Arjuna menghubungi Ari untuk menggali informasi soal keadaan Bram melalui via telepon karena hari Sabtu aktivitas di kantor off. "Terbilang cukup parah, Pak. Kepalanya terbentur keras ke stir mobil. Kemarin di perban dan bakal di CT-scan." "Kok bisa? Airbag-nya nggak berfungsi?" "Nggak, Pak." "Itu saja lukanya?" "Di bagian wajah ada memar dua titik kalau nggak salah. Terus tangannya itu saja, Pak." "Berarti nggak terlalu parah ya?" "Ya ... semoga saja, Pak. Takutnya kan luka dalam yang parah." Arjuna pun mengakhiri panggilan telepon setelah informasi yang dia terima dirasa cukup. "Mas, sore ini kita jadi pergi?" Arjuna hanya membalas dengan sekali anggukan seraya bangkit dari sofa ruang tamu dan bertolak ke kamar. "Aku akan membuat kamu jatuh cinta, Mas. Dan, kupastikan perempuan yang mengisi hatimu itu akan memudar," ucap Dara dalam hati seraya memperhatikan Arjuna yang menaiki tangga. Santi sedang tidak berada di rumah karena sedang ada acara kumpul dengan teman lamanya.
Arjuna sempat melihat sekilas ke atas, Devina's Bakery. "Kok ini sama kayak namanya anak Ratna. Apa ini toko bakery yang dimaksud Ratna kala itu?" "Mas, kok diam aja. Ayuk masuk!" ajak Dara yang sudah berdiri di pintu masuk yang terbuat dari kaca. "Ish ... malah nggak denger," keluh Dara. Dia pun mendekat dan memukul pangkal lengan Arjuna. "Lamunin apa sih kamu? Liat nama tokonya sampe segitunya. Kenal kah?" tuduh Dara." "Toko lain aja gimana? Ini kan toko baru nanti malah kecewa sama rasanya. Aku ada toko bakery langganan. Ke sana saja!" ajak Arjuna. Lelaki cool ini lebih memilih mendengarkan kata-kata hatinya. "Enggak ah, Mas. Udah sampe sini juga. Masa iya nggak jadi masuk." Dara melanjutkan langkah. Melihat beberapa bakery yang terpajang di beberapa etalase. Selain bakery, di sini juga tersedia minuma dingin, dessert, dan kue basah. "Mau cari bakery seperti apa Mbak?" sapa Ratna ramah. Dara pun menoleh, menatap Ratna dengan penuh seksama dari ujung kaki sampai kepala. "Dia m
"Tunggu ya, Mbak. Saya minta pilih sama calon saya saja," ucap Dara sigap setelah memanggil Arjuna. "Tuh, dia udah masuk!" kode Dara dengan melirikan matanya ke arah pintu masuk."Oh, oke, Mbak," jawab Ratna berusaha ramah. Tak dipungkiri, ada hawa panas yang terasa di relung sanubarinya. Melihat Arjuna dengan gagahnya melangkah menghampiri perempuan cantik dengan pakaian membentuk tubuhnya yang indah. Tinggi semampai yang dimiliki Dara, membuat dirinya terlihat mahal."Jadi benar, toko ini punya Ratna? Bodoh sekali aku nggak pernah tahu. Jadi begini 'kan," ungkap Arjuna kesal meski hanya terucap dalam hatinya.Rasa sesal menyelimuti Arjuna, andai dia bisa memutar waktu, pasti hari ini tidak akan pernah terjadi. Andai tadi dia bersikeras untuk pergi, tapi …"Sini, Mas!" panggil Dara lagi. Terlihat begitu semangat Dara memanggil Arjuna. Lambaian tangannya yang agak melentik cukup menggelikan di pandangan.Meski jantungnya bergedup tak beraturan, Arjuna melangkah yakin, dengan tegap dan
Terasa lama mamanya tak kunjung kembali, membuat Devina bertanya-tanya dalam hati. "Mama mana ya? Kok nggak datang-datang. Apa mama kelupaan kali ya ada aku di atas? Apa aku cari mama aja, ya? Devina memutuskan menghentikan aktivitas di tablet-nya. Dan, keluar dari ruangan. "Tan ... lihat mama Nana nggak?" tanyanya pada salah seorang karyawan yang kebetulan berpapasan dengan Devina setelah menutup pintu ruangan. "Mama Devina di bawah, mau tante panggilin?' tawar perempuan muda itu dengan ramah. "Nggak usah, Tan. Biar Nana aja yang turun, terima kasih banyak ya, Tan." Devina pun pamit karena tidak ingin merepotkan karyawan mamanya itu. Tangan kanannya memeluk tablet sedangkan tangan kirinya memegang kayu pegangan tangga. "Saat di acara penting, Mbak," jawab Ratna sekenanya. Baginya Dara tidak perlu tahu cerita detail awal pertemuannya dengan Arjuna. Sekalipun ingin tahu, jelas lebih baik dia bertanya pada Arjuna bukan pada Ratna. Kening Dara terlihat mengkerut, rasa penasarannya
