Aku, Kalea, benar-benar tak menyangka situasi akan berbalik seperti ini. Ketika ibu mertuaku tiba-tiba datang ke rumah dan mengusirku tanpa basa-basi, aku merasa takut dan bingung. "Kemasi barang-barangmu dan cepat pergi dari sini, atau aku seret kau ke rumah orang tuamu!" begitulah kata ibu mertuaku yang membuatku tercekat. Aku merasa seolah-olah dunia ini runtuh, "Apa yang telah kulakukan? Apakah aku melakukan kesalahan besar hingga membuatnya sangat marah? Kenapa Ibu mertuaku tiba-tiba ke sini dan mengusirku? Apa Mas Raka saat itu tidak mengatakan sesuatu kepadanya?" batinku mulai berkecamuk di pikiranku.Aku bergegas mengemasi pakaian dan barang-barang berhargaku, seraya merenung, nasibku bakalan jadi apa setelah aku pergi dari rumah ini.Setelah mengemasi barang-barangku, aku menuju ruang tamu dengan menenteng tas besar berisi pakaianku. Ibu mertuaku masih dengan tatapan marah dan nyalang, ia lantas mengusir diriku,"Pergi kamu dari sini!" Aku tersentak dengan ucapannya saat
Aku, Rania, terkejut mendengar apa yang baru saja diungkapkan Kalea. Tidak pernah terbayang sebelumnya bahwa Kalea, sahabatku ini, kini harus merasakan pahitnya ditinggalkan oleh Mas Raka.Aku tak bisa berbuat banyak, hanya menatap wajah Kalea yang menangis tersedu-sedu di hadapanku, mencoba menjadi tempat bersandar di saat dia menunjukkan sisi lemahnya yang jarang terlihat selama ini."Dia yang membuatmu menangis begini, Kalea, tidak pantas mendapat perhatianmu lagi, sebaiknya lupakan laki-laki seperti Mas Raka. Sudah pernah aku katakan kepadamu, jika dia hanya sebuah benalu dalam kehidupan pasangannya," kataku pelan, berusaha menenangkan hatinya yang saat itu terluka.Kalea tersenyum miris, mengepalkan jari-jari tangannya hingga menghentakkan ke dadanya, seakan mencoba meluapkan rasa sakit dan penyesalan di dalam hatinya. "Tahu, nggak, Ra? Aku merasa ini semua adalah karma yang harus aku jalani, karena pernah menghancurkan kebahagiaanmu dulu." Sejenak, kukenang kembali masa lalu y
Aku, Kalea saat ini aku sedang bingung menentukan arah tujuanku. Sebenarnya, aku berharap Rania akan memberikanmu tumpangan di rumahnya beberapa hari.Namun, sepertinya dia memang keberatan untuk itu, hingga dia terang-terangan mengatakan itu kepadaku.Aku tidak menyalahkan dirinya, mungkin saja dia melakukan itu karena dia takut kejadian dulu terulang kembali.Orang yang sudah pernah melakukan keburukan pastinya cap buruk itu aja melekat di diri kita yang pernah melakukan keburukan."Aku harus kemana lagi sekarang? Jalanku seolah buntu dan tak tau arah tujuanku," gumamku dalam hati.Tak lama kemudian, aku terkejut saat melihat kehadiran Mas Arif yang tiba-tiba muncul di hadapanku."Kalea...," sapa Mas Arif saat kami tanpa sengaja bertemu di jalan.Jantungku berdegup kencang, tak menyangka akan bertemu dengannya di momen seperti ini."Mas Arif, kamu...?" tanyaku dengan wajah terkejut, menunjuk ke arahnya."Kamu mau kemana?" tanya Mas Arif, menatap diriku yang sedang menenteng tas besa
Aku, Kalea, terperanjat saat mendengar apa yang dikatakan oleh Mas Arif kepadaku. "Bagaimana mungkin aku bisa tinggal dengan dirinya dalam satu atap? Bagaimana jika nanti aku kena gebrek saat ada orang jahil yang tiba-tiba melaporkan kami ada di dalam satu kontrakan tanpa adanya ikatan pernikahan," gumamku dalam hati.Aku pun menolak dirinya yang akan mengajak diriku tinggal satu kontrakan dengan dirinya."Tidak, aku tidak mau tinggal satu atap dengan dirimu, Mas. Aku takut jika nanti ada sesuatu hal yang malah membuat situasi semakin buruk, biarkan aku mencari kontrakan saja," tegas ku meluapkan kekhawatiran dalam hati."Ini sudah malam, kamu mau mencari kontrakan di mana? Lagipula aku tidak akan berbuat macam-macam kepadamu," bujuk Mas Arif mencoba untuk meyakinkanku agar menerima tawarannya. Aku benar-benar sangat bingung dan bimbang. Ada rasa was-was yang mengganjal di hati, membuatku takut untuk mengambil keputusan itu.Namun, di sisi lain, aku juga merasa tidak punya pilihan l
