Saat menyisir pandangan mencari Devina, tiba-tiba ponsel Arjuna berbunyi. "Halo. Ya, Mi. Ada apa?" tanyanya seraya berjalan keluar toko."Kamu dimana? Jadi pergi sama Dara 'kan?""Jadi, Mi," sahut Arjuna tak ada semangat"Oke, bagus. Kamu jangan sampai bikin malu keluarga, Ar. Ingat! Keluarga kita banyak hutang budi sama keluarganya Dara.""Huufft … pembahasan itu lagi," keluh Arjuna yang hanya bisa terutarakan dalam hati."Ar … kamu masih di sana 'kan? Kamu dengar mami 'kan?""Iya. Aku dengar. Emangnya nggak ada hal lain yang dibahas, Mi. Bahasannya itu-itu aja.""Iya, mami sengaja. Biar kamu ingat, jodoh kamu itu Dara. Bukan perempuan yang kamu bilang sudah mengisi hatimu itu."Telepon pun berakhir bersamaan dengan keributan di dalam toko yang terdengar sama di luar. "Ada apa ribut-ribut di dalam?" Arjuna menyimpan ponselnya di saku celana dan bergegas masuk ke dalam toko.Tingginya yang melampaui batas serta kerumunan yang mulai berkurang sosoknya tampak jelas terlihat oleh Dara me
"Au …," pekik Dara karena kepalanya terbentur ke dashboard saat Arjuna menginjak rem secara mendadak. Kelupaan memakai sabuk pengaman membuat Dara tak bisa mengendalikan tubuhnya."Bisa nggak kamu berhenti ngocehnya! Berisik tahu nggak." Suara Arjuna yang terdengar lantang, membuat Dara tersentak takut."Sorry, Mas," sahutnya pelan. "Tapi jangan ngebentak gitu juga kali ngomongnya. Aku kayak orang asing kalau udaj sama kamu," protes Dara.Mobil kembali melaju pelan. Arjuna diam seribu bahasa, begitupun Dara. Meski ocehannya tidak ditanggapi, setidaknya ada kelegaan yang dia rasakan."Ada untungnya kamu nge-rem mendadak, Mas. Kalau enggak, pasti semuanya akan hancur berantakan," syukur Dara dalam hati.Mobil melaju tenang, dan …"Mas, ini bukannya arah pulang ke rumah kamu, ya?" tanya Dara. Meski dia baru beberapa hari di rumah Arjuna, tapi karena sering berpergian dengan Santi, sedikit banyaknya dia mulai hafal dari beberapa arah menuju rumah Arjuna."Iya, aku capek," balas Arjuna kesa
"Oh itu … Tante itu temen deketnya Oom Ganteng.""Nana sudah kenyang? Atau mau tambah lagi? Kalau iya, biar mama ambil ke bawah." Ratna mencoba mengalihkan pembicaraan. Semakin Devina menanyakan lebih dalam, rasanya semakin ngilu yang terasa. Kecewanya yang dirasakan Ratna bukan dirinya. Dia lebih fokus ke Devina.Membicarakan Arjuna dan calonnya itu jelas membuat Ratna tidak nyaman."Nggak, Ma. Nana udah kenyang kok.""Ooo … teman dekat. Pantes sekarang Oom Ganteng jarang ke rumah ya, Ma?" Bukannya mengakhiri topik, Devina malah mempertanyakan hal yang lebih menjurus."Sepertinya aku harus jelasin semua yang terjadi. Biar Devina nggak heran apalagi berharap lebih akan sosok yang bikin dia nyaman belakangan ini.""Hmm … bukan begitu juga sih, Na."Ratna mengubah posisi duduknya, dan menggeser kursi Devina, kini mereka duduk saling berhadapan satu sama lain."Kenapa, Ma?" tanya Devina sedikit heran."Ada sesuatu yang mau mama jelasin sama Devina.""Apa itu, Ma?" Devina terlihat penasara
Jari Arjuna berhenti menggulirkan foto dalam galeri ponselnya, kala melihat foto kenangan bersama Devina dan Ratna saat ke Bandung. Ziarah sekaligus liburan singkat itu jelas sangat berarti bagi Arjuna."Andai aku bisa mengulang kejadian di foto ini lagi," ucap Arjuna penuh harap. Potret itu paling berkesan bagi Arjuna, kala Devina berhasil mengabadikan kejahilannya menyenggol Ratna yang kehilangan keseimbangan. Hampir terjatuh, tetapi Arjuna mampu menopang tubuh Ratna. Tatapan keduanya yang hangat, semakin menyilaukan dunia. Ya … kala itu."Untuk kedua kalinya, aku gagal mengutarakan rasa sama kamu, Rat."***Dua belas tahun yang lalu …Masih ingat dan lekat diingatkan Arjuna. Dia pernah merasakan apa yang sedang dirasakan Bram sekarang. Mengalami kecelakaan tragis. Hujan begitu deras mengguyur malam itu. Penurunan yang begitu terjal membuat Arjuna tidak bisa mengendalikan mobilnya. Hanya bermodalkan lampu jalan, karena lampu mobilnya dipecahin oleh segerombolan orang yang tiba-tiba m
