Hal pertama yang Kalista lakukan setelah sampai di ruang bawah tanah yang rahasia adalah menyetel alarm. Dia tak ingin memancing keributan dengan seseorang yang mengatakan jika dia kehilangan banyak berat badan hanya karena melewatkan satu kali makan siang. Itu sebabnya dia membuat janji dengan orang tersebut untuk makan siang bersama. Seperti biasa, Kalista menghabiskan semua waktunya untuk membaca. Menurut perhitungannya, dia dapat menyelesaikan buku-buku di rak dalam kurun waktu satu tahun. Itupun jika dia tidak melewatkan satu haripun dengan sia-sia. Mengingat seberapa banyak buku yang tersusun pada rak ruang rahasia. Setelah membaca beberapa buku di sana, Kalista dapat memahami bagaimana Profesor Ray membuat seniornya menjadi pemilik menara termuda. Semua buku itu menjelaskan secara rinci bagaimana segala sesuatu tentang sihir berjalan dan cara yang paling efektif untuk penggunaannya. Dan dengan bakat seniornya yang sama-sama memiliki manik lavender seperti dirinya, hanya but
“Siapa yang Anda lihat dengan tatapan lembut seperti itu, Nona Ruliazer?” suara rendah tiba-tiba menyapa saat Kalista lengah. Sontak, sang nona muda segera menengok ke arah asal suara. Begitu Ia melakukannya, Kalista segera dihadapkan dengan wajah putra mahkota yang tengah duduk di hadapannya. “Ada urusan apa Yang Mulia mendatangi saya seperti ini?” suara Kalista terdengar sangat dingin. Ia masih belum lupa apa yang telah dilakukan oleh pemuda di hadapannya. Jika saat itu seniornya tidak datang dan menyadarkannya dari sihir aneh yang dilakukan oleh putra mahkota, dia pasti sudah masuk ke dalam fraksi putra mahkota tanpa Ia sendiri sadari. “Sebelumnya saya minta maaf karena membuat Anda merasa tidak nyaman, Nona Ruliazer. Saya terus merasa gelisah karena sepertinya Anda menghindari saya setelah kejadian sebelumnya.” Putra mahkota meminta maaf dengan rendah hati. “Itu bukan sepertinya, Yang Mulia. Saya memang sengaja menghindari Anda.” ekspresi Kalista masih sedingin sebe
(Prang!!) Suara benda pecah yang nyaring, serpihan beling yang bertebaran dan cangkir indah yang kehilangan kilaunya. Merah yang menetes, tak ubahnya bagai darah yang mendiami setiap jengkal tubuh manusia.Dua manusia saling menatap. Iris biru sedalam lautan, bertabrakan dengan lavender yang lembut. Satu berdiri sombong, dan yang lain terbaring di lantai yang dingin.Air mata berjatuhan menjadi saksi sebuah kekecewaan yang mendalam. Hati yang terluka menyimpan beribu emosi. Kemarahan, kebencian dan rasa tak percaya akibat pengkhianatan."Kenapa?" itu adalah kata terakhir yang terucap sebelum kelopak mata kehilangan kekuatannya.***Salju putih terlihat mendiami setiap panorama yang tampak oleh mata. Butiran dingin yang bertanggung jawab seolah tak menunjukan tanda-tanda untuk berhenti. Sebaliknya, benda itu semakin menunjukan eksistensinya, seiring berjalanya waktu.Di sebuah mansion besar, tampak selubung sihir yang menghalangi kepingan salju untuk turun di atasnya. Mengakibatkan ke
“Tidak mungkin..” batin Kalista menatap takjub.Rambut hitam panjang yang halus, kulit seputih porselin, dan bibir merah alami. Dan yang paling menakjubkan dari itu semua adalah iris lavender yang indah namun penuh misteri. Di hadapanya, bayangan seorang gadis yang dibesarkan dengan baik balik menatapnya.“Mataku..” Kalista memegang kedua kelopak matanya tak percaya.Mata kirinya sebelumnya rusak karena menggunakan sihir terlarang. Untuk menghindari kecurigaan, Ia selalu menggunakan penutup mata.Meski kehilangan salah satu bagian terpenting dalam hidup, dia sama sekali tak menyesal. Karena goresan tersebut menunjukan rasa cintanya kepada orang itu. Ia sama sekali tidak menganggap kehilangan mata kirinya sebagai kecacatan. Justru sebaliknya, dia menghargai itu semua sebagai sebuah penghargaan.“Sungguh bodoh.” Kalista mencibir dirinya sendiri.Dia tak percaya ada seseorang yang sebodoh dirinya. Hanya karena sebuah kebaikan kecil, Ia rela mencurahkan semua cinta, kasih dan kebaikan ya
