Rentetan pesan yang tampil ditampilan depan hanya direspon Ratna dalam hatinya saja. Hati yang senada dengan jarinya belum siap merespon pesan dari Arjuna. *** Mentari yang malu-malu memancarkan sinarnya cukup menggantikan kesenduan hati Ratna malam tadi. Seperti biasa pagi hari Ratna yang sudah sibukkan dengan rutinitas mempersiapkan sarapan dan keperluan Devina. Namun, ada hal yang beda membuat Devina bertanya. "Mama cantik banget pagi ini," puji Devina sembari menyeruput susu segelas susu hangat, Ratna tampak tersenyum malu menata anak semata wayangnya itu. "Hmm ... berarti kemarin-kemarin mama nggak cantik dong," ucap Ratna kok pura-pura merajuk. "Cantik kok. Tapi beda sama yang sekarang." "Oh iya, mama lupa kasih tahu kamu. Kalau mulai hari ini mama akan mengelola toko bakery kita, makanya mama agak rapi." "Mama kerja? Bakalan sibuk dong?" Nada bicara Devina terdengar agak lain dari yang sebelumnya. "Nggak kok, Na. Devina tetap prioritas mama. Mama di toko mengisi sela k
Ratna menyentak kasar tangannya, membuat pegangan tangan Laura terlepas."Kamu urus saja sendiri. Saya tidak mau tahu sama urusan kamu. Mau kamu hamil anak Mas Bram ataupun lagi nyusun skenario buat ngejebak dia. Kamu atur saja sendiri.""Aku rasa kamu nggak lupa gimana cara merebut Mas Bram dulu."Ratna berlalu masuk tak lupa dia kembali menggembok pagarnya supaya Laura tidak ada akses masuk."Mbak … Mbak Ratna … please bantu aku, Mbak. Aku mohon. Aku yakin kalau lewat, Mbak. Mas Bram akan mau mendengar semua yang aku ucapkan. Mbak … Mbak Ratna."Laura terus berteriak di depan pagar tapi Ratna berusaha untuk tidak mengacuhkan perempuan jalang itu. Beberapa pasang mata sudah memperhatikan dengan heran, tapi mereka tak ingin ikut campur.Berharap Laura hengkang dari rumahnya, yang terjadi malah sebaliknya. Belum ada setengah jam Ratna di dalam rumah tiba-tiba Laura menyisir pandangan sekitar yang tampak mulai lengang.Laura dengan lincahnya melompati pagar rumah Ratna. Entah apa yang m
Ratna tersentak kaget melihat lelaki yang dia hindari berada di depan rumahnya. Berpakaian rapi seperti biasanya. Langkah Ratna terhenti, kala Arjuna berucap tanpa basa-basi."Oom Ganteng, oom kemana saja? Kok tidak pernah ngajakin Nana main lagi," celetuk Devina yang juga ikut kaget dengan kehadiran Arjuna."Maaf ya, Devina. Oom agak sibuk di kantor. Tapi sekarang Oom bisa kok nganterin kamu ke sekolah.""Makasih tawarannya, Mas. Tapi aku sudah memesan taksi," sahut Ratna cepat."Yah, mama. Kok kita tidak dianter Oom Ganteng aja," protes Devina.""Devina ….," panggil Ratna. Nada suara Ratna yang agak beda membuat Devina tak ingin protes lagi."Kan bisa di cancel, Rat?""Jangan mematikan rezeki orang demi kepentingan kamu pribadi, Mas!"Serrr …Arjuna bagai tersambar petir. Jantung Arjuna seketika berdesir hebat, disindir Ratna tanpa filter."Bukan begitu, karena aku ingin menjelaskan sesuatu sama kamu. Pasti Bram sudah memberi tahu ….""Aku rasa kamu cukup bijaksana untuk tidak berb
"Baik, aku bisa membuktikan semuanya," sahut Laura lantang. Apa dia memang sedang mengandung anak Bram? Dan, aksi nekad dia melompati pagar rumah Ratna bentuk perubahan hormon karena mengandung? Entahlah …*Bram mencoba menyusul Ratna yang sudah masuk ke dalam toko bakery, akan tetapi dicegat Wati."Jangan dikejar, Bram. Mama rasa kamu cukup tahu bagaimana karakter Ratna. Sekarang, jangan pake emosi, apa-apa harus serba tuntas. 'Kan sudah berapa kali mama bilang, kamu nggak pernah mendengarkan, malah jadi melebar kemana-mana.""Aku nggak mau Ratna menjauh lagi, Ma. Ini kesempatan emas, apalagi calon Arjuna itu bisa aku jadikan tameng. Malah si bengek kerdil datang menghancurkan semuanya. Aku takut nggak ada kesempatan kedua kali merebut hati Ratna, Ma.""Iya, Mama tahu dan sudah paham, Bram. Sekarang, yang perlu kamu tuntaskan adalah bagaimana menjinakkan perempuan ular itu.""Menjinakkan gimana maksud, Mama?" tanya Bram menatap heran pada perempuan mengenalkan tunic hitam dengan sul
