Aku sudah boleh pulang dari rumah sakit. Bayiku juga sehat tidak ada masalah apa pun. Arya membeli banyak perlengkapan bayi, tapi kebanyakan menurutku bukan warna pink untuk anak perempuan. Mungkin dia mengira anaknya adalah laki-laki. Selama aku hamil memang dia tak pernah bertanya mengenai jenis kelamin bayiku. Bahkan selama hamil dia tidak pernah mengantarku cek ke dokter kandungan. Alasannya selalu sibuk dengan pekerjaan. Namun, transferan darinya sering membuatku luluh. Kini rekeningku menjadi gendut. Arya tak lupa mengirim uang setiap ku minta.Arya memang memberikanku buku rekening baru beserta ATMnya. Tapi tak lama setelah itu, ia meminta kembali buku rekening itu dan hanya meninggalkan ATM-nya untukku. Aku juga tak mempermasalahkannya karena yang kubutuhkan ATM nya saja bukan rekeningnya.Hari-hari menjadi Ibu baru membuatku pusing. Dua jam sekali Harus bangun untuk menyusui, belum lagi kalau begadang, lama-lama bisa tambah kusam wajahku.“Bu, kita sewa Baby siter aja ya?
“Apa maksudmu ngomong seperti itu?” tanyaku memastikan.“Pasti kamu Cuma becanda kan?” lanjutku lagi.Arya tak menjawab, ia hanya tersenyum saja.“Nanti aku jelaskan. Ayo, aku tunjukkan dimana kamarmu dan kamar anakku," ucap Arya.Aku mengikuti Arya ke belakang.“Ini kamarmu, dan kamar sebelah adalah untuk Zea.” Arya menjelaskan.“Ha? Kita tidak sekamar? Bukannya kita suami istri?” Aku bingung dengan maksud pembagian kamar ini. Kenapa kami seakan tak boleh tidur sekamar? Selama menikah Arya juga tak mau tinggal di rumahku. Ia memilih tinggal di rumahnya sendiri dengan alasan dekat dari kantor.“Ya, kita tidak sekamar. Aku tidak mau tidurku terganggu oleh tangisan Zea ataupun dirimu yang akan bolak-balik terbangun mengurus Zea.Setengah tak percaya aku mendengarnya. Kenapa aku merasa di sini Arya menjadi dingin? Tidak seperti kemarin? Begitu perhatian dan royal.“Satu lagi. Dari pagi sampai sore akan ada baby sitter yang menjaga Zea, jadi kamu bisa fokus dengan tugasmu. Malam harinya b
Ternyata mereka berdua berada di dapur. Sasa menjerang air panas, sepertinya dia hendak membuat kopi untuk suamiku.“Kamu kenapa, Sayang? Kenapa bisa berubah secepat ini? Bukannya dari awal kamu yang ingin menikah denganku? Kenapa sekarang kamu seperti ini?!” Aku berteriak seperti kesetanan. Rasanya justru seperti melihat Sasa dan Arya sebagi pengantin baru, sedangkan aku yang menjadi pembantu.Semuanya seakan seperti mimpi. Bayangan akan menjadi seorang Nyonya seketika sirna melihat perlakuan Arya sekarang kepadaku. Apakah aku tidak pantas bahagia?“Tidak perlu banyak bertanya. Lakukan saja apa yang aku perintahkan. Aku mau pergi mengajak Zea. Kamu bersihkan rumah ini lalu cepat masak. Aku mau setelah pulang, makanan sudah tersedia di meja untukku dan Sasa.” Sasa sudah tak ada di sini, mungkin dia mengambil Zea dari kamarnya. Enak sekali dia bicara! Memangnya dia siapa? Aku bukanlah perempuan lemah yang akan menurut begitu saja. Apalagi ini belum genap sehari aku tinggal di sini seb
Aku menuju ke kamar sebelah, tempat d mana Zea ditidurkan. “Uluh-uluh ... anak Mama haus ya!” Aku menggendong Zea dan menyusuinya. Aku melirik ke arah Sasa yang masih menatapku tajam. Rupanya ia turut mengikutiku ke sini.Tanpa bicara, dia keluar dengan membanting pintu. Dasar Baby siter nggak ada akhlak! Sudah tau aku istri dari majikannya, malah kurang ajar. Sambil menyusui aku terus berpikir bagaimana caranya agar aku bisa melawan mereka berdua di sini. Di sini aku sendirian, tak punya teman ataupun orang yang bisa kumintai tolong. Tidak mungkin aku menghubungi kedua orang tuaku.Baiklah, pertama aku akan menyelidiki seperti apa hubungan Arya dan Baby siter itu. Hmm ... tapi aku harus mulai dari mana? apa aku harus mengalah dulu? Biar mereka tak menaruh curiga kepadaku?Ayo Anggita ... berpikirlah!Saking fokusnya berpikir, aku tak memperhatikan kalau Zea sudah tertidur lelap di pangkuanku, dengan perlahan aku meletakkan Zea ke tempat tidurnya.Kupandangi wajah anakku. Mungkin i