"Dimana Kalista?" suara dingin yang bertanya memiliki nada datar tanpa intonasi apapun. Hal tersebut membuat orang-orang tak bisa menebak apa yang sebenarnya dipikirkan oleh si penanya. Meski begitu, bukan berarti pelayan yang berstatus rendah berani membuat tebakanya sendiri. Mereka yang ditanya tentu harus menjawab dengan hormat tanpa mendiskreditkan pihak yang bertanya ataupun subyek yang ditanyakan. Seperti yang dilakukan oleh pelayan senior yang tengah ditanyai, "Nona muda sedang berada di perpustakaan, Tuan besar." Nada hormat dengan sikap yang rendah hati. Itulah yang harus dilakukan seorang pelayan yang bekerja untuk tuanya. Berbeda halnya jika mereka tengah berhadapan dengan seorang tamu. Boleh bersikap hormat, namun jangan merendahkan diri sendiri. Karena di hadapan orang luar, sikap para pelayan mewakili bagaimana status tuan yang mereka layani. "Aku mengerti." balas pemuda yang dipanggil tuan besar. Setelahnya, pemuda itu segera beranjak untuk pergi. Tak memberikan p
Devondion menatap sejenak keponakan kecilnya sebelum berbalik. Tap..Tap..Tap..Kalista memastikan suara langkah kaki milik pamanya menjauh sebelum beranjak dari kursi miliknya. Lelaki itu masih bersikap seperti dulu. Mengawasi dan memastikan keselamatanya setiap saat. Setelah dirasa tak ada ancaman, barulah Ia pergi guna memberi waktu bagi dirinya untuk menyendiri.Perhatian dan pengertian yang dimiliki sungguh mengharukan. Pamanya selalu memiliki pertimbangan khusus untuk dirinya. Terlebih jika ada ular berbisa yang muncul di sekitarnya.Sayangnya, di masa lalu dia sangatlah bodoh. Perilaku sang paman justru dianggap sebagai ancaman. Mereka yang dekat memberitahu, jika pamanya memiliki keinginan kuat untuk merebut gelar dan kekayaan yang seharusnya menjadi warisanya.Perhatian dianggap pengawasan. Perlindungan dicap sandiwara. Segala sesuatu yang diberi harus dimusnahkan. Ada saat ketika Ia memerintahkan adik laki-laki ibunya itu untuk menjalankan sebuah misi. Tak ada bantahan, ta
"Kau yakin dengan ini semua, Kalista?" seorang lelaki bertubuh besar bertanya kepada anak perempuan cantik yang berdiri di hadapannya. Perabot rapi tanpa debu. Dokumen yang disusun secara teratur. Bahkan warna gelap yang seolah menjadi keharusan. Ruang kerja yang memiliki kesan kaku membuat atmosfer yang terasa lebih mengintimidasi. Meski begitu, gadis kecil dengan kulit putih berdiri tenang tanpa mengeluarkan getaran ketakutan sedikitpun. Seolah menjadi jenderal kecil dalam sebuah peperangan. Teguh dan berpendirian kuat. “Aku sangat yakin, Paman Dev." gadis yang dipanggil Kalista itu menjawab tanpa ragu."Lalu Kalista, bisakah kau beritahu kepada Paman darimana kau mendapat informasi ini?" pertanyaan kembali diajukan."Untuk saat ini, itu masih rahasia, Paman Dev." jawab si nona kecil."Jika begitu, maka paman tidak bisa memenuhi permintaanmu, Kalista." balas Devondion."Tapi Paman, Aku sama sekali tidak berbohong. Kurang dari sebulan lagi, benar-benar akan terjadi longsor salju d
Gerakan canggung dengan tubuh besar sebenarnya tak terlalu nyaman. Namun untuk beberapa alasan, hati yang sebelumnya terasa seperti hancur berkeping-keping, kini telah disembuhkan secara ajaib."Jangan menangis, Kalista." "Itu semua salah paman. Seharusnya paman mendengarkan ceritamu terlebih dahulu sebelum membuat keputusan." suara akrab yang ditangkap gendang telinga terasa mengikis hati nurani. "Apa longsor salju ini juga sesuatu yang kau lihat dalam mimpimu?" pertanyaan bernada lembut diajukan. Meski dalam kenyataannya, hanya ada ekspresi tajam yang lebih intens yang terlihat. Beruntung si nona kecil telah aman dalam pelukan sang paman. Jika tidak, gadis cantik itu pasti kesulitan menjaga ekspresi tenangnya saat melihat wajah mengerikan wali resminya. Bagaimanapun juga, meski hanya cerita yang dikarang oleh orang lain, Devondion merasa ingin mencabik seseorang yang mungkin merencanakan pembunuhan kakak dan iparnya. Dua orang yang Ia sayangi dan hormati seharusnya hidup dalam k