“Hey, Jo!” sapa Shienna yang kemudian dengan segera, pria yang ia panggil Jo meraihnya masuk ke dalam dekapan. Mereka berpelukan cukup lama hingga menyadari kalau Jennifer tengah memerhatikan mereka berdua. “Ahem! Aku tahu kalau kalian saling merindukan. Uhm, maksudku mungkin Jo yang lebih merindukanmu, Shie. Ia terus menanyakan kabarmu sejak kau menghilang.” Shienna hanya tersenyum mendengar ucapan Jennifer dan memandang Jonathan yang pipinya memerah seperti buah plum. “Wajar saja kalau aku mencemaskanmu. Kau biasanya selalu meramaikan rumah kami. Sejak ayah dan ibu kami pindah, rumah ini terasa sepi,” jawab Jonathan. “Ya, sepi karena kau lebih suka kehidupan private di apartemenmu bersama wanita-wanita cantik yang menghangatkan ranjangmu setiap malam, kan? Hmmph!” Jennifer meronta karena Jonathan kini tengah membekap mulutnya yang tak henti bicara.Sementara itu, Shienna hanya memerhatikan kekompakan dua saudara kembar itu dengan senyum terkembang. Ia merindukan suasana seperti
“Shie? Apa yang kau lakukan di tempat ini?” tanya pria itu dengan gesture tampak canggung dan seperti seseorang yang terpergok telah melakukan kejahatan. Ia tampak celingukan seolah memastikan dengan siapa Shienna datang kali ini. “Ah, sial! Apakah kau bekerja di tempat ini, Jo?” Shienna balik bertanya dengan canggung. “Uhm, ya ... itu ... Apakah kau pegawai baru yang akan melamar sebagai pengajar?” “Ya. Kurasa begitu. Namun, aku tidak memiliki detail informasinya dan aku takut kalau aku salah telah datang kemari.” “Oh, tentu saja tidak. Kami memang mencari pengajar untuk mengisi kelas Cello dan piano. Tapi kau pasti tahu kalau orang yang menguasai alat musik cello memang cukup langka.” “Kami?” “Ya, maksudku tempat ini. Mari, aku akan memperkenalkanmu dengan pemilik D’Maestro.” Jonathan memandu Shienna untuk ikut dengannya dan bertemu dengan seorang pria yang tampak bingung ketika Jonathan mengenalkan Shienna padanya. “Ini Damien, pemilik D’Maestro dan ia akan menjelaskan semua i
Sudah beberapa bulan berlalu tanpa hasil dan hal itu membuat Bryan enggan untuk beranjak dari kasur hari ini. Seluruh dunia seolah hanya menyisakan puing-puing tak berarti baginya semenjak kepergian Shienna. Tak ada satu pun hal yang membuatnya bergairah seperti dulu. Saat Shienna memutuskannya, ia masih bisa bangkit dan berusaha menjadi pria sesungguhnya, karena ia berharap akan bisa bertemu dengan Shienna kembali, tetapi ketika untuk kedua kalinya Shienna pergi meninggalkannya, Bryan tak lagi memiliki keyakinan itu. Ia yang sejak tadi hanya menatap langit-langit kamar, akhirnya menyalakan televisi dan menemukan berita yang membuat ingatannya kembali berputar pada Shienna yang selama ini menjadi poros kehidupannya. ‘Kabar terbaru dari Shienna yang telah kembali memakai nama belakang sang ayah setelah berpisah dari sanga billionaire, Bryan Sanders. Ia juga memutuskan untuk tidak kembali ke dunia hiburan yang telah membesarkan namanya.Hanya saja, tak ada yang mengetahui keberadaanny
Shienna masih tepekur di kamarnya dan memikirkan apa yang ia saksikan di televisi. Bryan mengatakan hal semanis itu dan hal itu membuat niatnya untuk mengubur segala tentang Bryan menjadi goyah. Sejak semalam, bahkan hingga matahari terbit, ia masih terjaga dan merasakan kepalanya mulai terasa pening. Akan tetapi, memejamkan mata dan melupakan segalanya ternyata tidak semudah itu. Ia sudah berencana untuk mencari tempat tinggal yang akan ia tempati setelah rumah lamanya laku terjual. Ia tak bisa menunda, meski Jennifer tidak keberatan akan keberadaannya di rumah itu, tetapi Shienna merasa tidak nyaman terus-menerus merepotkan sahabatnya itu. Shienna mengambil ponsel dan menghubungi sebuah nomor yang segera mendapat jawaban dari seberang sana. “Uhm, Jo, maafkan aku. Bisakah kau menyampaikan pada Damien kalau hari ini aku akan mengambil cuti. Ada beberapa hal yang harus kuselesaikan,” ucap Shienna pada lelaki di saluran seberang yang mendengarkan dengan kesadaran yang baru separuh.
