PEMB4LUT SUAMIKU (10)"Ibuk, malam ini Mira gak mau tidur sama Bapak. Tolong ya, Buk. Mira takut ...." Mira tiba-tiba menghampiriku yang tengah memasak. Hatiku mencelos sekaligus kaget melihat dia menangis. "Kenapa, Nak? Apa yang terjadi sama Bapak?""Aku gak mau lagi tidur sama Bapak, Buk," isak Mira makin menjadi-jadi. "Iya, besok-besok Ibuk janji gak bakal ngizinin Bapak tidur di kamar kalian lagi. Tapi Mira juga janji ya cerita sama Ibuk?" Mira mengangguk sembari mengusap air matanya. "Ya sudah sekarang kamu mandi dulu gih. Siap-siap sekolah," perintahku yang kemudian dibalas anggukan olehnya. ***Mas Darma dan anak-anak sudah berangkat bekerja. Aku pun sudah siap dengan arit di tangan. Setelah libur kerja hampir satu minggu lamanya, akhirnya aku kembali dengan aktifitasku. Kemarin Bu Rodiyah memintaku untuk mengarit padinya yang sudah menguning. Hendak dipanen. Nantinya akan digiling memakai mesin untuk memisahkan antara padi dan daunnya. "Eh, Mi, tumben kerja lagi? Kupik
PEMB4LUT SUAMIKU (11)"Mbah ...," panggilku ragu. Dia menoleh. Namun, kembali membuang muka dan segera masuk ke kebun jagung. Seperti kemarin. Aku mengejarnya, memasuki kebun jagung. Rasa penasaran ini harus terungkap. Kenapa dia selalu mengawasiku. Akan ada kejadian apa memangnya di rumahku?Kulempar begitu saja arit yang kupegang. Lantas mengejar Mbah Marni memasuki kebun jagung. Beruntungnya aku memakai baju panjang, setidaknya tanganku tidak begitu gatal. Tanaman jagung tumbuh rapat berjajar. Aku kesulitan berjalan. Beruntungnya jejak Mbah Marni bisa kutemukan, jadi dengan mudah aku mengejarnya. "Mbah ... tolong Mbah saya mau bicara. Berhenti, Mbah!" teriakku memanggilnya. Namun, tak ada sahutan dari Mbah Marni. Dia terus berjalan. Meski tubuhnya sudah renta dan bungkuk, rupanya tenaganya masih cukup kuat. Mbah Marni berjalan cukup cepat. Tanganku mulai perih tergores daun jagung yang cukup tajam. Rasanya aku sudah cukup jauh berjalan. Gelap, pengap. Hanya tumbuhan jagung yan
PEMB4LUT SUAMIKU (12) Ya, Tuhan, Mas Darma! Tidak, tidak mungkin dia melakukan itu. Mungkin Mira hanya mimpi atau berhalusinasi saking takutnya sama Bapaknya. "S-sekarang, A-aku keluar da-darah, Buk ...." Aku mendelik mendengar perkataan Mira. Jantung seolah berhenti berdetak beberapa saat, lalu berpacu dengan dua kali lipat lebih hebat. Tubuhku panas dingin. Gemetar. "D-darah? Di mana, Nak?" tanyaku gagap dengan bibir gemetar. Mira masih di pelukanku. Tubuhnya berguncang karena Isak tangisan. "Di kem4luanku, Buk," sahut Mira. Tangisnya kian histeris. Mendengar itu, aku seolah tak bisa bernapas. Dadaku sesak dan berat. "Astaghfirullahal adzim, Mira! Ya Tuhan," gumamku dalam hati. Aku tak berani mengutarakannya khawatir Mira makin menangis. Pikiranku berkecamuk. Tak mungkin kan Mas Darma sudah melakukan hal yang tak seharusnya dia perbuat pada putrinya sendiri? Tidak, tidak mungkin! Mas Darma bukan orang seperti itu. Jika memang benar Mas Darma melakukan hal buruk p
Lagian kenapa Mas Darma seolah begitu memaksa? Aku pun belum sepenuhnya percaya padanya. Terlebih mengingat perkataan Mira jika semalam Mas Darma sempat menciumi pahanya.Namun, aku tak berani menanyakan itu sekarang. Aku yakin Mas Darma tidak akan mengaku. Pasti nanti hanya akan menciptakan keributan. Biarlah kucari tahu semuanya sendiri. Aku melipat celana Danu, dan meletakkannya di lemari kamarnya. Anak-anak sudah tertidur pulas, terlihat dari dengkuran halusnya. Setelah itu aku pun masuk ke kamar dan membaringkan tubuh di kasur. Sebenarnya aku seringkali merasa mual, karena aroma busuk dari ransel Mas Darma yang berisi pembalut bekas. Sepertinya dia belum membuang pembalut-pembalut itu. Aku sendiri tak berani membuangnya. Beruntungnya kamar ini memiliki jendela, tiap hari kubuka untuk mengusir aroma busuk tersebut. Namun ketika menjelang malam kututup, tak berani membuka jendela malam hari khawatir ada binatang berbahaya yang masuk, mengingat rumah kami berada di tengah ladang.
