Sudah satu minggu ini Firman harus rela menggunakan jasa taksi online untuk pulang pergi menuju kantor tempatnya bekerja, mobilnya yang biasanya digunakan oleh Firman, kini dipegang alih oleh Hilda.
Firman tak ingin berdebat panjang dengan istrinya, karena jika salah bicara, bisa-bisa Hilda bertindak bar-bar seperti waktu lalu.
Sejak Firman tak lagi menggunakan mobil pribadi, dia tak lagi bisa pulang malam dengan alasan lembur karena malam hari pasti taksi online sulit ditemukan.
“Udah sarapan belum Mas?” tanya Hilda yang baru saja selesai mandi sehabis lari pagi, karena ini hari minggu, Hilda memang biasa berolahraga disaat dia sedang libur kerja.
“Belum, memang kamu sudah masak?” tanya Firman yang sedang menikmati acara televisi diruang keluarga.
“Malas masak aku Mas, kamu traktir aku aja deh yok, kita cari sarapan diluar.” Ajak Hilda dengan antusias.
“Ya udah ayo.” Firman setuju lalu beranjak dari duduknya.
Mereka berdua pun bersiap-siap untuk mencari sarapan diluar, Firman menggunakan kaos berwarna putih dan celana jeans pendek, sedangkan Hilda menggunakan dress sebatas lutut berwarna biru.
Hilda menyerahkan kunci mobil kepada Firman, tak lupa Hilda mengecek satu persatu jendela diruang tamu dan samping rumah, memastikan apakah sudah terkunci rapat atau belum.
Setelah dirasa cukup aman, Hilda bergegas menyusul Firman yang sudah berada didalam mobil sebelumnya, tak lupa Hilda juga mengunci pintu utama.
“Kamu mau makan apa?” tanya Firman setelah mobil keluar dari halaman rumah.
“Eeeemmm, apa ya? Soto kayaknya seger ya.” Jawab Hilda.
Lengang, tak ada suara yang keluar dari bibir Hilda maupun Firman. Hilda sibuk dengan ponselnya, terkadang serius, terkadang tersenyum-senyum sendiri, sedangkan Firman fokus menyetir.
“Mas, aku lupa bilang sama kamu. Aku nemu ini,,,” ucap Hilda tiba-tiba sambil tangannya membuka dashboard mobil, dikeluarkan barang tersebut dari dalam dashboard.
“Ini punya siapa Mas? Masa iya punya kamu sih?” Hilda menyodorkan barang tersebut ke arah Firman.
Ciiittt!
Firman menghentikan laju kendaraannya secara tiba-tiba, sontak Hilda pun hampir terjerembab karena tak bisa mengendalikan dirinya.
Untung saja kondisi jalan masih cukup lengang, ada beberapa kendaraan namun jaraknya cukup jauh, jika tidak pastilah terjadi kecelakaan.
“Kamu kenapa sih Mas?! Mau bikin kita celaka?!” ucap Hilda kesal.
“Oh eh, maaf, Mas cuma kaget aja tadi. Kamu nggak apa-apa kan?” Firman tampak gugup.
Firman pun menepikan mobilnya ke tempat yang aman.
Firman kaget karena barang yang ditunjukkan oleh Hilda tadi adalah buku raport yang sudah satu minggu ini dicari-cari oleh sang empunya.
Bahkan sang pemilik sampai enggan pergi ke sekolah sebelum buku raport miliknya ditemukan, dan kini justru buku itu ada pada Hilda.
Firman terlihat pucat pasi, dia berusaha mencari alasan jika Hilda menginterogasi dirinya.
“Kamu kenal sama pemilik buku ini Mas?” tanya Hilda menyelidik.
“Oh, iya, itu milik anaknya temanku. Ternyata kamu simpan ya, sini biar Mas kembalikan besok.” Jawab Firman berusaha tersenyum menutupi kegugupannya.
“Iya, sudah satu minggu buku ini aku simpan Mas. Dan kamu nggak mau tau Mas dimana buku ini aku temukan?” tanya Hilda lagi sambil menatap tajam ke Firman.
“Me-memangnya kamu temukan dimana buku itu Hil? Didalam mobil ya?” Firman merasa akan dikuliti hidup-hidup oleh Hilda.
“Eeemmm dimana ya? Sebentar,,, Oh iya, aku ingat Mas, didalam koper kamu, bersamaan dengan lipstick yang entah sampai sekarang juga aku tidak tahu siapa pemiliknya. Atau lipstick itu milik ibu pemilik buku raport ini Mas?!” tatapan Hilda makin tajam ke arah Firman.