“Bryan, hentikan! Kau bisa sakit jika terus melakukan hal ini!” cegah Edward ketika Bryan hendak menenggak minuman di gelasnya. Entah sudah berapa gelas yang ia minum sejak dirinya tiba di kelab. Namun, Bryan tak peduli. Bahkan perkataan Edward pun tak ada satu pun yang masuk ke telinganya. “Jangan mencegahku, Ed. Aku sedang menikmati hidup dan merayakan hadiah dari Tuhan untukku.” “Apa maksudmu? Kau sedang sakit, Bryan. Kau harus ingat itu. Apakah kau memang sengaja ingin mati, huh?!” Bryan menghentikan tawanya yang sejak tadi membahana. Ia sedang menertawai diri sendiri yang bernasib malang setelah kehilangan cinta sejati, ia sebentar lagi akan kehilangan nyawa. Maka apa lagi yang harus ia lakukan selain merayakan kesialan hidupnya? “Seharusnya sekalian saja ia mencabut nyawaku saat itu. Benar, kan?” racaunya lagi. Edward memang kesal melihat sikap Bryan yang tak pernah berubah. Ia akan membiarkan dirinya jatuh sejatuh-jatuhnya sebelum akhirnya sadar dan bangkit. Namun sering ka
Bryan membuka mata perlahan dan merasakan kepalanya yang berdenyut sekaligus pengar. Ia tak segera beranjak dari ranjang, melainkan mengingat apa yang telah terjadi malam tadi.Ia menilik tubuhnya yang tak mengenakan sehelai pun pakaian dan teringat malam tadi ia dan Shienna telah menghabiskan malam penuh cinta dan gairah dan saatnya Bryan untuk memastikan kalau malam tadi ia tidak bermimpi. Anehnya, perasaan Bryan sekarang justru begitu pilu. Seolah hari ini tak akan ia temukan lagi sosok Shienna yang semalam membuatnya berhasil melepaskan kerinduan mendalam yang tak pernah bisa ia ungkapkan karena tak pernah berhasil menemukan istrinya itu. Perlahan dan ragu, Bryan menoleh untuk memastikan malam mereka adalah kenyataan, tetapi ia justru menemukan kegilaan dan drama lain yang tak bisa ia percayai. Bukan Shienna yang tengah berbaring di sampingnya tanpa mengenakan busana, melainkan wanita lain. Wanita yang tak pernah ia harapkan untuk datang dan muncul di hadapannya terlebih dengan
Bryan tertegun dengan tatapan tertuju pada pemandangan menyesakkan di hadapannya. Shienna tampak begitu ceria, tersenyum bahagia, dan sesekali membiarkan pria di hadapannya menggenggam tangannya. Bryan meremas garpu yang sejak tadi berada dalam genggamannya dan hendak bangkit untuk menuju ke sana. Amarah Bryan membuncah. Dalam benak dan pikirannya kini adalah Shienna dengan sengaja meninggalkannya menderita dan terus berusaha mencarinya, sementara dirinya justru bersenang-senang dengan pria lain. Bryan tak mengenal siapa pria itu. Artinya, dia hanyalah orang yang baru saja masuk ke kehidupan Shienna. Sayangnya, Bryan telah salah. “Mengapa wajahmu begitu muram? Apakah ada masalah?” tanya pria yang kini telah melepaskan genggaman dari tangan Shienna. Shienna menggeleng dan kembali menyunggingkan senyum, menyeruput milkshake di dalam gelasnya hingga tersisa separuhnya. “Apakah kau yakin akan keluar dari rumah Jennie? Ia pasti akan senang jika kau tetap tinggal di sana.” Shienna mendes
Urusan dengan pekerjaan telah ia selesaikan dan Shienna kini mengemudikan mobil menuju ke sebuah tempat yang sejak beberapa hari lalu ingin ia kunjungi. Ia mempercepat laju kendaraan dan bergegas turun ketika mobilnya telah berada di halaman parkir di basement sebuah bangunan yang tak kalah megah dengan kantor milik Bryan. Shienna berdiri di depan meja front desk untuk meminta waktu bertemu dengan seseorang, tetapi pegawai tersebut memintanya untuk menunggu. “Apakah kau tidak tahu siapa aku? Bosmu sangat mengenalku yang artinya kau akan mendapat masalah kalau menghalangi tujuanku bertemu dengannya,” tutur Shienna yang mulai tak sabar. “Maafkan kami Nona Miller, tetapi Tuan Hashimoto sedang ada meeting yang mungkin akan selesai satu jam lagi. Jika berkenan, silakan menunggu di lobi. Kami akan mempersilakan Anda masuk jika Tuan Hashimoto sudah selesai.” “Aku tidak butuh izin kalian!” Shienna menegaskan dan mulai memutar tubuh lalu masuk ke dalam lift yang terbuka, berkumpul bersama p