.
.
.
“Brengsek! Pria itu katanya cinta. Tetapi sekarang malah menyuruhku bekerja seperti ini.” Dengan memakai topi lebar berwarna putih, Mawar terus menggerutu sembari memetik buah-buah anggur yang ada dihadapannya. Mawar sekarang menyesal karena melihat tablet Jayden yang menunjukkan rasa cinta pria itu hingga Mawarpun menjadi jatuh hati dibuatnya. Andai dia tahu, lebih baik dia banting saja tablet itu ke atas tanah! Batinnya.
Beberapa saat dirinya sudah mendapatkan sekeranjang penuh buah anggur, tetapi sedetik kemudian mandor yang ada disana kembali menyuruhnya untuk mengambil keranjang yang baru. Sialan! Mawar merasa sangat dipermainkan oleh Jayden yang sengaja menyuruh mandor yang adalah warga suku Henai itu untuk mengawasinya.
“Pak. Sudah ya, aku sangat lelah.” Gerutu Mawar ketika matahari disana sudah mulai naik ke atas dan membuat kepalanya sakit karena begitu panas. Lagipula, ia juga tidak memakai sunblock atau semacamn
. . . “Benarkan? Apakah para pria melihatnya?!” Bergegas Jayden menyambar teropongnya dan melihat ke kanan dan kekiri hanya untuk mendapati bahwa puluhan pekerja di lading itu tidak sedang berkonsentrasi karena mata mereka terus melirik ke istrinya. Lihat saja, pria yang mencangkul disana, mereka bahkan mencangkul pohon-pohon dan bukannya tanah untuk membuat jalan aliran air. Dan para pengangkut buah anggur, mereka bahkan terus bertabrakan satu dengan yang lainnya. Apalagi, para penyiram pohon, aduh mereka malah saling menyirami teman-temannya sendiri yang ternyata terus melongo meskipun diri mereka sudah basah kuyup. Jayden tidak menyangka jika pesona istrinya itu mampu menyihir seluruh pria di ladangnya. Tentu saja, hal itu membuatnya merasa gemas. Istrinya, bukankah hanya dirinya yang boleh melihatnya?! Lagipula, kenapa sih Mawar itu harus secantik itu! Brengsek! Dengan rasa jengkel, Jayden kemudian memanggil Suseno yang masih sibuk dimejan
. . . Sementara itu di rumah pantai, seorang perempuan cantik nampak datang diantar oleh speedboat dari perkotaan. Kalau dilihat dari baju dan aksesoris yang dipakainya, pastilah wanita itu berasal dari keluarga terhormat. Lihatlah, bajunya adalah keluaran terbaru Channel, tas dan sepatunya adalah koleksi terbatas dari Gucci. Berlenggang menuju ke depan pintu rumah mewah itu, sang tamu kemudian menekan sebuah tombol rumah untuk memanggil seseorang dari sana. Ting! Tong! Begitulah bunyi bel yang segera disahut oleh wanita tua yang ada di dalam. “Iya, tunggu sebentar.” Bibi Hans yang telah selesai merapikan baju sang Nyonya kemudian bergegas membukakan pintu yang hampir tidak pernah berbunyi itu. “Iya. Cari siapa?” Melihat wanita dihadapannya, Bibi Hans sedikit terkejut. Siapakah wanita yang mampir ke pulau terpencil itu. Bukankah hanya Jayden yang selama ini tahu lokasi mereka saat ini? Batin bibi Hans dengan wajah yang b
. . . Tersentak, Mawar seketika menjatuhkan keranjang buah anggur yang dibawanya. Beberapa kali, ia mengedipkan kedua matanya dengan jantungnya yang mulai berdegup kencang. Tidak, apakah orang yang sedang dilihatnya adalah Jayden? Dengan bergetar, Mawar dibawah sebuah lampu jalan yang kebetulan mati, mengamati mereka berdua yang berpelukan dengan wajah pria itu yang menunduk kebawah. Hanya dengan melihat, Mawar bisa memastikan bahwa mereka berdua pasti sedang bercumbu ditempat yang remang-remang disana. Tetapi mengapa pria itu melakukannya dengan wanita lain sementara pria itu juga melakukannya dengan Mawar beberapa waktu lalu?! Menghadapi sebuah fakta itu, sekilas, Mawar dapat merasakan sebuah hantaman keras membentur dadanya dan membuat hatinya sakit begitu saja. Perasaan itu hampir sama seperti perasaan hancur yang dirasakannya ketika dia merasa dibuang di hutan rimba itu seorang diri. Jayden, apakah pria itu benar-benar sedang mempe
. . . Matahari pagi telah terbit, Jayden yang semalam merasa lelah akhirnya terbangun dengan rasa nyaman diseluruh tubuhnya. Rasanya, ia telah beristirahat dengan sangat cukup setelah semalam ia pergi ke kota untuk mengantar Diona. Melayangkan pandangannya ke seisi kamar miliknya, Jayden mengerutkan keningnya karena dia tidak melihat hal yang ingin dilihatnya. Sepertinya ada sesuatu hal yang aneh. Tetapi, apa itu?! Perlahan Jayden memijit alisnya untuk mengembalikan konsentrasinya yang belum sepenuhnya kembali. Sampai beberapa waktu, ia menyadari bahwa wanita itu sudah tidak ada dilantai itu. Tunggu, dimana dia? Batinnya didalam hati yang dibalas oleh suara deburan ombak yang menghantam batu-batu karang yang ada disana. Membuka selimutnya, Jayden dengan celana panjang dan dada terbukanya kemudian membuka pintu kamarnya dan mendapati bahwa rumahnya telah menjadi sepi, meskipun ada bibi Hans yang sedang membersihkan ruang keluarga di hadapannya.