“Iya, itu punya temanku. Kan kemarin aku udah menjelaskan ke kamu kalau lipstick itu milik teman kantorku dan sekarang buku raport anaknya juga ikut kebawa juga dikoper aku.” Firman berusaha menetralkan rasa gugupnya.
“Oh ya udah Mas, siapa nama ibu dari pemilik buku ini Mas? Soalnya data yang ada didalam raport ini hanya ada nama Ayahnya saja, Firman Ardiansyah, persis banget sama nama kamu ya Mas, eh apa jangan-jangan itu beneran kamu Mas?” kini posisi tubuh Hilda pun menghadap ke arah Firman sepenuhnya.
“Ya nggaklah, itu cuma namanya doank yang sama Hil, jangan mengarang cerita yang bikin kita berantem deh. Kamu nggak capek apa udah satu minggu ini lho kita berasa perang dingin.” Firman berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Hehehe, iya maaf ya Mas kalau aku sering marah-marah sekarang, aku takut kalau kamu menduakan aku. Atau kamu membohongi aku.” Hilda memasang wajah memelas sambil.
“Iya, kita jangan bertengkar lagi ya, aku ingin kita kembali bahagia seperti sebelumnya Hil.” Firman merengkuh bahu Hilda.
“Besok akan ku kembalikan buku raport ini ke temanku dan juga lipsticknya. Dari kemarin sebenarnya dia sudah menanyakan, namun aku tak tahu jika buku ini ada di kamu.” Ucap Firman lembut.
“Mas, biar aku saja yang mengembalikan buku ini, aku juga mau minta maaf padanya karena sudah berburuk sangka hanya karena melihat nama ayahnya sama dengan nama kamu. Aku jadi cemburu buta Mas.”
“Nggak usah Sayang, kamu nggak perlu repot-repot datang ke kantor aku, sini biar Mas bawa aja ya?” bujuk Firman.
“Loh, aku nggak akan datang ke rumahnya Mas, kita ajak saja keluarga mereka makan malam bersama, siapa tahu aku juga bisa menjadi teman mereka kan, pasti Alifa, pemilik buku ini juga cantik dan pintar.” Ucap Hilda berbinar.
“Kalau Mas bilang nggak usah ya nggak usah Hil, ada-ada saja pake acara makan malam bersama. Udah sini mana buku sama lipsticknya?!” suara Firman kini berubah menjadi penuh amarah.
“Nggak Mas! Aku nggak akan berikan buku ini kecuali kepada pemiliknya langsung! Oohh, jangan-jangan memang benar kamu ada main dengan ibunya Alifa, hem?” ucap Hilda tak kalah garang.
Sontak saja wajah Firman kembali pias, rupanya Hilda sangat sulit sekali untuk dibujuk, bahkan semakin dilarang, Hilda semakin berani.
Berulang kali Firman membuang nafas secara perlahan, mencoba untuk mencari alasan yang tepat kepada Hilda, namun faktanya nihil, buntu kali ini pikiran Firman.
“Oke, aku akan bilang kepada temanku bahwa kita akan mengadakan makan malam bersama keluarga kita masing-masing. Aku akan buktikan pada kamu jika tuduhan kamu kepadaku itu salah.” Ucap Firman mengalah lagi.
“Oke Mas, kapan waktunya kamu jangan lupa kasih kabar ke aku ya, aku yang akan pilih tempatnya.” Ujar Hilda dengan senyum puas.
Firman terlihat makin gelisah, terlebih lagi begitu mereka sampai dirumah makan soto , Firman sudah tak ada nafsu untuk menikmati makanan tersebut, berbeda dengan Hilda yang tampak sangat menikmati soto sapi yang terhidang dihadapannya.
Firman sedang memikirkan apa yang harus dia lakukan besok? Tak mungkin dia mengajak Alifa dan ibunya untuk makan malam bersama dengan Hilda.
