“Aku yang memberitahunya alamat rumahmu, ia tidak hapal karena baru sekali ke sini dulu.” Clayton memberitahu tanpa kutanya. Ia telah berdiri di sisi kananku. Aku menoleh sekilas ke arah Clayton, ia fokus menatap saudaranya di depan sana. Detik berikutnya aku kembali menatap Sergio. Ibu melepas pelukan setelah ia puas menangis pada menantunya itu. “Dinda sudah pulang.” Ibu berucap saat ia menoleh ke arahku. Sergio ikut menoleh ke belakang. Tatapan kami beradu untuk beberapa saat, kemudian ia bangkit berdiri pada menit berikutnya. “Jika ingin bertengkar sembunyilah, jangan di depan banyak orang.” Clayton berucap, kemudian berlalu begitu saja. Aku menatap Clayton yang beranjak pergi. Kemudian beralih kembali menatap Sergio. Lelaki itu berdiri tepat di depanku sekarang. “Aku ingin bicara.” Kutarik ia untuk masuk ke kamar. Kamar yang dulu pernah kami tempati setelah sah menjadi suami istri. Kukunci pintu agar tidak ada yang bisa masuk saat kami tengah bicara. Aku duduk di tepian r
Aku tidak ingat betul apa yang terjadi di malam itu. Yang jelas, terjadi benturan keras hingga semuanya berubah gelap. Saat terbangun, aku telah berada di dalam ruangan serba putih. Kaki dan tangan terasa sangat sakit saat digerakkan. “Kau sudah bangun?” Pertanyaan Sergio langsung menyapa telinga sesaat setelah aku membuka mata. Aku berusaha untuk bangkit, tangan kiri telah diperban dengan diapit oleh dua papan. Begitu juga dengan kaki kanan. Rasanya begitu nyeri saat digerakkan. Aku ingat ketika ada kilatan cahaya yang tiba-tiba menyilaukan mata, lalu motor menghantam pembatas jalan. Hanya sebatas itu yang kuingat. “Di mana Clayton?” Aku bertanya seraya meringis kesakitan. “Dia ada di rumah.” “Dia baik-baik saja?” Aku bertanya tidak percaya. Setidaknya kami memiliki luka yang hampir sama. Bahkan seharusnya ia lebih parah, sebab ia duduk di jok belakang. “Dia melompat saat tahu motor akan menabrak pembatas. Pengecut memang, dia hanya memikirkan nyawa sendiri. Lelaki macam apa y
“Aku bisa makan sendiri.” Aku menolak ketika Sergio hendak menyuapi. “Yang sakit itu tangan kiri, bukan yang kanan.” Aku melanjutkan seraya mengangkat tangan kiri yang baru ganti perban. Sudah ada sedikit tenaga menggerakkan meski terasa sakit dan kaku karena diapit dua papan. Sergio meletakkan nampan berisi piring dan mangkok itu ke atas pahaku yang terjulur. Menjadikannya sebagai meja. Kemudian mengalihkan sendok ke tangan kananku. Aku mulai menikmati makanan yang sudah disediakan oleh pihak rumah sakit. Meski rasanya tidak seenak makanan rumahan biasanya, tetap saja bisa dinikmati. Sedikit sulit ketika hanya tangan kanan yang bekerja, aku makan dengan sangat berantakan jadinya. Butiran nasi berjatuhan di mana-mana. Sergio membiarkan, menunggu aku selesai makan baru ia bereskan. “Kapan aku bisa pulang?” Aku bertanya setelah ia memberikan obat untuk kuminum. Aku sudah mulai bosan di rumah sakit. Apalagi malam nanti adalah malam ketujuh kepergian Bapak. “Tunggu konfirmasi dari do
Aku pulang ke rumah dua hari setelah Sergio balik ke Jakarta. Selama ia tidak ada, Clayton yang lebih banyak membantu. Termasuk ketika aku ingin buang air besar ataupun kecil, juga ketika hendak mandi. Ia yang membawaku ke kamar mandi sebelum aku kuat berjalan sendiri seperti hari ini. Hanya membawa, selebihnya ibu yang mengurus. Biar bagaimana pun, ia juga sangat menjaga interaksi di antara kami. Pagi ini aku berjemur di teras dengan kaki menjulur ke kursi yang sengaja dipindahkan ke depan, agar aku lebih mudah untuk bersantai. Sementara tongkat kuletakkan di sisi kiri. Clayton berulang kali menyarankan agar aku menggunakan kursi roda, tapi aku menolak karena merasa masih sanggup jalan meski dengan bantuan tongkat. Ponsel berdering dengan nama Sergio tertera di layar. Lekas kuangkat karena aku juga sudah sangat merindukannya. “Kau sudah di rumah?” Ia bertanya setelah wajahnya muncul di layar. “Sudah, aku pulang kemarin. Kapan kau akan ke sini lagi? Sudah tiga hari kau di sana ber
