Kita pulang yuk, Tan. Mas Arjuna pasti masih banyak pekerjaannya.""Kok pulang sih. Ke mall dulu dong, Sayang. Kan mau cari baju buat kamu kerja Senin depan."Sebelum meninggalkan ruangan Arjuna. Dara tak lupa mengucapkan terima kasih pada Arjuna."Makasih banyak, Mas. Aku dan tante pulang dulu," pamitnya.Tanpa menjawab, Arjuna hanya membalas dengan sekali anggukan.***Bram yang berdiri di depan
[Itu maminya Bapak Arjuna dan perempuan yang tak kalah cantik itu adalah calon dari lelaki yang selama ini sudah bertopeng sama kamu dan Devina.][Makanya kamu jangan gampang terkesima dengan lelaki yang nggak sepenuhnya kamu kenal.]Begitulah bunyi pesan yang masuk disertai dengan foto yang dikirim Bram.Ratna bergeming, seolah memori pikirannya terputar ulang bagaimana awal bertemu Arjuna yang pernah menolong dirinya saat persidangan. Masih teringat di benaknya bagaimana Arjuna selalu ada di kala Ratna dan Devina butuh bantuan, tanpa diminta terlebih dahulu. Dan, yang membuat semuanya berkesan karena Arjuna mampu membuat Devina merasa nyaman dan bahagia.Berulang kali Ratna menarik napas dalam dan melepasnya perlahan."Selow, Rat. Ini bukan kegalauan yang berarti. Bukankah kamu masih trauma mengenal sosok lelaki. Dan, kamu memang tidak memupuk rasa padanya.""Tapi … hati ini terasa ngilu setelah melihat foto perempuan itu.""Apa sih, Rat. Jangan lebay, rasa kamu itu mungkin hanya se
Rentetan pesan yang tampil ditampilan depan hanya direspon Ratna dalam hatinya saja. Hati yang senada dengan jarinya belum siap merespon pesan dari Arjuna. *** Mentari yang malu-malu memancarkan sinarnya cukup menggantikan kesenduan hati Ratna malam tadi. Seperti biasa pagi hari Ratna yang sudah sibukkan dengan rutinitas mempersiapkan sarapan dan keperluan Devina. Namun, ada hal yang beda membuat Devina bertanya. "Mama cantik banget pagi ini," puji Devina sembari menyeruput susu segelas susu hangat, Ratna tampak tersenyum malu menata anak semata wayangnya itu. "Hmm ... berarti kemarin-kemarin mama nggak cantik dong," ucap Ratna kok pura-pura merajuk. "Cantik kok. Tapi beda sama yang sekarang." "Oh iya, mama lupa kasih tahu kamu. Kalau mulai hari ini mama akan mengelola toko bakery kita, makanya mama agak rapi." "Mama kerja? Bakalan sibuk dong?" Nada bicara Devina terdengar agak lain dari yang sebelumnya. "Nggak kok, Na. Devina tetap prioritas mama. Mama di toko mengisi sela k
Ratna menyentak kasar tangannya, membuat pegangan tangan Laura terlepas."Kamu urus saja sendiri. Saya tidak mau tahu sama urusan kamu. Mau kamu hamil anak Mas Bram ataupun lagi nyusun skenario buat ngejebak dia. Kamu atur saja sendiri.""Aku rasa kamu nggak lupa gimana cara merebut Mas Bram dulu."Ratna berlalu masuk tak lupa dia kembali menggembok pagarnya supaya Laura tidak ada akses masuk."Mbak … Mbak Ratna … please bantu aku, Mbak. Aku mohon. Aku yakin kalau lewat, Mbak. Mas Bram akan mau mendengar semua yang aku ucapkan. Mbak … Mbak Ratna."Laura terus berteriak di depan pagar tapi Ratna berusaha untuk tidak mengacuhkan perempuan jalang itu. Beberapa pasang mata sudah memperhatikan dengan heran, tapi mereka tak ingin ikut campur.Berharap Laura hengkang dari rumahnya, yang terjadi malah sebaliknya. Belum ada setengah jam Ratna di dalam rumah tiba-tiba Laura menyisir pandangan sekitar yang tampak mulai lengang.Laura dengan lincahnya melompati pagar rumah Ratna. Entah apa yang m
Ratna tersentak kaget melihat lelaki yang dia hindari berada di depan rumahnya. Berpakaian rapi seperti biasanya. Langkah Ratna terhenti, kala Arjuna berucap tanpa basa-basi."Oom Ganteng, oom kemana saja? Kok tidak pernah ngajakin Nana main lagi," celetuk Devina yang juga ikut kaget dengan kehadiran Arjuna."Maaf ya, Devina. Oom agak sibuk di kantor. Tapi sekarang Oom bisa kok nganterin kamu ke sekolah.""Makasih tawarannya, Mas. Tapi aku sudah memesan taksi," sahut Ratna cepat."Yah, mama. Kok kita tidak dianter Oom Ganteng aja," protes Devina.""Devina ….," panggil Ratna. Nada suara Ratna yang agak beda membuat Devina tak ingin protes lagi."Kan bisa di cancel, Rat?""Jangan mematikan rezeki orang demi kepentingan kamu pribadi, Mas!"Serrr …Arjuna bagai tersambar petir. Jantung Arjuna seketika berdesir hebat, disindir Ratna tanpa filter."Bukan begitu, karena aku ingin menjelaskan sesuatu sama kamu. Pasti Bram sudah memberi tahu ….""Aku rasa kamu cukup bijaksana untuk tidak berb
"Baik, aku bisa membuktikan semuanya," sahut Laura lantang. Apa dia memang sedang mengandung anak Bram? Dan, aksi nekad dia melompati pagar rumah Ratna bentuk perubahan hormon karena mengandung? Entahlah …*Bram mencoba menyusul Ratna yang sudah masuk ke dalam toko bakery, akan tetapi dicegat Wati."Jangan dikejar, Bram. Mama rasa kamu cukup tahu bagaimana karakter Ratna. Sekarang, jangan pake emosi, apa-apa harus serba tuntas. 'Kan sudah berapa kali mama bilang, kamu nggak pernah mendengarkan, malah jadi melebar kemana-mana.""Aku nggak mau Ratna menjauh lagi, Ma. Ini kesempatan emas, apalagi calon Arjuna itu bisa aku jadikan tameng. Malah si bengek kerdil datang menghancurkan semuanya. Aku takut nggak ada kesempatan kedua kali merebut hati Ratna, Ma.""Iya, Mama tahu dan sudah paham, Bram. Sekarang, yang perlu kamu tuntaskan adalah bagaimana menjinakkan perempuan ular itu.""Menjinakkan gimana maksud, Mama?" tanya Bram menatap heran pada perempuan mengenalkan tunic hitam dengan sul