Share

Gunjingan Pelayan

Keheningan segera tercipta seusai Darren berbicara. Bahkan tiga pelayan di ruangan tersebut saling lirik dalam diam. Pria itu masih menunggu dengan pandangan lurus ke depan.

"Sekali-kali aku ingin mencoba udang, Darren. Tenang saja, aku sudah minum pil anti alergi," alih Irish dan Nyonya Wina mengangguk penuh kelegaan.

"Jaga kesehatan, Sayang. Jangan membuatku khawatir," ujar Darren sembari tersenyum manis.

"Tentu." Irish mengangguk kecil lalu menunduk. Wajah tampan dan senyum mempesona pria itu, paduan yang mampu membuat pipinya memanas.

Nyonya Wina memulai aktifitas makannya tanpa berkomentar. Sedangkan Irish masih mengamati bagaimana Darren makan. Nyatanya tingkah pria itu normal, ia bisa makan tanpa bantuan.

Malam pertama di mansion megah, Irish mendapat kamar cukup luas di lantai dua. Satu koridor dengan beberapa kamar lain. Pelayan berwajah teduh mengantarnya hingga di depan pintu.

"Jika Nona butuh sesuatu, jangan sungkan untuk memanggil saya."

"Baiklah. Siapa namamu?" Irish bertanya pada wanita yang tampak sebaya dengannya.

"Julie, Nona."

"Terima kasih, Julie," ucap Irish. Ia bahkan melambaikan tangan saat pelayan itu undur diri.

Tak perlu menunggu waktu lama, Irish masuk kamar dan langsung mengunci pintu dari dalam. Tawaran Nyonya Wina dan semua fasilitas mewah ini seperti mimpi. Tadi malam ia masih tidur di kontrakan sempit dengan satu kamar. Kini di depannya terpampang nyata ranjang nyaman queen size.

Seakan belum cukup, di lemari yang lebih tepat disebut ruangan terdapat jejeran dress cantik berwarna pastel. Persis seperti warna favoritnya. Irish dibuat kagum karena semua dress juga berpasangan dengan sepatu dan tas yang tampak mahal.

'Kapan Nyonya Wina menyiapkan semua ini? Ataukah kamar ini milik seseorang sebelumnya? Theana yang asli?' Irish membatin.

Di tengah asyiknya menikmati kamar baru, Irish teringat akan sesuatu. Clutch putih yang berisi ponsel tidak ada bersamanya. Wanita itu cepat-cepat keluar kamar, hendak menanyakan keberadaan tas pada pelayan.

Suasana mansion begitu senyap. Ditambah pencahayaan di lantai dua dibuat agak redup. Tak ingin membuat keributan, Irish berjalan mengendap. Beruntung belum lama berjalan terdengar percakapan dua orang pelayan di salah satu ruangan yang pintunya setengah terbuka.

Irish hendak mengetuk. Namun pembicaraan dua orang itu membuatnya terdiam.

"Jadi wanita itu benar Nona Theana, calon istri Tuan Darren? Bukannya dia sudah meninggal?"

"Kau tidak dengar tadi Nyonya besar mengatakan itu salah paham. Nona Thea masih hidup dan selama ini berada di luar negeri."

"Oh, begitu. Tapi apa kau tidak merasa aneh. Dulu Nyonya besar sangat membenci Nona Thea, bukan? Tapi kenapa sekarang berbeda?"

"Tidak tahu. Menurutku Nona Thea juga aneh. Dia menjadi lebih ramah dan menyenangkan. Tadi dia bahkan menanyakan namaku."

"Benarkah? Nona Thea yang kutahu sangat sombong. Dengar-dengar dia juga sempat ada hubungan dengan Tuan Arthur sebelum bersama Tuan Darren. Maniak." Terdengar tawa tertahan setelahnya.

'Siapa Arthur?' tanya Irish dalam hati.

"Ssssttt, pelankan suaramu! Jangan sampai ada yang mendengarnya. Bisa habis kita nanti."

Irish tidak tahu jika dua orang itu akan keluar dari ruangan. Para pelayan juga terkejut tatkala mendapati orang yang mereka bicarakan sedang berdiri di depan pintu.

"N-nona Thea ... Anda di sini?" Julie gelagapan. Pelayan lain di sampingnya juga tak kalah panik. Tangannya yang membawa lipatan selimut dan sprai sedikit gemetar.

"Ehm, iya. Ada yang melihat tas putih kecil yang tadi saya bawa?" Irish mencoba fokus pada tujuannya.