Bram tampak keberatan, sampai-sampai dia melempar testpack yang sempat dia pegang ke meja sang dokter. Membuat dokter dan Laura kaget bukan main. Tanpa bersalah Bram langsung bangkit dari duduknya."Mas, tolong jaga sikap kamu," ucap Laura seraya berbisik dengan melirik ke arah dr. Jelita yang geleng-geleng melihat tingkah Bram yang tidak sopan itu."Aku nggak yakin di dalam kandunganmu itu darah dagingku. Bisa saja darah daging laki-laki lain 'kan?"Mendengar tuduhan sekaligus direndahkan di depan orang lain jelas Laura tidak terima diperlakukan seperti itu. Hingga dia kehilangan sabar dan akhirnya menjadi perdebatan."Kamu pikir aku perempuan apa, Mas? Lancang sekali kamu menuduhku.""Kalau lagi hamil gini bisa di test DNA nggak, Dok?" tanya Bram tiba-tiba.Dr. Jelita menarik ujung bibirnya seraya berkata, "bisa, Pak. Sekarang sudah bisa, tapi tunggu sampai kandungan berusia 10-12 minggu."Mendengar penjelasan itu, ada kelegaan sedikit yang terasa di hati Bram. "Oke, saya akan bawa
Para warga yang berada di lokasi berbagi tugas menyelamatkan para korban tabrakan beruntun itu. Tak selang berapa lama, datanglah dua mobil ambulance.Rasa peduli warga sekitar dan pengguna jalan yang tinggi membuat korban dapat ditindak secara cepat oleh petugas medis.***Wati yang sedang duduk di ruang keluarga seraya menonton televisi dikagetkan oleh dering bunyi ponselnya.Tampak beberapa garis membentuk jelas di keningnya menatap nama yang terpampang dalam panggilan itu. Wati sedikit heran kenapa anaknya menelepon."Kenapa dia nelpon?" pikir Wati dalam hati. Padahal, anaknya itu belum lama meninggalkan rumah."Ada apa, Bram?" tanya Wati setelah telepon tersambung."Halo, Bu. Saya ingin memberi tahu kalau anak ibu kecelakaan.""Kecelakaan? Dimana?" Napas Wati seketika memburu hebat, dia shock mendengar penjelasan seorang lelaki di seberang sana."Di Fatmawati, tapi sekarang sudah dilarikan ke rumah sakit terdekat," ucap lelaki itu. Dan, tak lama sambungan telepon terputus begitu s
"Kecelakaan gara-gara aku gimana, Ma?""Nggak usah pura-pura nggak tahu kamu.""Mas Bram dirawat di mana?""Buat apa kamu ke sini, dasar pembawa sial!""Aku ingin tahu gimana kondisi Mas Bram, Ma.""Jangan harap. Saya nggak akan ngasih tahu dimana Bram dirawat. Bukannya semnuh malah makin parah."Wati mencecar habis-habisan, baginya Laura penyebab utama Bram kecelakaan. Padahal …"Ma, aku tahu kalau mama nggak suka sama aku sejak tahu Mbak Ratna orang kaya, tapi mama harus ingat, aku sedang mengandung cucu mama.""Masa bodoh saya sama anak yang kamu kandung. Saya kurang yakin kalau benih di rahim kamu itu benihnya Bram.""Ma, aku memang pernah menjadi perempuan buruk, tapi …."Tut … Tut … Tut …Sambungan telepon terputus. Telinga Wati seakan panas mendengar ocehan mantan menantunya itu."Kalau dia dekat-dekat Bram selalu ketiban sial. Kenapa kamu harus ketemunya sama manusia ular ini sih, Bram? Coba dulu kamu nggak begini, pasti kamu nggak perlu cerai dari Ratna juga." Wati mengumpat s
Wati membuka tirai agak ragu, takut menyelimuti dirinya. Mencoba mengingat saat dia mendapati korban kecelakaan itu sedang ditindak sama petugas kesehatan, yang kebetulan tadi hanya bagian kepala saja yang terlihat. Setelah dirasa kuat, Wati pun menyibak tirai itu.Anak umur belasan tahun terbujur kaku tak berdaya. Setengah tubuhnya ditutupi selimut. Dan, ketika Wati menyibak tirai, anak lelaki itupun menatap kosong ke arahnya. Wati kaget saat melihat wajah anak lelaki itu didominasi luka."Apa kamu salah satu korban tabrakan beruntun?" tanya Wati setelah berdiri di samping brangkar. Dia hanya mengangguk pelan."Keluarga kamu mana?" Wati bertanya karena tak seorang pun yang menemani anak lelaki itu. Dia kembali menggelengkan kepala."Saya memang belum tahu kronologi kecelakaannya seperti apa, tapi … apapun yang terjadi, saya dan anak saya akan bertanggung jawab penuh sama kamu," jelas Wati.Wati pun kembali ke meja informasi, ada yang ingin dia tanyakan pada perawat yang bertugas."Mba