Seperti wanita-wanita yang berada di cafe ini, tanpa sengaja akupun ikut memperhatikan gerak-gerik serta langkah dari pria itu. Astaga! Ternyata pria itu justru menghampiri mejaku. Tiba-tiba Mas Yuda berdiri. "Hai, Bro ...! Wah, wah, masih aja bisa bikin perempuan histeris." Ternyata Mas Yuda menyapa pria yang membuat heboh para wanita-wanita itu. "Mentang-mentang sudah nikah, sok jaim. Kamu dulu suka bikin perempuan guling-guling sama garuk-garuk dinding," sahut pria dengan rambut coklat itu. Merekapun terkekeh. "Ngomong-ngomong, Aku dikenalin dong sama bidadari disebelahmu ini!" "Astaga! Hampir saja lupa. Kenalkan ini Salma, istriku." "Salma." Aku tersenyum mengangguk seraya menangkupkan kedua tanganku di depan dada. "Elkan." Aku merasa pria ini menatapku cukup lama hingga membuatku tak nyaman. "Mau pesan apa? Di sini sup buntutnya enak," tanya Mas Yuda. "Masih ingat aja kalau aku suka sup buntut." "Ingat, doong!" Lagi-lagi mereka tertawa terbahak-bahak setelah mengena
"Maaf, permisi." ucapku "Ya, silakan!" sahut wanita itu seraya berdiri dan memutar badannya. Astaga! "Salma?" "Kak Lina? Sekarang Kakak kerja?" Wanita yang ternyata kakak iparku itu ternganga melihatku. Kami sama-sama terkejut. "Iy-iyaa ..." Jawabnya gugup. "Kalau Kak Lina kerja, anak-anak dengan siapa, Kak?" "Aku titip Ibu dan kak Norma. Aku terpaksa, Salma. Bang Marwan dan Bang Adam dipenjara sekarang. Siapa yang menafkahi kami kalau aku nggak kerja." Ya Allah. Hatiku terasa diiris. Saat ini aku serba berkecukupan. Sementara Ibu mertua dan kaka iparku sedang kesulitan.Cafe ini cukup jauh dari rumah Kak Lina. Sudah pasti ongkosnya juga besar. Gaji yang dia terima sebagai cleaning service pun pasti tidak besar. Sebelum masuk ke dalam toilet, aku mengambil beberapa lembar uang dan memberikannya pada Kak Lina. "Kak, maaf, ini ada sedikit dariku. Semoga bisa bermanfaat." "Eh, Apa ini? MasyaAllah, terima kasih, Salma." "Ya sudah. Aku masuk dulu. Salam buat Ibu dan Kak Norm
POV Syifa Kenapa sih Pak Yuda nggak mau nikahin aku? Aku nggak kalah cantik kok dari istrinya yang mantan pedagang nasi kaki lima itu. Aku sudah bela-belain pakai hijab untuk bisa mengambil hati pria tajir itu. Sampai-sampai habis aku ditertawakan oleh teman-teman nongkrong di basecamp. Aku kembali melangkah ke ruang perawatan Bapak. Setelah lelah bersandiwara di depan Bu Salma yang bodoh itu. Semoga saja Bapak tidak luluh karena hari ini Pak Yuda membawa istrinya ke rumah sakit ini. Jangan sampai Bapak berubah pikiran. "Seharusnya Bapak lebih mendesak Pak Yuda tadi. Ini malah diam saja ketika Dia pergi menyusul istrinya!" ujarku kesal ketika sudah kembali duduk di kamar VIP ini. "Syifa ..., Apa kamu tidak kasian dengan mereka? Rumah tangga mereka bisa hancur," sahut Bapak yang hanya bisa berbaring di tempat tidiur. "Loh, malah bagus, dong. Sekalian saja mereka cerai. Peluang Aku untuk menjadi Istri Yuda jadi lebih besar." "Astagfirullahaladzim, Syifa. Kamu kemarin janji pada
Sesampainya di kantor. Ruang kerja Pak Yuda tertutup rapat. Namun tirainya terbuka. Aku sengaja melirik ke dalam. Ternyata Pak Yuda belum datang. "Ngapain ngintip-ngintip? Pak Yuda nggak ke kantor hari ini. Mending kamu bantu aku kerjain ini!" Tiba-tiba saja Ayu menegurku dengan nada tidak senang. "Hei, Ayu! Dengar baik-baik! Yang jadi sekretaris di sini itu Aku. Kamu itu cuma bantu-bantu aku di sini! Paham?" Sengaja aku melotot pada perempuan yang merasa senior di perusahaan ini. Lama-lama kurang ajar sekali dia. "Hei, Syifa. kenyataannya, justru aku yang paling sibuk di sini. Sedangkan kamu, sudah kerjanya setengah hari, sering terlambat pula." Makin berani saja si Ayu ini. Kalau aku lawan, pasti teman-teman seniornya akan ikut-ikutan menegurku seperti kemarin-kemarin. Males deh. Awas kamu, Ayu. Liat saja nanti kalau aku sudah jadi istri pak Yuda. Bakal langsung aku pecat kamu. Semangat kerjaku tiba-tiba lenyap karena Pak Yuda tidak datang. Sial, berarti hari ini seharian d