. . . “Tuan. Kenapa anda bangun sangat pagi, bukankah ini baru pukul 04.00 pagi?” Bibi sedikit terkejut karena pagi ini tuan-nya itu tiba-tiba saja sudah sangat rapi dengan setelan kaos Navy dan celana biru donker, dan bahkan ia juga sudah mengenakan sepatu boat di kakinya. “Tidak apa-apa, aku hanya mau bangun pagi saja.” Begitulah Jayden, karena sangat ingin berjumpa dengan Mawar, ia sampai bangun sangat pagi untuk bertengger di meja makan itu. Ia berharap, kali ini wanita itu tidak akan meninggalkannya begitu saja seperti beberapa hari terakhir. Paling tidak, bukankah mereka setidaknya harus sarapan bersama?! Beberapa saat, Jayden telah berada di meja itu dan pada akhirnya, seseorang yang ia tunggu telah membuka pintu dengan pakaian yang kemarin dibelikannya dan rambut panjang yang telah berkuncir kuda. Wanita itu, dari kejauhan, meskipun hanya mengenakan pakaian sederhana seperti itu saja sudah membuat dirinya begitu
. . . “Apakah ia tidak salah dengar? Mawar tidak suka Salmon?!” Beribu pertanyaan kemudian muncul di kepala pria itu yang seketika membuatnya merasa sangat pusing. Tunggu, bukankah beberapa hari ini Bibi Hans selalu memasak ikan Salmon karena wanita itu suka?! Dan bahkan, pagi ini wanita itu juga memakan ikan itu dengannya. Sebenarnya apa yang terjadi?! Dengan rasa semakin tidak nyaman, Jayden kemudian berdiri dan memanggil Suseno yang dirasa sangat bodoh disana. “Suseno!” bentaknya kepada Suseno dengan wajah yang tampak begitu geram. Selama dirinya sibuk, ia menyerahkan urusan Mawar kepada Suseno, tetapi sepertinya asistennya itu tidak bekerja dengan baik. “Kau bilang kalau Mawar baik-baik saja. Apa kau yakin?” tambahnya kemudian. “Yakin Jay.” Suseno mengerutkan alisnya karena ia melihat sendiri Mawar baik-baik saja di ladang. “Bagaimana dengan makanannya, Hah?! Apakah kau memperhatikannya?!” Jayden sedi
. . . “Bibi Hans, apakah itu Mawar?” Keluar dari ruang rahasianya, Jayedn bergegas menuju ke ruang tamu dimana seseorang sepertinya tadi terdengar membuka pintu. “Dimana dia?” Tanya Jayden kemudian karena disana ia tidak mendapati penampakan istrinya itu. Sebelum mendengar jawaban dari bibi Hans yang baru membuka mulutnya, Jayden telah terlebih dahulu masuk ke dalam kamarnya dan mendapati bahwa kamarnya juga sepi. Mawar dimana dia? Jeritnya dalam hati yang tidak kunjung mendapatkan sebuah jawaban. “Tuan. Tadi bukan Nyonya…” Bibi Hans menjelaskan karena sang Tuan sepertinya salah mengira bahwa yang datang barusan adalah Mawar. “Lalu siapa?” Masih berdiri, Jayden yang hendak pergi beranjak menjemput Mawar di ladang kemudian dikejutkan oleh penjelasan sang bibi kepadanya. “Oh. Itu adalah orang suku Henai, salah satu pekerja di ladang. Katanya, Mawar akan tinggal di perkampungan Henai selama beberapa hari.” Ungkapnya kemudian yang
. . . “Mawar! Ayo kita pulang. Dimana kau?” Teriak Jayden ditengah-tengah perkampungan yang sepi itu sehingga suaranya mampu membangunkan seluruh orang yang sedang tertidur disana. “Mawar…” Panggilnya lagi, namun tidak ada sahutan dari rumah-rumah panggung itu. Pasti, Mawar sudah tidak mau lagi bertemu dengannya dan menggunakan cara itu untuk melarikan diri darinya. Tidak. Jayden tidak akan membiarkan isterinya itu kabur begitu saja. Sehingga dengan suara lebih keras ia kemudian memanggil lagi nama isterinya itu. “Ma-war!!!” Serunya yang mulai mendapat perhatian dari penduduk yang mulai keluar dari rumahnya satu-persatu, tidak terkecuali kepala suku yang berusia hampir 100 tahun itu. “Apa yang sedang kau cari anak muda?” Tanya kepala suku itu dengan suaranya yang terdengar bijaksana. Mungkin karena usianya yang hampir satu abad, seluruh orang disana menganggap kepala suku sebagai perwakilan leluhur mereka. Sehingga ketika kepala suku i