PoV HildaAku pikir 3tahun pernikahanku dengan Mas Firman adalah waktu yang cukup untuk kami saling mengenal lebih dalam tentang kelebihan kita masing-masing dan bisa saling mengisi kekurangan dalam diriku dan Mas Firman, namun faktanya tidak.Mas Firman, yang aku berikan kepercayaan sepenuhnya ternyata menyimpan kebohongan dan kebusukan, meski aku belum tahu pastinya namun aku yakin dia telah mengkhianati pernikahannya denganku.Kini aku harus mencari tahu sendiri sejauh mana kebohongan yang telah dia sembunyikan selama ini dariku.Aku mengenal Mas Firman melalui Riana yang merupakan temanku sejak dibangku kuliah. Dia bilang jika Mas Firman ini adalah tetangga Riana dikampung dan halaman, dan dia ke kota karena ingin mencari pekerjaan.Aku pun membantu Mas Firman untuk mencarikan pekerjaan, kebetulan orangtuaku memiliki koneksi yang cukup luas karena Papaku memiliki perusahaan yang cukup bonafide di kota ini sehingga tak perlu waktu lama mencarikan pekerjaan untuk Mas Firman.Baik Ri
Pov Firman Aku memutuskan untuk mencari pekerjaan yang layak dikota besar, dan kebetulan sekali sepupuku, Riana, memiliki teman disana, bahkan Riana juga kini bekerja disana berkat bantuan temannya itu. Ya, 4tahun yang lalu aku merantau ke kota, ku tinggalkan anak istriku demi membahagiakan mereka, Elisa istriku, tidak ingin hidup susah terus menerus. Meski awalnya aku berat untuk meninggalkan Elisa dan Alifa putri kecilku, namun harus ku lakukan, dan janjiku pada Elisa jika aku sukses, aku akan membawa mereka juga untuk tinggal di kota. Setelah sampai dikota, aku menyewa sebuah kamar kost, tak apalah sempit asalkan bisa untuk tempat berteduh dan mengistirahatkan badan. Keesokan harinya aku dikenalkan kepada Hilda yang merupakan teman Riana. “Kenalin Hil, ini yang namanya Mas Firman,” Riana mengenalkan aku pada Hilda. “Hai, Hilda,” ucap Hilda tersenyum sambil mengulurkan tangannya. “Saya Firman mbak,” ucapku gugup sambil menjabat tangan Hilda. “Mas Firman sebelumnya kerja dima
Dengan perasaan kesal, Hilda melajukan kendaraannya menuju Jalan Sudirman, dia berencana menemuai Riana dikostnya.Hilda tak mempedulikan lagi Firman yang masih terpaku dikantornya, sudah besar ini nanti juga bisa pulang sendiri, pikir Hilda.Hanya butuh waktu sekitar 20menit untuk sampai ditujuan, nampaknya Riana juga sudah tiba dikostnya, kendaraannya sudah terpakir disana.Tok Tok TokHilda mengetuk pintu kamar Riana dan mengucapkan salam, tak menunggu lama terdengar suara seseorang memutar anak kunci pintu tersebut.“Hilda? Lho kok kamu bisa tiba-tiba disini?” Riana tercengan mendapati Hilda yang sudah berdiri diambang pintu.“Kamu itu bukannya menjawaba salamku malah bengong gitu,” ucap Hilda terdengar kesal.“Ya habisnya kamu nggak biasanya aja tiba-tiba datang kesini Hil.” ucap Riana tanpa menyuruh Hilda untuk masuk ke dalam.“Berarti aku nggak boleh nih main kesini? Ya sudah, aku pulang aja, maaf kalo ganggu kamu!” Hilda dengan kesal langsung memutar balik tubuhnya dan hendak
Sudah 3hari Hilda merasa kondisi tubuhnya makin kurang sehat, tak ada sesuap nasi pun yang masuk ke dalam perutnya, dia hanya bisa makan buah itu pun jenis tertentu.Dia juga sudah memeriksakan keadaanya, dokter mengatakan jika Hilda positif hamil dan usia kandungannya memasuki 5bulan.Hal ini sebenarnya yang ditakutkan oleh Hilda, disaat dia mencium kebusukan sang suami, namun Tuhan memberikan hadiah yang seharusnya menjadi hadiah terindah bagi dia dan Firman.Tok Tok Tok“Hil, kamu masih nggak enak badan? Kamu masih cuti hari ini? Mau aku antar ke rumah sakit?” tanya Firman diluar kamar sambil mengetuk pintu kamar Hilda.Tak ada jawaban apapun dari Hilda, Firman sebenarnya khawatir kondisi Hilda, namun sejak pertengkaran terakhir, Hilda benar-benar menghindar dari Firman, bahkan Firman tak pernah bertemu dengan Hilda meskipun sebenarnya Hilda berada dirumah.Hilda sengaja tak ingin bertemu dengan Firman, dia tak ingin suaminya
