Ratna tersentak kaget melihat lelaki yang dia hindari berada di depan rumahnya. Berpakaian rapi seperti biasanya. Langkah Ratna terhenti, kala Arjuna berucap tanpa basa-basi."Oom Ganteng, oom kemana saja? Kok tidak pernah ngajakin Nana main lagi," celetuk Devina yang juga ikut kaget dengan kehadiran Arjuna."Maaf ya, Devina. Oom agak sibuk di kantor. Tapi sekarang Oom bisa kok nganterin kamu ke sekolah.""Makasih tawarannya, Mas. Tapi aku sudah memesan taksi," sahut Ratna cepat."Yah, mama. Kok kita tidak dianter Oom Ganteng aja," protes Devina.""Devina ….," panggil Ratna. Nada suara Ratna yang agak beda membuat Devina tak ingin protes lagi."Kan bisa di cancel, Rat?""Jangan mematikan rezeki orang demi kepentingan kamu pribadi, Mas!"Serrr …Arjuna bagai tersambar petir. Jantung Arjuna seketika berdesir hebat, disindir Ratna tanpa filter."Bukan begitu, karena aku ingin menjelaskan sesuatu sama kamu. Pasti Bram sudah memberi tahu ….""Aku rasa kamu cukup bijaksana untuk tidak berb
"Baik, aku bisa membuktikan semuanya," sahut Laura lantang. Apa dia memang sedang mengandung anak Bram? Dan, aksi nekad dia melompati pagar rumah Ratna bentuk perubahan hormon karena mengandung? Entahlah …*Bram mencoba menyusul Ratna yang sudah masuk ke dalam toko bakery, akan tetapi dicegat Wati."Jangan dikejar, Bram. Mama rasa kamu cukup tahu bagaimana karakter Ratna. Sekarang, jangan pake emosi, apa-apa harus serba tuntas. 'Kan sudah berapa kali mama bilang, kamu nggak pernah mendengarkan, malah jadi melebar kemana-mana.""Aku nggak mau Ratna menjauh lagi, Ma. Ini kesempatan emas, apalagi calon Arjuna itu bisa aku jadikan tameng. Malah si bengek kerdil datang menghancurkan semuanya. Aku takut nggak ada kesempatan kedua kali merebut hati Ratna, Ma.""Iya, Mama tahu dan sudah paham, Bram. Sekarang, yang perlu kamu tuntaskan adalah bagaimana menjinakkan perempuan ular itu.""Menjinakkan gimana maksud, Mama?" tanya Bram menatap heran pada perempuan mengenalkan tunic hitam dengan sul
Bram tampak keberatan, sampai-sampai dia melempar testpack yang sempat dia pegang ke meja sang dokter. Membuat dokter dan Laura kaget bukan main. Tanpa bersalah Bram langsung bangkit dari duduknya."Mas, tolong jaga sikap kamu," ucap Laura seraya berbisik dengan melirik ke arah dr. Jelita yang geleng-geleng melihat tingkah Bram yang tidak sopan itu."Aku nggak yakin di dalam kandunganmu itu darah dagingku. Bisa saja darah daging laki-laki lain 'kan?"Mendengar tuduhan sekaligus direndahkan di depan orang lain jelas Laura tidak terima diperlakukan seperti itu. Hingga dia kehilangan sabar dan akhirnya menjadi perdebatan."Kamu pikir aku perempuan apa, Mas? Lancang sekali kamu menuduhku.""Kalau lagi hamil gini bisa di test DNA nggak, Dok?" tanya Bram tiba-tiba.Dr. Jelita menarik ujung bibirnya seraya berkata, "bisa, Pak. Sekarang sudah bisa, tapi tunggu sampai kandungan berusia 10-12 minggu."Mendengar penjelasan itu, ada kelegaan sedikit yang terasa di hati Bram. "Oke, saya akan bawa
Para warga yang berada di lokasi berbagi tugas menyelamatkan para korban tabrakan beruntun itu. Tak selang berapa lama, datanglah dua mobil ambulance.Rasa peduli warga sekitar dan pengguna jalan yang tinggi membuat korban dapat ditindak secara cepat oleh petugas medis.***Wati yang sedang duduk di ruang keluarga seraya menonton televisi dikagetkan oleh dering bunyi ponselnya.Tampak beberapa garis membentuk jelas di keningnya menatap nama yang terpampang dalam panggilan itu. Wati sedikit heran kenapa anaknya menelepon."Kenapa dia nelpon?" pikir Wati dalam hati. Padahal, anaknya itu belum lama meninggalkan rumah."Ada apa, Bram?" tanya Wati setelah telepon tersambung."Halo, Bu. Saya ingin memberi tahu kalau anak ibu kecelakaan.""Kecelakaan? Dimana?" Napas Wati seketika memburu hebat, dia shock mendengar penjelasan seorang lelaki di seberang sana."Di Fatmawati, tapi sekarang sudah dilarikan ke rumah sakit terdekat," ucap lelaki itu. Dan, tak lama sambungan telepon terputus begitu s
