Leary berjalan menyusuri jalanan setapak, rasa kesepian yang menjeratnya membuat dia pergi meninggalkan rumah. Mungkin tidak ada orang yang bisa dia ajak bicara dan bermain, namun cukup dengan melihat mereka berinteraksi dari kejauhan saja itu sudah cukup bagi Leary. Sudah dua hari lebih ibunya pergi, masih belum ada kabar kapan Olivia akan pulang. Stok makanan di rumah sudah habis, Leary takut kelaparan, uang yang Olivia berikan kepadanya juga menghilang karena di ambil oleh William. Kaki kecil Leary terus bergerak melewati rumput-rumput liar yang tumbuh dengan baik, Leary sempat diam berdiri melihat dari kejauhan sekelompok anak yang tengah bermain menikmati waktu akhir pekan mereka. Leary tersenyum terlihat senang meski harus melihat dari kejauhan dan tidak terlibat bermain. Setelah cukup lama melihat anak-anak seusianya bermain, Leary kembali berjalan cukup jauh, dia memutuskan duduk di atas batu pinggiran sungai, menantikan Jach satu-satunya orang menjadi teman Leary. Tida
“Terima kasih Jach.” Leary tersenyum lebar menikmati segelas air dengan roti kasar yang di olesi slai anggur. Leary duduk di depan rumah beralaskan sebuah papan, sementara Jach duduk di atas karpet kecil, membungkus beberapa kotak arang dengan sebuah kertas dan memasukannya ke dalam karung. Seharusnya hari ini Jach masih berkabung, namun karena Ogze tidak memiliki sanak keluarga, dan Jach tinggal sendirian, anak itu segera memilih kembali bekerja. Sejenak Jach memperhatikan Leary yang kini makan dengan lahap, mulut kecilnya terlihat penuh dan dia kesusahan untung menggigit karena roti yang keras. “Ibumu ke mana?” tanya Jach. “Ibuku pergi bekerja beberapa hari yang lalu.” “Apa pekerjaan ibumu sebenarnya? Kenapa kau ditinggal sendirian?” Tanya Jach dengan tangan yang masih sibuk merapikan arang di dalam kotak. Leary menelan rotinya perlahan. “Ibu pergi memburu hantu dan monster, karena itu sering pergi lama.” Jach langsung berdecih geli, jawaban Leary layaknya sebait kecil buku
Kematian Wony yang tidak terduga berhasil membuat semua orang terkejut dan menimbulkan kegaduhan karena selama ini Wony selalu sehat bugar tidak menunjukan tanda apapun. Dokter yang memeriksa kematiannya mengatakan jika Wony meninggal karena overdosis, beberapa pelayan yang ditugaskan mencari obat yang diduga menjadi penyebab kematian Wony langsung menemukan keberadaan obat itu di laci. Bukti overdosisi Wony karena obat semakin diperkuat dengan catatan dirinya yang beberapa kali pernah datang ke psikiater karena mengalami gangguan kesulitan tidur. Dari semua bukti yang ada, orang-orang menyimpulkan jika Wony kembali kesulitan tidur dan overdosis obat. Tidak ada tindakan lanjut yang di ambil atas kematian Wony, Darrel lebih memilih segera memakamkannya dengan cara yang sederhana dan tertutup, Darrel hanya mengizinkan beberapa orang yang boleh mengikuti prosesi pemakamannya. Kepergian Wony membuat orang-orang terdekat di kediaman McCwin merasa kehilangan dia, terutama Ellis putri
Tumpukan arang sudah tersusun rapi di dalam karung, butuh waktu lebih dari tiga jam untuk bekerja tanpa beristirahat hanya untuk bisa mendapatkan dua karung arang yang terbungkus. Jach memanggul di atas kepala dan membawanya pergi hendak di antar ke toko pemilik arang, Leary berlarian pergi mengikuti langkah kaki Jach yang berjalan di depannya. Gaun putih yang dikenakan Leary terlihat dipenuhi noda hitam arang, rambutnya yang diikat sudah berantakan, namun senyuman yang mengukir bibir Leary terlihat tidak memudar. Leary menikmati waktunya yang dia habiskan bersama Jach, dia senang membantu membungkus arang dan belajar menghitungnya ketika akan ditumpuk, Leary juga senang pergi ke kebun di samping rumah untuk memetik sekeranjang kecil paprika untuk dijual. Semua kesibukan yang mereka jalani membuat waktu bergerak seperti cepat berlalu. Langit sudah melewati pertengahan, kurang dari lima jam lagi akan tenggelam. Jach yang membawa karung besar arang tampak kesulitan, karena itulah
