“Siapa yang akan menikah, Lex?” Rara meletakkan spatulanya.“Belum tahu, Kata Kang Asep tadi ada seorang wanita meminta izin untuk menikah di Vila itu, penghulu dan beberapa saksi juga sudah ada Sepertinya memang sudah lama mereka menyiapkannya.” jelas Alex.Ucapannya membuat Rara tambah tidak fokus.“Bagaimana? Kamu mau ke sana? Atau besok saja? Acaranya besok pagai sepertinya.” lanjut Alex.“Kalau menyetir sendiri lama ya? Atau cari penerbangan ke sana aja yang paling cepat, Lex.” Rara gelisah, dia tak akan tenang sebelum mengetahui kebenarannya.Alex segera mengutak atik laptopnya. “Ada pesawat jam lima sore terakhir. Sampai bandara sana nanti aku akan minta sopir untuk menjemput, tapi ya tetap saja sampai vila sudah sekitar jam sepuluh malam, Ra. Kalau bawa mobil ke sana bisa lebih larut lagi sampainya. Gimana?” tanya Alex.“Tak apa-apa, pesankan saja. Daripada aku di sini bertanya-tanya apa yang terjadi?” kata Rara kemudian.Alex kembali berkutat dengan laptopnya.“Done! Kamu bis
Sekali lagi kudengarkan dengan seksama pembicaraan mertua dan wanita itu. Kali ini tidak ada air mata, yang ada hanya amarah kepada anggota keluarga itu.Baiklah, mereka bersandiwara, aku juga akan bersandiwara. Kita lihat saja, Mas. Siapa yang akan menangis di akhir. Mereka punya rencana, aku pun akan menjalankan rencanaku.Aku menyudahi rekaman yang membuatku sesak itu, tak lupa aku kirimkan kepada Alex sebagai back up barang bukti. Pesan terkirim tak berapa lama Alex langsung menghubungiku. Meskipun ini sudah tengah malam.[Halo Tuan Putri yang lagi galau]“Hentikan! Jangan mengolokku, aku beneran sakit hati tauk! Kamu belum menikah jadi tak tahu bagaimana rasanya di selingkuhi pasangan” moodnya sedang tak ingin diajak bercanda.Alex tak menjawab. Ah, jangan-jangan perkataanku melukai hatinya.“Maafkan aku, bukan maksudku untuk menyinggungmu ... Lex aku mint—“[Hahaha ... kena kamu Ra! Aku mana mungkin marah hanya karena perkataanmu! ]“Kurang aj*r kamu, Lex. Iseng banget, sih!” Ra
Kuusap air mata yang sedari tadi mencoba jatuh menggunakan tisu.“Aku ingin minta bantuan Papa untuk memecatnya bisa?” aku berharap Papa bisa berkata iya.Papa menghela napas.“Susah kalau itu, Nak. Tidak bisa langsung begitu saja. Apalagi tidak ada catatan buruk mengenai dirinya di perusahaan ini, tapi nanti biar Papa suruh orang untuk mengawasi kinerjanya gimana,” tawar Papanya.“Iya, Pah.” Aku pun sadar tak bisa sembarangan memecat karyawan tanpa alasan, Nanti biar kupikirkan lagi caranya. Yang jelas Papa sudah tahu dan jantungnya baik-baik saja.“Kapan kamu ke rumah? Mamamu sudah kangen berat,” tanya Papa.Mendengar pertanyaan Papa, aku bingung. Ingin rasanya aku kembali ke rumah Papa, tapi keenakan mereka menempati rumahku.“Besok kapan-kapan aku akan ke sana, Pa. Tapi tidak sekarang. Sampaikan saja salamku buat Mama. Aku mau pulang dulu. Capek habis dari puncak.”Papa menatap netra mataku. Terlihat mata Papa berkaca-kaca. Aku pun memeluknya erat sebelum berpamitan.Sampai di rum
“Iya, ini aku. Kenapa kamu kayak kaget gitu lihatnya? Tumben kamu jam segini masih tidur?Sarapan juga belum ada di meja, kita pulang lapar nggak ada makanan, kamu masak ya, Dek! Nanti aku mau kenalin seseorang buat kamu,” cerocos Mas Dani. Aku yang masih bangun tidur dan belum konek tiba-tiba tersadar mendengar ucapan terakhir dari Mas Dani. Ya, kalau mereka datang berarti perempuan itu juga datang. Kuatkanlah hatiku ya, Tuhan.Dan apa yang dia bilang tadi? Aku harus memasak dan melayani para benalu tak tahu diri itu? Aku tak sudi.“Aku lagi enggak enak badan, Mas. Habis subuh tadi minum obat, makanya aku tidur lagi,” aku sengaja berbohong. Aku memang sakit. Lebih tepatnya hatiku yang sakit. Lagipula malas rasanya masak untuk orang-orang pengkhianat seperti mereka.“Ya sudah, kita beli dulu saja. Tapi buat nanti siang kamu masak ya, Dek. Kalau beli terus bisa boros nanti,” kata Mas Dani sambil tersenyum. Cuih, aku tak akan bisa kami bodohi, Mas.Lakukan saja apa yang kamu mau, Mas!