Satu minggu sudah sejak kejutan menyakitkan itu di rumah sakit, dan pertemuan kami dengan Elkan, belum ada perkembangan yang berarti. Semua masih berjalan seperti sebelumnyan. Entah kenapa Mas Yuda juga tampak biasa saja. "Mas, apa sudah ada kabar dari sahabatmu itu?" Mas Yuda sedang memasang kancing kemejanya di depan kaca. "Elkan, maksudmu? "Iya." Mas Yuda membalikkan tubuhnya. Saat ini kami saling berhadapan. "Tenang saja. Aku yakin Elkan bisa membantu kita," sahutnya seraya melingkarkan lengannya di pinggangku kala aku sedang memakaikan dasi dilehernya. Bagaimana mungkin suamiku ini bisa yakin? Sedangķan satu minggu ini belum ada kabar apapun dari sahabatnya itu. "Kamu jadi ke rumah kost hari ini?" Kami berjalan bersisian menuruni tangga. "Jadi, Mas. Hari ini barang-barang untuk kamar kost datang. Aku ingin memberi intruksi pada para pekerja." "Untuk Rumah kost aku serahkan semuanya padamu. Carilah beberapa pekerja untuk membantumu di sana." Aku terus mengikuti Mas Yuda
Para pekerja bangunan masih ada beberapa yang membantuku di sini. Tapi bagaimana jika mereka nanti telah selesai kontrak dengan Mas Yuda? Sepertinya aku harus memperkerjakan beberapa orang di sini. Mungkin aku bisa membuka lapangan pekerjaan pada beberapa warga di sini. Ya ampun, kenapa tidak Kak Lina saja yg bekerja denganku. Sebaiknya aku datangi saja kakak iparku itu. Semoga saja hari ini dia ada di rumah. Sekalian aku nengok ibu. Sudah lama aku tidak mengunjungi Ibu. Paling-paling kak Norma yang masih tidak suka padaku. Biarlah. Setelah semua urusan di rumah kost beres, dengan membawa buah tangan yang kubeli di supermarket terdekat, Aku berjalan menuju rumah Ibu yang berjarak hanya beberapa meter saja dari rumah kost. Tepatnya, rumah ibu ada di ujung jalan ini. "Assalamualaikum." Tak ada yang menyahut. Rumah ini nampak sepi. Apakah mereka sedang pergi? "Neng Salma? ... Cari siapa, Neng?" Pak Udin, tukang ojeg tetanggaku dulu tiba-tiba berhenti di dekatku. "Ini pada ke man
Aku kembali ke cafe ini. Tempat di mana Kak Lina bekerja. Namun tujuan utama aku ke sini bukan untuk bertemu Kak Lina, tapi memenuhi janji bertemu dengan laki -laki yang menghubungiku tadi. Sebenarnya aku sudah menolak, karena Elkan minta bertemu tanpa sepengetahuan Mas Yuda. Menurutnya ada yang harus dia sampaikan padaku. Walau keraguan merajai hati, tapi di sisi lain aku sangat berharap Elkan bisa membantuku menyelesakan masalah ini. Tak sulit menemukan Elkan di sini. Seperti biasa pria yang banyak digandrungi pada wanita itu tetap menjadi pusat perhatian para pengunjung cafe. Pria berbadan atletis itu telah melempar senyumnya padaku saat aku baru saja melangkah masuk ke dalam cafe ini. "Hai, Salma. Silakan duduk!" "Terima kasih. Maaf, Aku nggak bisa lama. Langsung saja pada inti pembicaraan!" "Wah, wah. Kenapa terburu-buru. Tunggu, aku pesankan makanan. Mau makan apa, humm?" "Tidak. Terimakasih." "Tapi aku lapar. Temani aku makan dulu sebentar!" ujarnya seraya membuka-buka
"Kamu jebak Aku, hah?" Wajah Elkan memucat melihatku bertolak pinggang di hadapannya. "B-bukan. Tenanglah Salma! Duduk dulu! Kita belum bicara." "Jika memang ada yang ingin kamu bicarakan. Langsung saja sama Mas Yuda." Aku meraih tasku dan bersiap untuk meninggalkan meja. "Salma, tunggu dulu, please ...!" Elkan mencekal pergelangan tanganku. "Lepas!" jeritku tertahan. "Oke, oke, Maaf!" Elkan melepaskan dan mengangkat kedua tangannya. Tanpa berkata-kata lagi Aku segera meninggalkan pria yang masih mematung menatap kepergianku. Dengan langkah lebar aku keluar dari cafe ini. Sungguh emosiku memuncak saat ini. Napasku memburu. Dadaku kembang kempis menahan amarah. Sungguh keterlaluan pria itu. Aku masih berdiri di sebrang cafe menunggu taksi online yang sudah aku pesan. Sedikit cemas karena hari sudah hampir sore. Aku harus segera tiba di rumah sebelum Mas Yuda pulang. Untuk kesekian kalinya merutuki diri ini. Kebodohan yang aku lakukan tadi bisa mengancam keutuhan rumah tangga