Readers, aku mau ngucapin makasih sudah ikutin kisah Ratna sejauh ini. In syaa Allah, rezekinya akan dimudahkan selalu oleh Allah 😇
Wati membuka tirai agak ragu, takut menyelimuti dirinya. Mencoba mengingat saat dia mendapati korban kecelakaan itu sedang ditindak sama petugas kesehatan, yang kebetulan tadi hanya bagian kepala saja yang terlihat. Setelah dirasa kuat, Wati pun menyibak tirai itu.Anak umur belasan tahun terbujur kaku tak berdaya. Setengah tubuhnya ditutupi selimut. Dan, ketika Wati menyibak tirai, anak lelaki itupun menatap kosong ke arahnya. Wati kaget saat melihat wajah anak lelaki itu didominasi luka."Apa kamu salah satu korban tabrakan beruntun?" tanya Wati setelah berdiri di samping brangkar. Dia hanya mengangguk pelan."Keluarga kamu mana?" Wati bertanya karena tak seorang pun yang menemani anak lelaki itu. Dia kembali menggelengkan kepala."Saya memang belum tahu kronologi kecelakaannya seperti apa, tapi … apapun yang terjadi, saya dan anak saya akan bertanggung jawab penuh sama kamu," jelas Wati.Wati pun kembali ke meja informasi, ada yang ingin dia tanyakan pada perawat yang bertugas."Mba
"Kalau Devina sampai tahu gimana ya?""Pasti dia bakalan minta ketemu papanya. Apalagi weekend ini bakal batal."Tak selesai menonton video sampai akhirnya, Ratna menyerahkan kembali ponsel karyawannya itu.Seraya mengutak-atik laptop untuk memeriksa laporan yang tak kunjung usai, pikiran Ratna dihantui mobil Bram yang ringsek parah bagian depannya. Body mobil samping kiri dan kanan juga terbilang parah."Nggak … nggak … Devina jangan sampai tahu dulu. Aku nggak mau dia ikut kepikiran dan nggak fokus belajar padahal sebentar lagi akan ujian semester.""Aku harus menyembunyikan semuanya dari Devina.""Masa iya anakku mesti kepikiran dia terus.""Satu sisi aku iba, tapi sisi lain aku merasa senang. Tak kupungkiri ini sedikit banyak pasti karena dia sudah menyakiti aku dan Devina.""Kira-kira Mas Arjuna sudah tahu belum ya?""Ah, sudahlah, aku nggak mau terlibat terlalu jauh daripada membuat moodku berantakan," ucap Ratna dalam hati.Dia berusaha sekuat tenaga menepis semua yang terjadi
"Huuufff … kenapa dia datang ke kantor segala," umpat Arjuna setelah melihat sosok tersebut di rekaman CCTV.Arjuna mengira setelah dia dengan sengaja membiarkan tanpa membuka pesan serta mengabaikan panggilan masuk dari Dara bisa membuat dirinya selamat, tapi justru terjadi malah sebaliknya. Dara pantang mundur dan selalu punya cara.Tok … Tok … Tok …Dia pun kembali menaruh ponselnya di tempat semula. Urung untuk menghubungi seseorang. "Iya, masuk!" titah Arjuna kemudian. Dia seolah tak punya pilihan lain."Hai, Mas," sapa disertai seulas senyumnya yang menawan. Giginya yang putih bersih serta polesan lipstik berwarna nude cukup memberi warna lain di penglihatan."Ada apa?" "Nggak ngapa-ngapain, Mas. Lagi pengen nganterin makanan buat makan siang kamu aja, kok," sahut Dara seraya mengangkat rantang tiga susun ke atas. "Kamu belum makan 'kan?""Ooh ….""Kenapa? Kamu kok kayaknya nggak seneng aku ke sini?" tanya Dara sambil berjalan mendekat ke meja kerja Arjuna. "Aku WA nggak dibaca,
Dua kali Arjuna membunyikan klakson sebagai kode, tapi tak ada tanda-tanda pintu utama dibuka. Padahal di dalam rumah, Devina yang sedang menonton spontan mengerutkan keningnya, seolah peka dengan suara klakson itu."Ma, Nana kayak kenal sama bunyi klakson mobilnya. Itu bukannya di depan rumah kita, Ma. Nyaring banget kedengarannya," celetuk Devina yang engeuh dengan bunyi klakson.Ratna sebenarnya juga merasakan hal yang sama. Beberapa bulan terakhir waktunya cukup banyak dihabiskan dengan Arjuna. Dan, memang setiap kali lelaki cool itu mampir, dia selalu memberi kode dengan membunyikan klakson mobil."Nggak seperti biasanya ini."Arjuna pun memutuskan turun. Namun, saat ingin mendorong pagar yang berukuran kecil, rupanya sudah tergembok."Tumben jam segini Ratna sudah gembok pagar? Apa karena demi keamanan? Atau …."Tak ingin berlarut bertanya dalam hati. Arjuna pun menyeru nama janda satu anak itu.Arjuna pun merogoh ponsel dari saku celananya untuk menghubungi Ratna. Dia segan jik