Aku mengusap ujung mataku yang basah karena kebanyakan tertawa. Aku menatap Anggita dari atas sampai bawah. Sepatu high heelsnya dia tenteng begitu saja.“Kamu habis kecebur got dimana?” tanyaku masih menertawai penampilannya.Dia menaruh sepatunya dengan kasar. Hampir saja mengenai kakiku.“Mbak ini keterlaluan! Teganya padaku. Mana ada gurameh harganya dua puluh ribu. Mana aku nggak bawa Hape dan nggak bawa uang!” sungut Anggita.“Jadi kamu nggak dapat ikannya?”“Ya enggaklah!” sungutnya.“Kamu sendiri yang bod*h, sudah tahu gurameh harganya mahal, masih juga menerima uang dari Mas Dani tanpa minta tambah.Kamu nggak bawa dompet dan nggak bawa hape? Salah siapa? Bukannya penampilanmu seperti ini karena kebod*hanmu sendiri?!”“Arghh! Kamu menyebalkan, Mbak!”Anggita masuk ke dalam rumah dengan menghentakkan kakinya. Dia berjalan menuju kamar depan. Padahal kamar itu sudah ditempati Ibu. Tentu saja aku mencegahnya.“Eh, tunggu! Itu sudah ditempati sama Ibu. Kamar Yang di atas kamar Mb
“Siapa yang tidak berguna, hah? Aku atau kedua saudara tersayangmu itu?! Dari dua tahun yang lalu aku yang mengerjakan semuanya tanpa sedikit pun kakakmu mau bantu. Demi baktiku padamu. Tapi malah ini yang kudapat?Kamu tahu, Mas? Bahkan pakaian dalam kakak dan adikmu aku yang mencuci! Harusnya mereka malu! Mereka bukan bayi yang harus dicucikan setiap hari!Aku ini istrimu, bukan babu mereka! Lagian kamu tahu sendiri, Mas! Rumah ini milikku, Harusnya mereka tahu diri kalau hanya menumpang di sini. Tapi apa balasannya? Bukannya berterima kasih malah mau seenaknya. Tadi aku hanya bilang mulai sekarang silakan masak sendiri-sendiri. Sudah cukup aku menjadi babu di rumahku sendiri. Aku sudah muak!!” Terengah-engah aku mengeluarkan semua emosiku.“Dek ....” Mas Dani berusaha meredam emosiku.“Aku belum selesai, Mas. Aku tak tahu apa yang dilaporkan Mbak Nia kepadamu. Dan kamu? Seharusnya sebagai seorang suami dan adik, kamu bisa jadi penengah! Bukan malah membela kakakmu dan menyalahkank
Dengan sedikit perdebatan, Akhirnya mau tak mau Mas Dani keluar membeli obat untuk Anggita. Dia mengambil kunci mobil dengan tergesa-gesa, bahkan kakinya sampai terantuk meja karena berlari kecil di dalam rumah dan tak memperhatikan sekitar.Mas Dani menghidupkan mesin mobilnya dan berlalu. Tak sampai satu jam ia sudah kembali dengan obat oles dan beberapa pil. Aku tak tahu bagaimana Mas Dani mendapatkan obat itu.Dia menuju dapur, mengambil segelas air putih untuk membantu istri mudanya minum obat. Dengan telaten dia memberikan obat itu kepada Anggita, sama sekali tak ada rasa cemburu. Sepertinya rasa cemburu kalah dengan rasa marah. Secepatnya aku ingin menendang mereka semua dari rumah ini. Namun aku harus bersabar sedikit lagi.“Dek, kenapa kamu suruh Anggita tidur di kamar pembantu? Kasihan kan? Kamarnya kecil begitu?” tanya Mas Dani sepulangnya dari kantor.Ya, setelah memberi obat itu, ia kembali ke kantor. Dan menjelang malam, dia baru pulang. Kami berbincang di ruang tengah.
Enak saja! Jangan harap kamu bisa seenaknya mengambil uangku, Mas!“Betul itu, Mas kemarin temanku ada yang nikah di hotel bintang tiga, katanya habis hampir lima ratus juta. Aku tak mau kalah, besok untuk resepsi kita sewa bintang lima ya, Mas.” Mata Anggita berbinar. “Bisa diatur, Sayang. Sekarang layani Mas dulu. Udah enggak tahan ini.”Mereka melanjutkan dengan hubungan suami istri. Terdengar Anggita mendesah. Aku merekam, tapi tak mau melihatnya. Tak kuhiraukan rasa sakit di hati. Aku harus terbiasa. Toh aku sudah melepaskan Mas Dani untuk wanita itu.Hingga satu jam lamanya, aku sama sekali tak bisa tidur. Akhirnya aku putuskan untuk menghubungi seseorang. Aku segera mengubah tampilan layar ponselku, mencari kontak asistenku.(Halo, Bu Rara?) Ucap Lani.“Maaf, mengganggu malam-malam, tapi tolong besok kalau Bapak atau siapa pun anggota keluarga suamiku yang kalian kenal mau minta uang harus memakai tanda tanganku dulu sebelum mengeluarkan uang!” (Baik, Bu! Ada lagi?) tanyanya