Hampir setengah jam mereka sama-sama terdiam. Yusra melirik jam di pergelangan tangan menunggu detik-detik jawaban dari Ervin. Setelah ide gilanya disampaikan, keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Lelaki itu tak tahu harus bagaimana menyadarkan Yusra, berkali menasehati rasanya percuma. Gadis itu tetap dalam pendiriannya. Lamunan Yusra tentang Ervin melintas kembali pada awal mereka bertemu setelah sama-sama melanjutkan pendidikan di kota yang berbeda. Pada saat itu salah seorang teman mereka mengadakan acara peresmian cafe baru yang kebetulan mereka hadiri. Keduanya terkejut, tak menyangka bertemu lagi setelah perpisahan ketika berseragam abu-abu. Ervin yang memang menyukai gadis itu sejak dulu tak mau membuang kesempatan. Ia meminta nomor kontak lalu perbincangan berlanjut sampai mereka akhirnya memiliki hubungan spesial. Keduanya sepakat untuk tidak mengumbar hubungan, lebih tepatnya menjaga rahasia kisah cinta mereka. Tak ada yang tahu selama beberapa tahun sampai akhir
Hari yang tak diinginkan oleh Yusra pun tiba. Dibalut gaun pengantin yang sederhana namun tampak mewah, Ia dan Idham berdiri berdampingan menyalami para tamu undangan. Sah sudah keduanya dalam sebuah ikatan pernikahan. Meski hati salah satunya menolak, tapi kenyataan berkata lain. Dan hari ini Yusra menyerah. Karena sampai detik ini, ia tak memiliki ruang sedikit pun untuk melarikan diri. Seperti hatinya sekarang yang tak ada celah secuil pun untuk suaminya masuk.Memang butuh waktu untuk menerima status barunya, dan Yusra terlihat pasrah meski dalam hati masih berharap Ervin datang membawanya pergi. Tak peduli kemana lelaki itu akan membawanya. Yang terpenting pergi dari sini. Ia tersiksa berada di pelamin bersama Idham, mengikuti semua arahan pembawa acara, memaksakan senyum yang terus dibuat-buat. Serta melayani foto bersama. Kini detik yang dilalui terasa lambat berkali-kali lipat, Ia merasa sudah berabad lamanya duduk di kursi pengantin. Yusra rasa tak sabar ingin berbicara lan
Ia memang tak meyangkal pesona Idham. Sebagai wanita normal tentu saja lelaki di sampingnya kini tampak mendekati kata sempurna. Andai dibagikan rating penilaian maka nilai Idham adalah sembilan dari sepuluh angka yang disodorkan. Namun, bukan berarti pesona itu mudah mengubah segalanya. Karena hingga sampai saat ini, tetaplah Ervin yang bertahta di hatinya.Hening kembali menyelimuti mereka. "Aku enggak tahu dan enggak mau tahu masa lalu kamu. Aku pikir kita sudah cukup dewasa. Lagi pula percuma juga kita mempertahankan ego, sementara hati masih memikirkan perasaan orang lain. Bukankah itu sama saja dengan menzolimi diri sendiri?" tanya Idham yang masih acuh tanpa melihat ekspresi Yusra yang sedang menahan kesal."Iya aku tahu. Aku cuma butuh waktu. Aku butuh privasi. Hargai itu!" Idham tersenyum seraya menggelengkan kepalanya. Ternyata selain manja dan keras kepala istrinya juga tak mau mengalah. Berlagak berbicara waktu dan privasi? Bukankah, itu sudah dilakukannya. Mereka hanya
[Kenapa enggak boleh? Cepat atau lambat mereka juga pasti tahu hubungan kita. Pokoknya aku jemput sekarang]Senyum Yusra seketika terbit. Namun, lenyap kembali dalam hitungan detik. Pesan dari kekasih hatinya dibaca berkali-kali. Gadis itu ingin membalas 'iya', tetapi dia urungkan. Karena ingin memberikan kejutan pada orang tuanya.Kini, Yusra berdiri di samping sebuah koper besar, dengan gamis cream dan dipadu jilbab senada tampak begitu indah melekat di tubuhnya. Dia tersenyum, seakan memberi sambutan untuk diri sendiri. Karena sudah tiba di kota kelahirannya.Embusan angin menerpa wajah Yusra, jilbab yang dikenakannya berkibar-kibar. Dihirupnya napas panjang berkali-kali sambil tersenyum dan menutup mata sejanak. Dalam hati Yusra begitu riuh, bukan main rindunya sebentar lagi akan tuntas.Gadis itu kembali tersenyum dan merasa lega sampai dengan selamat. Jauhnya jarak perjalanan membuat Yusra kelelahan. Sesekali Gadis itu mengamati pe