"Kecelakaan gara-gara aku gimana, Ma?""Nggak usah pura-pura nggak tahu kamu.""Mas Bram dirawat di mana?""Buat apa kamu ke sini, dasar pembawa sial!""Aku ingin tahu gimana kondisi Mas Bram, Ma.""Jangan harap. Saya nggak akan ngasih tahu dimana Bram dirawat. Bukannya semnuh malah makin parah."Wati mencecar habis-habisan, baginya Laura penyebab utama Bram kecelakaan. Padahal …"Ma, aku tahu kalau mama nggak suka sama aku sejak tahu Mbak Ratna orang kaya, tapi mama harus ingat, aku sedang mengandung cucu mama.""Masa bodoh saya sama anak yang kamu kandung. Saya kurang yakin kalau benih di rahim kamu itu benihnya Bram.""Ma, aku memang pernah menjadi perempuan buruk, tapi …."Tut … Tut … Tut …Sambungan telepon terputus. Telinga Wati seakan panas mendengar ocehan mantan menantunya itu."Kalau dia dekat-dekat Bram selalu ketiban sial. Kenapa kamu harus ketemunya sama manusia ular ini sih, Bram? Coba dulu kamu nggak begini, pasti kamu nggak perlu cerai dari Ratna juga." Wati mengumpat s
Wati membuka tirai agak ragu, takut menyelimuti dirinya. Mencoba mengingat saat dia mendapati korban kecelakaan itu sedang ditindak sama petugas kesehatan, yang kebetulan tadi hanya bagian kepala saja yang terlihat. Setelah dirasa kuat, Wati pun menyibak tirai itu.Anak umur belasan tahun terbujur kaku tak berdaya. Setengah tubuhnya ditutupi selimut. Dan, ketika Wati menyibak tirai, anak lelaki itupun menatap kosong ke arahnya. Wati kaget saat melihat wajah anak lelaki itu didominasi luka."Apa kamu salah satu korban tabrakan beruntun?" tanya Wati setelah berdiri di samping brangkar. Dia hanya mengangguk pelan."Keluarga kamu mana?" Wati bertanya karena tak seorang pun yang menemani anak lelaki itu. Dia kembali menggelengkan kepala."Saya memang belum tahu kronologi kecelakaannya seperti apa, tapi … apapun yang terjadi, saya dan anak saya akan bertanggung jawab penuh sama kamu," jelas Wati.Wati pun kembali ke meja informasi, ada yang ingin dia tanyakan pada perawat yang bertugas."Mba
"Kalau Devina sampai tahu gimana ya?""Pasti dia bakalan minta ketemu papanya. Apalagi weekend ini bakal batal."Tak selesai menonton video sampai akhirnya, Ratna menyerahkan kembali ponsel karyawannya itu.Seraya mengutak-atik laptop untuk memeriksa laporan yang tak kunjung usai, pikiran Ratna dihantui mobil Bram yang ringsek parah bagian depannya. Body mobil samping kiri dan kanan juga terbilang parah."Nggak … nggak … Devina jangan sampai tahu dulu. Aku nggak mau dia ikut kepikiran dan nggak fokus belajar padahal sebentar lagi akan ujian semester.""Aku harus menyembunyikan semuanya dari Devina.""Masa iya anakku mesti kepikiran dia terus.""Satu sisi aku iba, tapi sisi lain aku merasa senang. Tak kupungkiri ini sedikit banyak pasti karena dia sudah menyakiti aku dan Devina.""Kira-kira Mas Arjuna sudah tahu belum ya?""Ah, sudahlah, aku nggak mau terlibat terlalu jauh daripada membuat moodku berantakan," ucap Ratna dalam hati.Dia berusaha sekuat tenaga menepis semua yang terjadi
"Huuufff … kenapa dia datang ke kantor segala," umpat Arjuna setelah melihat sosok tersebut di rekaman CCTV.Arjuna mengira setelah dia dengan sengaja membiarkan tanpa membuka pesan serta mengabaikan panggilan masuk dari Dara bisa membuat dirinya selamat, tapi justru terjadi malah sebaliknya. Dara pantang mundur dan selalu punya cara.Tok … Tok … Tok …Dia pun kembali menaruh ponselnya di tempat semula. Urung untuk menghubungi seseorang. "Iya, masuk!" titah Arjuna kemudian. Dia seolah tak punya pilihan lain."Hai, Mas," sapa disertai seulas senyumnya yang menawan. Giginya yang putih bersih serta polesan lipstik berwarna nude cukup memberi warna lain di penglihatan."Ada apa?" "Nggak ngapa-ngapain, Mas. Lagi pengen nganterin makanan buat makan siang kamu aja, kok," sahut Dara seraya mengangkat rantang tiga susun ke atas. "Kamu belum makan 'kan?""Ooh ….""Kenapa? Kamu kok kayaknya nggak seneng aku ke sini?" tanya Dara sambil berjalan mendekat ke meja kerja Arjuna. "Aku WA nggak dibaca,