Sepulangnya Santi dari berkumpul dengan teman sosialitanya yang stay di Jakarta, Dara menceritakan semua yang terjadi selama dia pergi dengan Arjuna tadi. Santi tersulut emosi mendengarnya.Saking tidak bisa mengendalikan emosi, dirinya yang belum sempat bersih-bersih diri itu langsung menuju lantai dua dan mengetuk pintu kamar Arjuna."Dara sudah cerita sama mami semuanya. Kamu itu perjaka, masa sukanya sama Janda. Mau ditaruh dimana harkat dan martabat keluarga kita?"Arjuna sangat terkejut kenapa maminya tahu jika orang yang mengisi hatinya itu seorang Janda."Dari mana mami tahu?""Kamu nggak perlu tahu mami tahu dari mana. Yang jelas, kalau kamu mau tetap mami sehat sampai kamu menikah, jangan berbuat hal konyol."Arjuna mengusap wajahnya gusar."Kamu itu aneh. Jelas-jelas ada Dara. Dia kaya, cantik, dan pintar. Keluarganya terpandang kaya raya. Masa kamu malah milih perempuan bekas orang sih. Miskin pasti itu. Mantan suaminya aja buang dia, masa kamu mungutin kayak sampah."Arju
Dalam perjalanan ke kantor, ada rasa ingin tahu Dara soal Arjuna lebih dalam. Feeling-nya mengatakan hal lain."Pak Kobir, kalau boleh tahu bapak ikut Mas Arjuna sudah berapa lama?" tanya Dara membuka percakapan."Belum lama sih, Neng.""Suka antar Mas Arjuna juga kah?""Hmm ... jarang sih Neng. Soalnya Bapak itu tipikal mandiri. Kenapa, Neng?""Oh nggak, aku cuma nanya aja, Pak.""Duh, gimana aku nanyanya, masa iya aku nanya, bapak pernah supirin Mas Arjuna pas dia berduaan sama perempuan dan anak kecil nggak? Masa iya aku nanya gitu," keluh Dara dalam hati.Dia tampak bingung dan kehilangan kata-kata supaya Bapak Kobir tidak menaruh curiga atau fatalnya bisa menyampaikan hal yang dia tanyakan pada Arjuna."Pak, abis ngantar saya, Bapak langsung balik pulang aja, ya!" pinta Dara.Dara mencoba mencari akal, mengalihkan gundahnya."Kenapa begitu, Neng? Kata Bapak Arjuna bapak disuruh tunggu sampai Neng selesai kerja.""Hmm … nih, Pak. Barusan Mas Arjuna yang bilang kalau aku disuruh bar
Merasa tidak percaya, Ratna meminta ponsel yang ada dalam genggaman Rara. Maraknya penipuan, membuat dirinya tidak langsung percaya begitu saja."Boleh saya lihat chatnya?" pinta Ratna.Dengan sigap, Rara pun memberikan ponsel dalam genggamannya pada bosnya itu. "Ini, Bu.""Duh, gimana kalau benar itu penipu, aku bisa malu sama Bu Ratna karena sudah terlalu semangat," gundah Rara dalam batinnya.Ratna pun membaca pesan yang masuk itu dari awal dengan seksama.[Hai, ini saya Arjuna.]Deg!!!Baru pesan awal saja, jantung Ratna sudah berdetak tidak karuan. Dia tampak berusaha menghilangkan bahasa tubuh yang bisa memancing curiga karyawannya itu "Apa ini Mas Arjuna? Ah, buat apa sama dia mesan 500 box?" Pertanyaan yang muncul hanya tersebut dalam hatinya saja. Untuk memastikan Arjuna yang mengirim pesan itu, Ratna pun mengambil ponselnya ke ruangan, dia baru sadar tidak membawa ponselnya saat turun ke lantai satu tadi.."Sebentar, saya ke ruangan dulu. Ponselnya saya bawa," Rara hanya men
Dara yang berdiri di balik pintu masuk, kembali masuk ke dalam ruangan Arjuna. Arjuna yang hendak menghubungi Ratna, pun mengurungkan niatnya seraya berdecak kesal melihat Dara berjalan ke meja kerjanya."Siapa perempuan yang nelpon kamu tadi, Mas?" tanya Dara tanpa basa-basi."Oh … itu yang punya toko bakery." Arjuna berusaha santai menjawab, agar Dara tidak curiga. "Kenapa harus dia?" tanya Dara lagi, emosi yang bergelayut di hatinya membuat dia kehilangan kontrol diri."Maksudnya? Dia gimana?"Deg!!!Arjuna pun bangkit dari duduknya, kemudian menghampiri Dara yang tampak salah tingkah."Oh, nggak. Maksud aku, apa pesannya di toko bakery yang kita beli kemarin?""Iya, enak 'kan. Sudah, jangan mikir kejauhan, aku cuma bantu temen." Arjuna berusaha berkilah, demi menutupi kebenaran."Oke, asalkan jangan dipupuk 'temennya' itu," sahut Dara. Menyindir adalah pilihan yang tepat saat ini.Arjuna tak merespon lagi, dia hanya menaikkan kedua alisnya, lalu menghela napas."Nanti, aku akan m