“Jalang! Kalian harus pergi dari desa ini! Aku muak, sejak kalian berada di sini, tidak ada yang berani keluar di malam hari lagi, dasar pembawa sial! Pembuat masalah!” teriak Kate terdengar sangat marah. Leary menelan salivanya dengan kesulitan, gadis kecil itu meremas sisi gaunnya dengan kuat terlihat ketakutan mendengar kata-kata kasar Kate yang dipahami. Tubuh Leary mulai gemetar, anak itu sedikit mundur mencoba mengumpulkan banyak tenaga untuk pergi. Menyadari kehadiran Leary, Jena langsung melempar embernya ke tanah dan mengahampirinya, wanita itu bertolak pinggang dan berdiri di hapadan Leary dengan tatapan bengis penuh dengan permusuhan. Keributan yang terjadi di antara pembunuh bayaran dan kelompok Morgan semalam berhasil mengusik ketenangan orang-orang yang tinggal di sekitar rumah, belum lagi ada banyak gerombolan orang berpakaian serba hitam dengan banyak tato dan tanda di tubuh mereka. Orang-orang yang tinggal di dekat rumah Olivia ketakutan setengah mati, mereka te
“Maaf, aku sudah menjadi teman yang buruk, harusnya aku menjaga Jach,” lirih Leary dipenuhi kekecewaaan terhadap dirinya sendiri. Leary kecewa karena dia tidak bisa menjaga teman satu-satunya dari orang yang sudah berbuat jahat, Leary ingin menjaga Jach, namun dia takut kepada Kate dan Jena. “Kau tidak perlu menjagaku karena aku kuat,” jawab Jach menghibur. Leary mengusap dadanya pelan, anak itu mencoba menghilangkan kekecewaan di dalam hatinya dan berhenti bersedih karena Jach ingin dirinya baik-baik saja. “Aku juga akan berusaha menjadi anak yang kuat agar Jach tidak perlu melindungiku.” Samar Jach tersenyum. “Bagaimana denganmu sendiri? Kau baik-baik saja?” “Aku baik-baik saja. Sebaiknya Jach pergi ke pasar sendirian, aku harus membersihkan rumah sebelum ibu pulang,” jawab Leary dengan senyuman yang dipaksakan. Jach terdiam, anak itu berdiri dalam kebimbangan melihat karung arang dan paprika yang belum di antar, jika Jach datang telat, pemilik toko akan mengomelinya. “Aku ak
“Ibu..” panggil Leary dengan tawa penuh kebahagiaan. Tubuh Olivia menegang, tangannya yang gemetar memegang erat sisi kursi roda untuk melepas emosional di dalam hatinya yang kini berkecamuk dipenuhi oleh kelegaan dan rasa bersalah. Olivia merasa lega karena dia bisa kembali pulang dengan segenggam harapan yang lebih pasti, disisi lain dia merasa bersalah karena pulang dalam keadaan terluka. Pupil mata Olivia gemetar, perasaan yang bercampur aduk di dalam hatinya berubah menjadi kemarahan, darah di nadinya memanas melihat putri kesayangannya berpakaian kotor lusuh dan rambut indahnya rusak acak-acakan. Apa yang sebenarnya terjadi? Seharusnya ada seseorang yang menjaga Leary meski mereka berada di posisi yang cukup jauh. “Ibu!” suara tawa Leary terdengar kian jelas, tangan mungilnya terbuka lebar, anak itu melompat ke dalam pelukan Olivia dipenuhi oleh kerinduan. “Aku senang Ibu pulang,” ucap Leary dengan pelukan yang erat. Olivia tertunduk membalas pelukan Leary dengan penuh keh
Olivia duduk di kursi rotan menikmati segelas teh sambil beristirahat, banyak cerita yang dia dengar dari mulut Leary mengenai apa saja yang telah terjadi selama Olivia pergi dari rumah. Olivia merasa sangat bersyukur karena kedatangan Morgan tepat waktu, kini Olivia tinggal bertemu Morgan untuk yang terakhir kalinya sambil menyerahkan apa yang sudah dia janjikan pada Elisio Hemilton. Bibir pucat Olivia sedikit terbuka, wanita itu menghela napasnya dengan berat melihat Leay yang kini sedang sibuk menikmati sepotong kue sambil membuka setiap lembar buku dongengnya untuk melihat setiap gambar yang ada. Sudah saatnya Leary belajar membaca., Olivia harus segera mengajarinya. “Ibu,” panggil Leary. “Ada apa?” tanya Olivia dengan suara yang kian serak. Dada Olivia kembali sesak sejak semalam, dia harus menahan rasa sakitnya meski sudah meminum obat. Leary melirik kue cokelatnya yang masih tersisa banyak, tiba-tiba dia teringat dengan Jach yang belum datang ke rumah. “Apa boleh aku mem