“Terima kasih Jach.” Leary tersenyum lebar menikmati segelas air dengan roti kasar yang di olesi slai anggur. Leary duduk di depan rumah beralaskan sebuah papan, sementara Jach duduk di atas karpet kecil, membungkus beberapa kotak arang dengan sebuah kertas dan memasukannya ke dalam karung. Seharusnya hari ini Jach masih berkabung, namun karena Ogze tidak memiliki sanak keluarga, dan Jach tinggal sendirian, anak itu segera memilih kembali bekerja. Sejenak Jach memperhatikan Leary yang kini makan dengan lahap, mulut kecilnya terlihat penuh dan dia kesusahan untung menggigit karena roti yang keras. “Ibumu ke mana?” tanya Jach. “Ibuku pergi bekerja beberapa hari yang lalu.” “Apa pekerjaan ibumu sebenarnya? Kenapa kau ditinggal sendirian?” Tanya Jach dengan tangan yang masih sibuk merapikan arang di dalam kotak. Leary menelan rotinya perlahan. “Ibu pergi memburu hantu dan monster, karena itu sering pergi lama.” Jach langsung berdecih geli, jawaban Leary layaknya sebait kecil buku
Kematian Wony yang tidak terduga berhasil membuat semua orang terkejut dan menimbulkan kegaduhan karena selama ini Wony selalu sehat bugar tidak menunjukan tanda apapun. Dokter yang memeriksa kematiannya mengatakan jika Wony meninggal karena overdosis, beberapa pelayan yang ditugaskan mencari obat yang diduga menjadi penyebab kematian Wony langsung menemukan keberadaan obat itu di laci. Bukti overdosisi Wony karena obat semakin diperkuat dengan catatan dirinya yang beberapa kali pernah datang ke psikiater karena mengalami gangguan kesulitan tidur. Dari semua bukti yang ada, orang-orang menyimpulkan jika Wony kembali kesulitan tidur dan overdosis obat. Tidak ada tindakan lanjut yang di ambil atas kematian Wony, Darrel lebih memilih segera memakamkannya dengan cara yang sederhana dan tertutup, Darrel hanya mengizinkan beberapa orang yang boleh mengikuti prosesi pemakamannya. Kepergian Wony membuat orang-orang terdekat di kediaman McCwin merasa kehilangan dia, terutama Ellis putri
Tumpukan arang sudah tersusun rapi di dalam karung, butuh waktu lebih dari tiga jam untuk bekerja tanpa beristirahat hanya untuk bisa mendapatkan dua karung arang yang terbungkus. Jach memanggul di atas kepala dan membawanya pergi hendak di antar ke toko pemilik arang, Leary berlarian pergi mengikuti langkah kaki Jach yang berjalan di depannya. Gaun putih yang dikenakan Leary terlihat dipenuhi noda hitam arang, rambutnya yang diikat sudah berantakan, namun senyuman yang mengukir bibir Leary terlihat tidak memudar. Leary menikmati waktunya yang dia habiskan bersama Jach, dia senang membantu membungkus arang dan belajar menghitungnya ketika akan ditumpuk, Leary juga senang pergi ke kebun di samping rumah untuk memetik sekeranjang kecil paprika untuk dijual. Semua kesibukan yang mereka jalani membuat waktu bergerak seperti cepat berlalu. Langit sudah melewati pertengahan, kurang dari lima jam lagi akan tenggelam. Jach yang membawa karung besar arang tampak kesulitan, karena itulah
“Jalang! Kalian harus pergi dari desa ini! Aku muak, sejak kalian berada di sini, tidak ada yang berani keluar di malam hari lagi, dasar pembawa sial! Pembuat masalah!” teriak Kate terdengar sangat marah. Leary menelan salivanya dengan kesulitan, gadis kecil itu meremas sisi gaunnya dengan kuat terlihat ketakutan mendengar kata-kata kasar Kate yang dipahami. Tubuh Leary mulai gemetar, anak itu sedikit mundur mencoba mengumpulkan banyak tenaga untuk pergi. Menyadari kehadiran Leary, Jena langsung melempar embernya ke tanah dan mengahampirinya, wanita itu bertolak pinggang dan berdiri di hapadan Leary dengan tatapan bengis penuh dengan permusuhan. Keributan yang terjadi di antara pembunuh bayaran dan kelompok Morgan semalam berhasil mengusik ketenangan orang-orang yang tinggal di sekitar rumah, belum lagi ada banyak gerombolan orang berpakaian serba hitam dengan banyak tato dan tanda di tubuh mereka. Orang-orang yang tinggal di dekat rumah Olivia ketakutan setengah mati, mereka te