Aku, Kalea, merasa diinterogasi oleh Mas Arif dengan pertanyaannya yang semakin membuatku jengkel. Kenapa dia seolah ingin tahu segalanya tentang kehidupan rumah tanggaku bersama Mas Raka? Mungkinkah Mas Arif punya niat lain di balik pertanyaannya? Rasa curiga dan tak nyaman muncul di dalam hatiku. Aku terus mencoba menarik diri dan tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut."Maaf Mas, itu semua bukan urusanmu!" ucapku sedikit emosional, lalu melanjutkan, "Sebaiknya aku istirahat. Besok pagi aku akan segera pergi dari kontrakanmu." Perasaan lega datang seketika setelah aku beranjak dari kursi. Namun, saat aku berjalan menuju kamarku, tanpa sadar, Mas Arif mengikutiku dari belakang.Tak lama kemudian, dia dengan cepat menerobos masuk ke kamarku dan mengunci pintu dari dalam. Seketika itu, aku terkejut merasa tubuhnya yang tiba-tiba memelukku erat di belakangku. "Apa ini?" gumamku dalam hati, merasa bingung dan ketakutan. Aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan, apakah Mas Ar
POV Rania Suasana malam itu begitu hening, seolah dunia menjadi milikku dan Mas Attala seorang. Kami memutar-mutar kendaraan, larut dalam kenikmatan menjelajahi jalan-jalan yang nyaman dan sunyi."Ah, betapa menyenangkan malam ini, menikmati malam berdua dengan Mas Attala, seperti kali pertama pacaran setelah menikah dengan dirinya," bisik hatiku dengan perasaan bahagia. Aku seperti tidak ingin waktu berhenti, ingin terus mengejar malam bersama suamiku. Tak lama kemudian, kami melintasi sebuah jalan yang saat itu sedikit sepi dan di seberang jalan, kami melihat ada lesehan di pinggiran jalan.Mas Attala yang melihat ada lesehan di seberang, memutuskan untuk berputar arah menuju ke arah lesehan tersebut.Perutku mulai meronta-ronta minta diisi, dan pikiranku langsung teringat akan penyetan ayam yang lezat yang ada di sana. Kuputuskan untuk berhenti di lesehan itu, karena kami ingin menikmati makanan yang ada di sana bersama Mas Attala. "Kita makan di sini saja, Sayang. Sudah larut
Aku, Rania, benar-benar masih tidak menyangka dengan apa yang aku lihat saat itu, Kalea diarak menuju ke arah balai desa yang tak jauh dari sini.Aku pun meminta Mas Attala untuk menemani diriku mengikuti mereka. "Mas, kita ke sana sekarang! Aku ingin membantu Kalea," rengekku dengan mengguncangkan lengannya, hati-hati agar tidak terlalu keras. Mas Attala tampak santai, seolah tidak memperdulikan perasaanku. Dia hanya tersenyum dan berkata, "Aku akan mengantarmu ke sana, asal kamu makan terlebih dahulu!" sambil santai menyantap makanannya. Aku pun menggerutu karena Mas Attala bisa sesantai itu saat menghadapi situasi seperti ini."Kenapa Mas Attala begitu santai? Bukankah situasi ini cukup mengkhawatirkan?" pikirku dengan kesal. Ternyata, Mas Attala punya alasan sendiri untuk tenang. "Tidak akan terlewat, makan hanya membutuhkan paling lama dua puluh menit dan paling cepat sepuluh menitan. Aku tidak mau jika kamu sakit dan anak kita yang ada di dalam juga kena imbasnya, karena ka
Aku, Kalea, setelah diarak dan dipermalukan oleh para warga mengelilingi jalan, kini aku merasa seperti diadili seakan-akan aku melakukan perbuatan tercela bersama Mas Arif.Padahal, aku adalah korban dari tindakan bejat yang dia lakukan kepadaku. Aku mencoba meyakinkan semua orang yang ada di sini tentang apa yang sebenarnya terjadi. "Saya hanya korban dia. Dia telah menodai saya, Pak," kataku sambil menangis sesenggukan. Namun, tampaknya kata-kataku tidak mampu menggerakkan simpati mereka. Tatapan tajam dari semua orang menembus ke dalam jiwaku, membuatku merasa semakin terpojok dan putus asa. "Jangan berbohong kamu, Kal. Kita melakukan suka sama suka. Kamu yang sudah merayuku tadi," sahut Mas Arif dengan wajah jumawa, mengecoh semua orang di sekeliling kami. Dia benar-benar pintar memutar balikkan fakta, tapi aku tak akan tinggal diam. "Kamu yang memfitnah diriku, Mas! Jangan memutar balikkan fakta!" sahutku sambil emosi. Aku merasa geram, menatap mata Mas Arif yang penuh kep