Aku serasa hidup dalam sangkar. Tinggal di rumah mewah tapi hidupku menderita. Semua ini karena aku terlalu silau dengan kekayaan yang dimiliki Arya hingga dengan begitu mudah menerima ajakannya menikah. Tapi sudahlah, nasi telah menjadi bubur.Malam ini aku tidur di kamar Zea. Setelah mendengar pengakuan Arya kemarin, aku memutuskan untuk satu kamar dengan Zea. Karena sekarang fokusku adalah anakku. Aku akan memastikan kalau Arya dan Sasa tidak akan menyakiti anakku!Byur!Aku gelagapan saat ada yang menyiramku dengan air. Setelah sepenuhnya sadar aku melihat seseorang berdiri di samping tempat tidurku.“Sasa! Apa-apaan kamu!” pagi-pagi pelakor ini sudah memancing emosiku“Enak banget kamu jam segini belum bangun! Arya mau sarapan cepat buatin!” dia memerintahku dengan bersedekap. Benar-benar angkuh!“Heh! Memangnya aku pembantumu! Bikin aja sendiri! Sana layani sendiri pacar tersayangmu itu!” sentakku tak mau kalah“Heh, kamu di sini itu Cuma dianggap babu oleh Arya. Jadi jangan ma
Sambil menyusui aku memikirkan Mas Dani dan Rara. Aku ingin menghubungi mereka dan meminta maaf, tapi aku tak memiliki ponsel lagi. Sepertinya aku harus mencari uang untuk memperbaiki ponsel ini, karena tak mungkin Arya akan menggantinya Sungguh miris, di rumah semewah dan semegah ini, aku tak memiliki uang sepeserpun. Bahkan untuk membeli makan pun aku tak ada uang. Aku merasa apa yang dulu terjadi pada Rara dan Mas Dani, kini semua menimpaku, dari dikhianati suami, hingga tak memiliki uang sepeserpun seperti Mas Dani dulu saat pisah dengan Rara. Dulu dengan jahatnya aku mengusirnya, sekarang aku merasakan sendiri.Mas Dani, Mbak Rara, maafkan aku!Mulai sekarang aku harus mulai terbiasa dengan hal-hal baru. Dulu di rumah ada Ibuku yang menyiapkan semuanya. Dari bangun tidur sampai tidur lagi, kerjaan ku hanya Shopping dan bermain Handphone. Sekarang harus aku sendiri yang melakukannya. Pantas saja Ibu memintaku mencari suami kaya, karena Ibu tahu aku tak bisa apa-apa. Harapannya
Awalnya aku ingin marah saat ada yang menganggapku pengemis, tapi melihat uang yang didapat cukup banyak, walaupun aku hanya duduk saja membuatku menjadi senang.Mungkin ini bisa dijadikan sampingan agar aku bisa mendapatkan uang untuk pulang ke Jakarta. Aku bod*h harusnya tadi aku keluar dengan membawa koperku, jadi aku tak perlu kembali ke rumah tersebut. Untuk membeli tiket pesawat pun aku harus mengambil identitasku, karena sekarang aku tak membawanya.Aku mampir ke sebuah warung makan, hendak makan siang karena perutku sudah terasa lapar kembali.Aku meletakkan Zea di meja. Si penjual adalah seorang wanita seusia Ibuku yang sedari tadi melihatku, mungkin ia heran, pakaian bagus dan terlihat mahal, juga wajahku yang glowing, tapi berjalan kaki dan makan di pinggir jalan.“Ada apa ya dari tadi ngeliatin saya terus?” tanyaku sopan.“Maaf, Bu. Kenapa bayinya dibawa ke sana ke mari? Ibu kasihan lihatnya, Masih kecil begitu. Belum ada tiga bulan ya?” tanya Ibu penjual.“Belum ada, Bu.
Zea tampak tertidur di pangkuan Sasa. Sedangkan mereka berdua sedang asyik berbicara dan bercanda. Aku mendekati mereka dengan perlahan. Mereka tak menyadari aku mendekat karena posisi mereka yang menghadap ke kolam.“Ze—“ Kuurungkan niatku untuk memanggil Zea karena aku mendengar percakapan merekamembahas tentang aku.“Wah, kamu kejam juga ya, Sayang. Masa minta teman kamu yang juga teman dia buat memperkosa Anggita, sih. Kalau aku jadi Anggita, paling udah bunuh diri. Apalagi posisi hamil. Hahahah“ Sasatertawa, entah menertawai nasibku atau ucapannya sendiri.Aku sangat kaget mendengarnya. Tak menyangka peristiwa mengerikan itu atas perintah Arya. Kenapa dia sangat kejam padaku? Apa salahku?Sekuat tenaga aku menjaga agar tak bersuara. Aku diam di tempatku, berharap semoga mereka belum sadar kalau aku sudah berdiri di sini mendengarkan percakapan mereka.“Itu semua belum seberapa dibandingkan sakit hatiku karena kehilangan orang tuaku. Gara-gara orang tua Anggita aku kehilangan A