[Aku sudah mau sampai] Begitu pesan yang kudapat dari Sergio. Hari ini dia benar-benar menepati janji untuk datang. Nanti malam adalah acara malam ke empat belas acara kematian Bapak. Hari ini rumah sedikit ramai karena ada acara masak-memasak. Sementara aku tidak bisa membantu apa pun, karena kaki dan tangan belum pulih total. Luka di muka juga masih terasa nyeri dan nyut-nyutan sesekali. Aku mengurung diri di kamar. Setelah tahu Sergio masih memiliki istri, Ibu sedikit berubah sikapnya. Ia tidak seperti biasa. Desakan agar lekas bercerai juga terus ia lontarkan. Entah apa yang salah, toh aku tidak pernah merebut apa pun. Aku juga tidak pernah meminta agar Sergio meninggalkan keluarganya. Permintaan waktu itu terlontar hanya karena aku tidak bisa mengontrol perasaan. Kami menikah juga atas restu Larissa, tidak menikah secara diam-diam di belakangnya. Aku bangkit berdiri dengan satu kaki dan bantuan tongkat. Harusnya terima saja tawaran dokter untuk tanam besi di kaki agar lekas pu
“Kamu pulang saja, ya.” Aku meminta dengan tidak enak hati pada Clayton. Dia juga pernah berkata akan kembali ke Jakarta setelah acara peringatan empat belas hari kematian Bapak. Lelaki itu menatap, menuntut penjelasan atas ucapanku barusan. Sebenarnya tidak masalah dia ingin tinggal berapa lama pun di rumah ini. Ia adik iparku, meskipun usianya jauh lebih tua dibanding aku. Namun, perlakuan Ibu sejak semalam sangat berbeda ketika ia berinteraksi dengan Sergio dan Clayton. Tampak dengan sangat jelas kesenjangan di antara mereka berdua. Ibu terlihat jauh lebih suka pada Clayton tanpa peduli dengan perasaan menantunya. “Kamu kan harus kerja.” Aku mencari alasan agar ia tidak merasa terusir dari sini. Meski kerja atau tidak pun, tidak akan berpengaruh dengan keuangan mereka. Aku tahu dari Sergio bahwa mereka punya banyak warisan peninggalan orang tua. “Jangan salah paham dulu, aku tidak mengusirmu dari sini. Aku hanya khawatir dengan pekerjaanmu. Sudah dua minggu ini kamu libur.” Aku
“Bu, jangan begitu sama Sergio. Hargai perasaannya. Dia itu baik, bahkan berbakti sama Ibu. Coba Ibu pikirkan jika tidak ada Sergio, siapa yang akan menanggung biaya pemakaman Bapak? Biaya yasinan selama seminggu, bahkan sampai acara empat belas hari. Itu semua pakai uang dia. Kalau dia itu tidak peduli sama kita, tidak mungkin dia mau habis-habisan begitu. Tagihan rumah sakit juga dia yang nanggung, bahkan sampai ganti motor tetangga juga, dia yang menanggung semuanya. Semua pengeluaran Clayton selama di sini juga sudah diganti sama uangnya.” Aku meminta dengan memelas pada Ibu, berharap agar sikapnya kembali seperti sedia kala. Setidaknya tidak terlalu cuek pada suamiku itu. Namun, tampaknya Sergio telah menjadi begitu buruk di mata Ibu. Ia tidak ingin mendengar sama sekali. Bahkan tidak peduli saat aku berbicara padanya. Ia memilih sibuk sendiri, meraih sapu, lalu menyapu lantai yang tidak kotor sama sekali. “Ibu! Ibu bisa menghargaiku sedikit saja?! Aku lagi bicara sama Ibu!” Ku
“Din, kamu benar-benar jadi wanita simpanan di kota? Pantas saja dapatnya yang kaya.” “Din, cariin calon suami buat Rena juga dong. Tua tidak apa-apa, asal banyak duitnya. Kamu saja dapat yang muda dan kaya-raya, Rena pasti bisa lebih dari itu. Jadi istri keberapa tidak masalah. Asal hidup terjamin.” “Kamu pakai pelet apa dapat suami orang?” “Kamu pakai dukun yang mana? Bayar berapa biar hasilnya sebagus itu?” “Jadi pelakor ternyata, tega sekali menjadi wanita.”Berbagai macam kalimat tidak baik mulai sering kudapat saat tengah duduk di kursi teras. Setiap kali aku duduk di sana, berniat untuk merefresh otak dengan menatap anak-anak yang tengah bermain dekat jalan sana, selalu saja ada ibu-ibu tetangga yang datang untuk membicarakan masalah yang tidak ingin kudengar. Itulah sebabnya kini aku lebih memilih untuk mengurung diri di kamar. Sebab, tidak hanya satu atau dua ibu tetangga saja yang datang saat melihatku tengah bersantai di teras, ada banyak ibu-ibu yang berkumpul dan kem