Pagi Sabtu, Ratna dan Devina tampak sibuk di taman depan rumah. Devina menyiram bunga, sedangkan Ratna mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh. Meski tak diragukan lagi saldo yang tersimpan di rekeningnya. Meski tak sedikit keuntungan diraihnya karena menjadi investor terbesar, semua itu tak membuat Ratna angkuh dan sombong. Dia tidak gengsi sama sekali melakukan hal-hal yang kotor, seperti yang dia lakukan sekarang."Ma, baju untuk besok sudah mama siapin?" tanya Devina sembari menyirami bunga mawar putih kesukaan mamanya.Deg!!!Jantung Ratna bergetar hebat, seolah darah yang mengalir di tubuhnya juga berhenti sesaat."Belum. Nanti mama siapin ya. Agak siangan nggak papa 'kan?""Iya, Ma."Mereka pun kembali meneruskan pekerjaan masing-masing. Dan, tak lama keheningan yang tercipta di antara ibu dan anak ini berakhir dengan seruan seseorang di balik pagarnya."Ratna … Devina …." Mulut Wati menyeru nama mantan menantu dan cucunya, sedangkan matanya terbelalak sempurna menatap mobil y
Mobil yang dikemudi Ratna melaju stabil menuju rumah sakit. Dibalik gundahnya soal Bram, tapi ada kesenangan disela gundahnya itu."Mama baru tahu kalau kamu bisa bawa mobil. Selama ini kenapa kamu nggak pernah minjam mobilnya, Bram? Malah lebih suka naik angkot," celetuk Wati setelah setengah jam perjalanan. Tampaknya dia begitu kagum naik mobil baru. Meski, jauh beda kelas dengan mobil yang dipakai Bram.Ratna sempat menoleh ke kaca spion atas memastikan putri semata wayangnya, tampak Devina tengah tertidur pulas."Karena aku nggak punya mobil sendiri, Ma. Mobil yang di rumah kan punya anak mama. Ngasih nafkah ke aku aja pelit, mustahil kalau dia bakal minjemin. Aku rasa mama nggak lupa soal perlakuan anak mama dulu.""Rat … kamu masih dendam sama Bram?""Dendam sih enggak, ya, Ma. Tapi aku selalu ingat gimana dulu.""Berarti kamu juga masih ingat kalau mama dulu sering khilaf sama kamu?" tanya Wati dengan suara rendah."Ya jelas, Ma. Memory ku masih belum jelas aku ingat. Lagian ma
Devina sempat terdiam sejenak, apa yang terjadi di dalam kamar rawat inap beberapa menit lalu, seolah tereka ulang dalam benaknya, membuat Devina seperti orang ketakutan.Tanpa dia sadar, Devina menggenggam tangan Ratna dengan sangat kuat, hingga mamanya itu merasakan agak perih."Na ... Devina," panggil Ratna."Hah ... nggak, Ma. Pulang saja. Nana takut, apalagi pada marahan begitu," ucap Devina yang sekali menoleh ke arah kaca jendela."Nggak nunggu, Nenek?" tanya Ratna memastikan."Nggak, Ma. Takut, Nana. Rupanya nenek masih suka pemarah seperti dulu.""Jadi kita pulang aja?""Iya, Ma pulang aja." Ratna dan Devina pun kemudian berlalu dari depan kamar.Serang-menyerang yang belum usai, membuat keduanya tak sadar sama sekali jika Ratna dan Devina sudah tidak ada di ambang pintu."Bram, mama pulang. Buang energi kalau berdebat dengan manusia ular ini," ucap Wati. Namun, dia tersentak kaget ketika membalikkan tubuhnya."Mana Ratna sama Devina tanyanya pada Bram?""Tuh makanya, Ma. Kala
Arjuna menghubungi Ari untuk menggali informasi soal keadaan Bram melalui via telepon karena hari Sabtu aktivitas di kantor off. "Terbilang cukup parah, Pak. Kepalanya terbentur keras ke stir mobil. Kemarin di perban dan bakal di CT-scan." "Kok bisa? Airbag-nya nggak berfungsi?" "Nggak, Pak." "Itu saja lukanya?" "Di bagian wajah ada memar dua titik kalau nggak salah. Terus tangannya itu saja, Pak." "Berarti nggak terlalu parah ya?" "Ya ... semoga saja, Pak. Takutnya kan luka dalam yang parah." Arjuna pun mengakhiri panggilan telepon setelah informasi yang dia terima dirasa cukup. "Mas, sore ini kita jadi pergi?" Arjuna hanya membalas dengan sekali anggukan seraya bangkit dari sofa ruang tamu dan bertolak ke kamar. "Aku akan membuat kamu jatuh cinta, Mas. Dan, kupastikan perempuan yang mengisi hatimu itu akan memudar," ucap Dara dalam hati seraya memperhatikan Arjuna yang menaiki tangga. Santi sedang tidak berada di rumah karena sedang ada acara kumpul dengan teman lamanya.