Lamaran kemudian menikah, hidup bahagia mendampingi Ervin. Sesederhana itu rencana Yusra, dia tak ingin pesta yang mewah nan megah. Cukup baginya doa restu dari orang terkasih mereka. Setelah lamaran, Yusra pun tak ingin berlama-lama dengan status tunangan, karena dia paham betul peraturan yang sangat ketat dari sang ayah, yang tak membolehkannya berdekatan atau pun sering bertemu dengan tunangannya. "Aku takut tak kuat menahan rindu," gumam Yusra yang diiringi senyuman. Sekelebat bayangan Idham muncul tiba-tiba. Tadi dia buru-buru menundukkan pandangannya ketika berpapasan dengan Yusra. Laki-laki yang menjadi rekan ayah Yusra itu sepertinya memang alim, bukan kaleng-kalengan. Lihat saja caranya berpakaian, bertutur sampai mengajar anak-anak pun terlihat lembut, tetapi tegas. Pantaslah ayah Yusra betah dan percaya padanya. Meskipun yayasan yang dibuat tidaklah ramai, tetapi ayah Yusra tak mau mengambil sembarang orang untuk mengajar anak didiknya. Ayah Y
Di ruang keluarga yang tak seberapa besar, ibu dan ayah sudah duduk menunggunya. Yusra menghampiri sisi kiri ibu, lalu duduk di samping."Ra, kamu benaran ndak mau perpanjang kontrakmu?" tanya Najib membuka percakapan."Sebenarnya bukan enggak mau, tapi Yusra pengen ....""Pengen kawin?" celutuk Izzan."Hus! Abang," tegur ibu lembut.Yusra tersipu, secara tidak langsung apa yang ingin disampaikannya terwakili candaan Izzan."Kalau pun iya, kenapa malu? Kamu sudah cukup dewasa untuk menikah, Ra. Jangan menunggu abangmu. Dia anak laki-laki, menikah di umur tiga puluh lima pun tak masalah. Beda sama anak perempuan. Kamu sudah selesai kuliah, sudah menggapai apa yang kamu impikan, sudah kerja, apa yang lagi kamu tunggu selain jodoh?"Gadis itu tersenyum menatap ayahnya, sungguh ini benar-benar sebuah keberuntungan. Gayung bersambut, dia harus bicara tentang hubungannya dengan Ervin."
"Ndak, Sayang. Kamu tetap anak Ibu dan Ayah. Kamu tetap si bungsu Ibu. Kamu boleh cari orang tua kandungmu tapi kamu ndak boleh pergi dari rumah ini." Selama ini, mereka memberikan yang terbaik untuk Yusra, layaknya anak kandung tak ada yang pilih kasih. Bahkan mereka lebih menyayangi Yusra dibandingkan Izzan. Meskipun bukan orang tua kandung, tetapi mereka memberikan kasih sayangnya dengan tulus. Memanjakannya, mengajari agama, menasihati jika salah. Mengabulkan permintaan Yusra selagi mereka mampu dan baik menurut syariat agama. Ah, Yusra, dia benar-benar si buntung yang beruntung. Harusnya Yusra bersyukur, karena belum tentu hidup seberuntung seperti sekarang ini. Walaupun dia anak pungut, tetapi kasih sayang orang tuanya sama seperti abangnya-- Izzan. Apalagi mengingat kedua orang tua kandungnya, Yusra masih bayi saja, mereka tega membuang Yusra. Lantas, kenapa sekarang terpikir untuk mencari mereka? Ini memang terlalu bera
"Oke." Yusra mengacungkan jempolnya. Sebisa mungkin Yusra bersikap biasa. Walaupun dalam hatinya terasa canggung. Rasanya tak patut lagi dia bersikap manja seperti seorang anak kandung. Meskipun ibu selalu mengatakan tak ada yang boleh berubah. "Si Bungsu, Ibu" begitu timang Raisyifa sejak dulu.Setelah memarkirkan mobil ke garasi, Najib dan Raisyifa duduk di ruang tamu. Yusra datang membawa sepiring mangga dan segelas air putih sambil menunggu kedatangan anak-anak.Halaman rumah masih sepi, mungkin karena anak didik Najib belum ramai yang datang."Udah mau jam dua yang datang baru tiga anak, Yah." Ibu menengok ke teras."Ndak apa-apa, Bu. Yang lain mungkin lagi di jalan," terka Najib sembari mencomot mangga.Najib tak pernah bosan atau pun kehilangan semangat mengajarnya. Bagi Najib mengajarkan ilmu agama ngaji dan salat seperti menabung untuk bekal di kehidupan setelah meninggal nanti. Tak apa jika belum banyak anak