Brak!!!Hilda menutup pintu mobil bagian penumpang depan dengan begitu kencang, emosinya kali ini sudah benar-benar diubun-ubun kepala.Firman yang duduk dikursi pengemudi sambil terlonjak mendengar kencangnya suara pintu mobil ditutup, kali ini mau tak mau Hilda harus satu mobil dengan Firman, karena Firman yang bersikukuh ingin mengantar Hilda ke rumah sakit guna memeriksakan Hilda.Tak mungkin Hilda menolak, karena Firman juga sudah berpamitan dengan Alex bahkan dihadapan Hilda sendiri, dengan menjaga nama baik hubungan Hilda dan Firman, akhirnya Hilda menyetujui.“Jangan marah-marah tak jelas Hil, kamu jangan mudah percaya ucapan dari temanku, mereka hanya bergurau,” Firman berusaha meredakan emosi Hilda.“Baiklah, kalau begitu besok aku akan menemui teman kamu Mas untuk menanyakan langsung benar atau tidak ucapannya.” Jawab Hilda datar sambil memandang keluar jendela.“Tak baik jika kamu berburuk sangka terus dengan aku, biar bagaimanapun aku ini masih suami kamu Hilda, kamu waji
“Hai Hil, kenapa kamu bisa tiba-tiba datang kemari? Bukankah kamu tadi ke rumah sakit diantar oleh Firman?” tanya Alex setelah Hilda masuk ke dalam ruangannya.“Ada yang perlu aku tanyakan dengan kamu Alex, soal Firman. Benarkah dia sering kau tugaskan keluar kota untuk tugas kantor, meeting dengan para klien?” tanya Hilda.“Tidak, aku tak pernah menyuruhnya untuk pergi keluar kota.” Jawab Alex.Hilda seketika diam membisu, kini semakin banyak kebohongan Firman terungkap olehnya.“Apa ada sesuatu yang terjadi dengan hubungan kalian?” selidik Alex.Sebenarnya Alex dan Hilda sudah berteman sejak lama, bahkan kedua orang tua mereka pun sudah saling kenal, sebelum Firman mempersunting Hilda, awalnya mereka akan dijodohkan, namun Hilda menolak secara halus.Hilda kini bingung, hendak menceritakan soal rumah tangganya kepada Alex atau tidak, karena sejujurnya dia tak ingin membuka aib keluarga dia sendiri kepada orang lain, apalagi Hilda juga belum memiliki bukti yang jelas jika Firman mend
Malam ini Hilda terpaksa harus dilarikan ke rumah sakit oleh Firman, karena tubuhnya terkulai lemas, bahkan suhu badannya pun cukup tinggi. Sampai dirumah sakit Hilda langsung ditangani oleh seorang dokter, dan karena Hilda benar-benar drop, dokter menyarankan agar Hilda dirawat inap. Setelah mengurus administrasi dan mendapatkan kamar inap, akhirnya Hilda pun dipindahkan ke ruangan. “Apakah selama ini Ibu Hilda tidak pernah meminum vitamin dan obat anti mualnya Pak?” tanya dokter yang menangani. “Maaf Dok, saya juga kurang tahu.” Jawab Firman. “Pak Firman, saya harap Bapak bisa lebih perhatian terhadap Ibu Hilda, apalagi usia kandungannya yang masih dalam trimester pertama terlalu rentan dengan keguguran, apalagi sepertinya Ibu Hilda benar-benar tidak dapat menerima makanan. Ini sebenarnya biasa terjadi pada usia kandungan yang masih muda, oleh sebab itu peran seorang suami sangatlah penting disaat seperti ini.” Terang sang dokter terhadap Firman sambil tersenyum “Kandungan Dok?
Alifa kini sedang ditangani oleh dokter dan perawat di UGD, Elisa menanti didepan pintu ruang UGD dengan perasaan yang cemas. Tadi sebelum tiba dirumah sakit, Alifa mengalami mimisan dan juga mengigau memanggil nama ayahnya. Elisa mencoba menghubungi Firman, untungnya kali ini Firman menerima panggilan darinya. “Ya, halo,” jawab Firman diseberang sana. “Kamu dimana Mas?! Kenapa kamu tak menjawab panggilanku?! Alifa kini masuk rumah sakit!” ujar Elisa dengan nada sedikit tinggi. “Apa??!!!” Firman yang mendengar kabar jika Alifa juga masuk rumah sakit pun tampak shock. “Cepat datang kesini Mas!” pinta Elisa kini sambil menangis. “Halo? Maaf ini siapa ya?” terdengar suara seorang wanita dari seberang sana. Sadar jika yang baru saja bicara adalah Hilda, Elisa pun memutuskan panggilannya. Kini Elisa menangis sendiri, saat ini dia hanya bisa berdoa untuk kesembuhan Alifa, menunggu kabar dari dokter yang masih ada didalam. “Keluarga atas nama Ananda Alifa?” terdengar suara seorang p