"M-mulutmu berdarah." Kuhampiri dia dan menyentuh bekas darah di sudut bibirnya. Khawatir Mas Darma terluka. Namun, aroma amis dan anyir tercium kuat ketika aku mendekat. Aku tertegun. Untuk meyakinkan, kuhidu darah di tangan, benar, tak salah lagi. Ini bukan darah biasa, melainkan darah haid!Aku perempuan. Aku hapal betul aroma darah haid dan darah luka. Jelas berbeda. Aku yakin ini darah haid. Huek!Seketika aku berlari ke kamar mandi dan memuntahkan isi perut. Aku tak tahan aroma amisnya. "Mas! D-darah apa itu di mulutmu? Dan dari mana kamu?!" todongku setelah kembali dari kamar mandi. Aku yakin kali ini Mas Darma tak bisa mengelak lagi. "Maksudmu apa, Laksmi? Aku terluka," sahut Mas Darma gugup. Dia merintih, tetapi kulihat dia hanya berpura-pura. Jelas aku perhatikan sorot matanya, tidak ada kejujuran di sana. "Bohong! Jangan pikir aku tidak tahu, Mas! Aku perempuan dan aku hapal bau darah haid. Yang di mulutmu itu darah haid perempuan, kan?" ujarku menggebu tanpa basa-ba
"Astaghfirullah!" pekikku terkejut melihat benda yang dipegang Danu. Cincin bermata biru milik Mas Darma. Kerongkonganku seolah mengering seketika. Susah payah aku meneguk ludah. Lidahku seakan kelu. Habislah sudah! "Kenapa, Buk? Cantik kan? Makanya aku suka," ujar Danu polos. Aku menatap Danu nanar. Jika menuruti logika, rasanya aku ingin marah dan membentaknya habis-habisan. Namun, aku kembali mengingat bahwa dia masih anak-anak. Dia juga tidak mengerti apa yang dialami orang tuanya. Tubuhku kaku, membayangkan bagaimana murkanya Mas Darma ketika tahu cincinnya kembali hilang. Belum selesai perkara ucapanku semalam, kini malah ditambah masalah cincin yang Danu ambil. "Danu! Kan sudah Ibuk bilang jangan sembarangan mengambil sesuatu kalau bukan milik kamu. Apalagi kalau sampai menyentuh barang-barang milik Bapak!" jelasku hati-hati. "Cincinnya nyala semalam, Buk. Aku gak ngambil dalam tas Bapak, aku lihat ini di depan lemari, aku pikir mainan yang Ibuk janjikan," bela Danu. Aku
Lututku lemas. Aku jatuh terduduk. Kututup telinga dengan kedua tangan, berharap suara Mbah Marni tak lagi terdengar. "Laksmi!" Sentuhan di pundak membuatku menoleh. Seketika aku terjengkang ke belakang melihat Mas Darma sudah berdiri tepat di belakangku dengan mata memerah. Aku makin gemetar ketakutan. "Kamu kenapa? Siapa barusan apa ada tamu?" tanyanya. Aku menggeleng. "Kamu kenapa begini?" Mas Darma berjongkok di hadapanku. Aneh. Kenapa sikapnya menjadi manis seperti ini. Seperti tidak terjadi apapun sebelumnya. Apa Mas Darma melupakan ucapanku semalam? "Aku kaget, Mas. Barusan dengar siaran dari mushalla anaknya Bu Nur tetangga kita meninggal. Dia teman sekelas Mira," ujarku terbata-bata. Tentu saja itu hanya beralasan. Ekspresi wajah Mas Darma seketika berubah mendengar ucapanku. Dia terdiam sesaat, detik berikutnya dia menatapku intens. "Kamu! Sini kamu!" Mas Darma tiba-tiba mencekal pergelangan tangan dan menarikku kuat-kuat. Bahkan tubuh kurusku terseret teta
Sontak aku menoleh sesaat. Mendengar pembalut aku kembali mengingat Mas Darma. Apa jangan-jangan dia dalang di balik semua ini? Mengingat dia sering menjilati darah haid. Apa jangan-jangan ... ini ada hubungannya dengan Mas Darma?"Bisa jadi! Bisa saja karena darahnya dimakan kuntilanak jadinya berpengaruh ke orangnya. Ya kan? Nur sih gak percaya kalau dibilangin. Gak bisa didik anak dengan baik," timpal seseorang semakin memperkeruh suasana. "Hust sudah sudah! Gak baik membicarakan jenazah apalagi di rumah duka. Kasihan keluarga. Baiknya kita doakan, tak perlu berprasangka macam-macam yang jadinya malah menimbulkan fitnah. Hidup dan mati seseorang itu sudah diatur oleh sang pencipta." Budhe Yanti yang sejak tadi diam dengan wajah menahan kesal, kini pun ikut angkat bicara.Seketika semua orang pun terdiam. Bu Rumi tampak tak suka dengan ucapan Budhe Yanti. Terlihat dari bola matanya yang melirik Budhe Yanti sinis. Pekerjaan sudah selesai. Jenazah pun sudah siap hendak disalatkan.