Saat menyisir pandangan mencari Devina, tiba-tiba ponsel Arjuna berbunyi. "Halo. Ya, Mi. Ada apa?" tanyanya seraya berjalan keluar toko."Kamu dimana? Jadi pergi sama Dara 'kan?""Jadi, Mi," sahut Arjuna tak ada semangat"Oke, bagus. Kamu jangan sampai bikin malu keluarga, Ar. Ingat! Keluarga kita banyak hutang budi sama keluarganya Dara.""Huufft … pembahasan itu lagi," keluh Arjuna yang hanya bisa terutarakan dalam hati."Ar … kamu masih di sana 'kan? Kamu dengar mami 'kan?""Iya. Aku dengar. Emangnya nggak ada hal lain yang dibahas, Mi. Bahasannya itu-itu aja.""Iya, mami sengaja. Biar kamu ingat, jodoh kamu itu Dara. Bukan perempuan yang kamu bilang sudah mengisi hatimu itu."Telepon pun berakhir bersamaan dengan keributan di dalam toko yang terdengar sama di luar. "Ada apa ribut-ribut di dalam?" Arjuna menyimpan ponselnya di saku celana dan bergegas masuk ke dalam toko.Tingginya yang melampaui batas serta kerumunan yang mulai berkurang sosoknya tampak jelas terlihat oleh Dara me
"Au …," pekik Dara karena kepalanya terbentur ke dashboard saat Arjuna menginjak rem secara mendadak. Kelupaan memakai sabuk pengaman membuat Dara tak bisa mengendalikan tubuhnya."Bisa nggak kamu berhenti ngocehnya! Berisik tahu nggak." Suara Arjuna yang terdengar lantang, membuat Dara tersentak takut."Sorry, Mas," sahutnya pelan. "Tapi jangan ngebentak gitu juga kali ngomongnya. Aku kayak orang asing kalau udaj sama kamu," protes Dara.Mobil kembali melaju pelan. Arjuna diam seribu bahasa, begitupun Dara. Meski ocehannya tidak ditanggapi, setidaknya ada kelegaan yang dia rasakan."Ada untungnya kamu nge-rem mendadak, Mas. Kalau enggak, pasti semuanya akan hancur berantakan," syukur Dara dalam hati.Mobil melaju tenang, dan …"Mas, ini bukannya arah pulang ke rumah kamu, ya?" tanya Dara. Meski dia baru beberapa hari di rumah Arjuna, tapi karena sering berpergian dengan Santi, sedikit banyaknya dia mulai hafal dari beberapa arah menuju rumah Arjuna."Iya, aku capek," balas Arjuna kesa
"Oh itu … Tante itu temen deketnya Oom Ganteng.""Nana sudah kenyang? Atau mau tambah lagi? Kalau iya, biar mama ambil ke bawah." Ratna mencoba mengalihkan pembicaraan. Semakin Devina menanyakan lebih dalam, rasanya semakin ngilu yang terasa. Kecewanya yang dirasakan Ratna bukan dirinya. Dia lebih fokus ke Devina.Membicarakan Arjuna dan calonnya itu jelas membuat Ratna tidak nyaman."Nggak, Ma. Nana udah kenyang kok.""Ooo … teman dekat. Pantes sekarang Oom Ganteng jarang ke rumah ya, Ma?" Bukannya mengakhiri topik, Devina malah mempertanyakan hal yang lebih menjurus."Sepertinya aku harus jelasin semua yang terjadi. Biar Devina nggak heran apalagi berharap lebih akan sosok yang bikin dia nyaman belakangan ini.""Hmm … bukan begitu juga sih, Na."Ratna mengubah posisi duduknya, dan menggeser kursi Devina, kini mereka duduk saling berhadapan satu sama lain."Kenapa, Ma?" tanya Devina sedikit heran."Ada sesuatu yang mau mama jelasin sama Devina.""Apa itu, Ma?" Devina terlihat penasara
Jari Arjuna berhenti menggulirkan foto dalam galeri ponselnya, kala melihat foto kenangan bersama Devina dan Ratna saat ke Bandung. Ziarah sekaligus liburan singkat itu jelas sangat berarti bagi Arjuna."Andai aku bisa mengulang kejadian di foto ini lagi," ucap Arjuna penuh harap. Potret itu paling berkesan bagi Arjuna, kala Devina berhasil mengabadikan kejahilannya menyenggol Ratna yang kehilangan keseimbangan. Hampir terjatuh, tetapi Arjuna mampu menopang tubuh Ratna. Tatapan keduanya yang hangat, semakin menyilaukan dunia. Ya … kala itu."Untuk kedua kalinya, aku gagal mengutarakan rasa sama kamu, Rat."***Dua belas tahun yang lalu …Masih ingat dan lekat diingatkan Arjuna. Dia pernah merasakan apa yang sedang dirasakan Bram sekarang. Mengalami kecelakaan tragis. Hujan begitu deras mengguyur malam itu. Penurunan yang begitu terjal membuat Arjuna tidak bisa mengendalikan mobilnya. Hanya bermodalkan lampu jalan, karena lampu mobilnya dipecahin oleh segerombolan orang yang tiba-tiba m