"Kami tidak melihatnya, Nona," ujar pelayan tanpa nama setelah saling sikut dengan Julie.

"Tapi kami akan mencarinya sekarang juga. Nona tunggu saja di kamar. Kami permisi," ujar Julie yang kemudian berlalu bersama si rekan.

Beragam tanda tanya muncul di benak Irish. Ia mencoba tak peduli dan beranjak tidur. Wanita itu merebahkan diri di ranjang empuk usai mengganti pakaiannya. Tak lama berselang, sebuah ketukan mengurungkan niat Irish untuk memejamkan mata.

Irish yang mengira pelayan datang membawa clutch-nya, tanpa ragu membuka pintu. Namun yang datang bukanlah Julie maupun pelayan lain. Melainkan sosok pria tinggi berwajah tegas dengan senyum aneh.

"Kudengar calon kakak iparku datang. Ternyata benar kamu ada di sini, Sweetheart." Pria itu berusaha mengecup pipi tak bercela milik Irish, tapi secepat kilat ia menghindar.

"Jangan menggangguku!" Irish mundur dan hendak menutup pintu. Namun orang tak dikenal itu menahan dengan satu tangan dan juga kaki. Entah bagaimana Irish bisa mencium aroma aneh. Semacam alkohol.

"Kamu tidak mengenalku? Benar begitu?" Si pria terkekeh. Tangannya dengan berani menarik Irish agar keluar dari kamar.

Irish ingin berteriak jika saja pelayan tidak muncul dan menenangkan pria itu.

"Tuan Arthur, kamar Anda ada di sebelah sana. Mari saya antar." Pelayan hendak memapah.

"Lepaskan, aku bisa jalan sendiri!" Arthur menghalau tangan si pelayan dan berjalan menjauh dengan terhuyung.

"Maaf Nona, Tuan Arthur sedang mabuk. Silahkan Nona beristirahat kembali." Pelayan muda sedikit membungkuk sebelum meninggalkan Irish sendiri dalam kebingungan.

**

Esok paginya kala sarapan, mereka bertemu lagi. Arthur yang semalam ingin menggodanya kini memberi tatapan tajam. Irish menatapnya sekilas lalu berpura-pura sibuk membantu Darren mengambil roti panggang madu.

'Kenapa dia melihatku seperti itu? Memangnya ada yang aneh dengan wajahku? Apa orang itu yang semalam dua pelayan bicarakan? Untuk apa aku peduli, Mudah-mudahan dia tidak mengganguku lagi,' racau Irish dalam hati.

"Arthur, pukul berapa kamu pulang semalam?" Nyonya Wina berbicara sambil menyantap apel kukus, menu sarapan kesukaannya.

"Entahlah," jawab Arthur. Pria muda itu mengedikkan bahu, cenderung tak peduli.

"Party hampir setiap hari, tidak datang ke kantor. Kamu ingin tekanan darah bunda naik atau bagaimana?"

Kali ini Arthur tak menjawab. Ia lebih asyik menikmati roti panggang alpukat yang baru pelayan sajikan. Di sisi lain meja, Darren tersenyum.

"Arthur masih muda, Bunda. Biarkan saja dia main sebentar. Akan ada saatnya dia lebih bertanggungjawab pada perusahaan," bela Darren pada adik semata wayangnya itu.

"Kak Darren yang terbaik." Arthur kegirangan.

"Jika kamu terus membelanya, Arthur akan semakin manja, Darren," ujar Nyonya Wina gemas.

Irish memasang mode senyap menghadapi drama keluarga itu. Ia lebih sibuk mempersiapkan diri untuk agenda hari kedua menjadi Theana.

Namun siapa sangka Arthur akan menghampirinya begitu Irish berjalan sendirian menuju dapur. Sedianya, wanita itu akan membuat coklat panas untuk Darren.

"Tunggu, kita harus bicara." Arthur menghadang langkah Irish dan menunjukkan ekspresi tidak ramah.

"Tapi aku harus membuat coklat untuk Darren," kilah Irish. Wanita dengan setelan mocca itu mencari jalan tapi Arthur kian memaksanya mundur hingga punggungnya bertemu dinding.

"Jangan berpura-pura lagi. Katakan apa tujuanmu datang kemari! Mungkin kau bisa menipu Kak Darren. Tapi caramu tidak mempan untukku!" hardik Arthur.

Netra Irish membulat. Pria di depannya terlihat marah. Mungkinkah penyamarannya telah terbongkar? Tapi bagaimana bisa?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status