“Maaf, aku sudah menjadi teman yang buruk, harusnya aku menjaga Jach,” lirih Leary dipenuhi kekecewaaan terhadap dirinya sendiri. Leary kecewa karena dia tidak bisa menjaga teman satu-satunya dari orang yang sudah berbuat jahat, Leary ingin menjaga Jach, namun dia takut kepada Kate dan Jena. “Kau tidak perlu menjagaku karena aku kuat,” jawab Jach menghibur. Leary mengusap dadanya pelan, anak itu mencoba menghilangkan kekecewaan di dalam hatinya dan berhenti bersedih karena Jach ingin dirinya baik-baik saja. “Aku juga akan berusaha menjadi anak yang kuat agar Jach tidak perlu melindungiku.” Samar Jach tersenyum. “Bagaimana denganmu sendiri? Kau baik-baik saja?” “Aku baik-baik saja. Sebaiknya Jach pergi ke pasar sendirian, aku harus membersihkan rumah sebelum ibu pulang,” jawab Leary dengan senyuman yang dipaksakan. Jach terdiam, anak itu berdiri dalam kebimbangan melihat karung arang dan paprika yang belum di antar, jika Jach datang telat, pemilik toko akan mengomelinya. “Aku ak
“Ibu..” panggil Leary dengan tawa penuh kebahagiaan. Tubuh Olivia menegang, tangannya yang gemetar memegang erat sisi kursi roda untuk melepas emosional di dalam hatinya yang kini berkecamuk dipenuhi oleh kelegaan dan rasa bersalah. Olivia merasa lega karena dia bisa kembali pulang dengan segenggam harapan yang lebih pasti, disisi lain dia merasa bersalah karena pulang dalam keadaan terluka. Pupil mata Olivia gemetar, perasaan yang bercampur aduk di dalam hatinya berubah menjadi kemarahan, darah di nadinya memanas melihat putri kesayangannya berpakaian kotor lusuh dan rambut indahnya rusak acak-acakan. Apa yang sebenarnya terjadi? Seharusnya ada seseorang yang menjaga Leary meski mereka berada di posisi yang cukup jauh. “Ibu!” suara tawa Leary terdengar kian jelas, tangan mungilnya terbuka lebar, anak itu melompat ke dalam pelukan Olivia dipenuhi oleh kerinduan. “Aku senang Ibu pulang,” ucap Leary dengan pelukan yang erat. Olivia tertunduk membalas pelukan Leary dengan penuh keh
Olivia duduk di kursi rotan menikmati segelas teh sambil beristirahat, banyak cerita yang dia dengar dari mulut Leary mengenai apa saja yang telah terjadi selama Olivia pergi dari rumah. Olivia merasa sangat bersyukur karena kedatangan Morgan tepat waktu, kini Olivia tinggal bertemu Morgan untuk yang terakhir kalinya sambil menyerahkan apa yang sudah dia janjikan pada Elisio Hemilton. Bibir pucat Olivia sedikit terbuka, wanita itu menghela napasnya dengan berat melihat Leay yang kini sedang sibuk menikmati sepotong kue sambil membuka setiap lembar buku dongengnya untuk melihat setiap gambar yang ada. Sudah saatnya Leary belajar membaca., Olivia harus segera mengajarinya. “Ibu,” panggil Leary. “Ada apa?” tanya Olivia dengan suara yang kian serak. Dada Olivia kembali sesak sejak semalam, dia harus menahan rasa sakitnya meski sudah meminum obat. Leary melirik kue cokelatnya yang masih tersisa banyak, tiba-tiba dia teringat dengan Jach yang belum datang ke rumah. “Apa boleh aku mem
Leary duduk di atas batu dengan sebuah kue dipangkuannya, Leary tidak berhenti melihat ke arah jalan, dia berharap Jach segera pulang juga. Langit sore sudah berlalu, matahari sebentar lagi akan terbenam. Jach sudah pergi cukup lama, seharusnya kini dia sudah kembali. Apa jangan-jangan Jach sudah kembali ke rumah dan lupa dengan janjinya untuk menemui Leary? Tapi Jach sudah berjanji, mana mungkin Jach mengingkari janjinya. “Ke mana sebenarny Jach?” tanya Leary pada kesunyian. Ada perasaan khawatir yang mengganggu perasaan Leary, dia takut terjadi sesuatu kepada Jach. Baru saja Leary memikirkan Jach, di bawah langit yang mulai gelap, Leary melihat Jach yang kini berjalan pelan menuju ke arahnya. “Jach!” panggil Leary dengan mata berbinar, anak itu berlari menyusul Jach yang masih berjalan jauh. Kesenangan di mata Leary mendadak hilang seiring dengan keberadaan Jach yang semakin dekat dan Leary dapat melihatnya dengan jelas. Kening Leary mengerut samar melihat pakaian Jach terli