Drrt.. drt..
Ponsel Alina bergetar singkat, menampakkan pesan dari nomor tak dikenal. Sang pemilik sedang enggan membukanya. Dirinya sedang serius menorehkan cat ke kanvas. Menggambar lukisan abstrak, dengan gabungan warna-warna neon yang cerah.
Saat melihat torehan cat itu, Alina membayangkan bentuk abstrak dari mimpi. Ketika seseorang berkata bahwa mereka memiliki mimpi, seperti apakah mimpi itu? Apakah berwarna cerah, atau pastel, bahkan abu-abu? Mungkin akan langsung tergambar situasi dan kondisi yang manusia itu harapkan.
Alina tentu juga punya, mimpi yang diinginkannya. Warnanya cerah seperti tone cat yang berada di hadapannya sekarang. Setelah menjual beberapa lukisan kemarin, perasaan hatinya mulai ringa. Karena, berarti karyanya dapat dinikmati oleh orang lain.
Kemudian, Alina teringat dengan salah satu lukisan yang menurutnya cukup kontroversial. Ada seorang anonim yang sengaja membeli lukisan itu darinya. Mungkinkah mereka berdua memiliki musuh yang sama? Atau malah, karya itu dijual lagi dengan harga yang lebih tinggi? Ah biarlah, yang penting Alina sudah menorehkan nama panggungnya di lukisan tersebut.
Setelah empat jam lamanya Alina melukis, badannya terasa pegal. Diliriknya ponsel yang tidak bergeming. Bertanya-tanya, siapakah yang mengirim pesan padanya. Alina bangkit dan meraih ponsel tersebut. Setelah melihat pesan di benda tersebut, Alina berdecak kesal dan menaruh hpnya dengan kasar.
“Hai Alina. Ini gue, Ronald”
“Ada apa ya kak?”
“Kaki lo, ga kenapa-kenapa kan?”
“Gue tau lo mau modus kak,”
“Wah, lo bisa nebak pikiran gue? Lo tertarik sama gue ya?”
“Apaan sih kak, ga jelas!”
“Bagian mana yang kurang jelas, sini gue jelasin,”
Alina makin malas menanggapi, kemudian menutup ponselnya dan melemparnya ke kasur. Alina memejamkan mata, entah kenapa dunia ini terasa semakin sulit untuk ditinggali. Alina rindu mamanya. Terbayang wajah Sinta yang selalu cemas ketika melihat Alina murung. Mamanya yang membuat sup ayam kesukaan Alina. Mamanya yang marah kalau Alina bermalas-malasan. Mamanya yang sangat cantik dengan senyum yang membahagiakan.
Lagi-lagi Alina meneteskan air matanya. Alina tidak tau, kapan kesedihan akan kehilangan mamanya ini usai. Apakah Alina sedih karena mamanya tidak ada, ataukah sedih karena merasa kesepian?
Terkadang Alina tegar melupakan segala kesedihannya. Namun di waktu yang lain, Alina tersedu mengingat kerinduannya. Alina menatap langit-langit. Berharap mamanya sedang bersembunyi di suatu tempat dan hadir di depannya sekarang juga. Tapi itu mustahil, Alina melihat sendiri mamanya dikubur.
Terlebih, Lasmana yang tampak sama sekali tidak memiliki minat memperhatikannya sekarang. Alina pun sudah enggan merebut perhatian papanya. Yang Alina ingin hanyalah keluar dari rumah ini dan hidup mandiri. Alina tidak peduli dengan kekayaan dan kekuasaan yang dimiliki oleh keluarga ini lagi.
Alina kemudian mengingat satu nama yang mungkin bisa membantunya. Alina mengambil kertas dan pulpen, menuliskan sesuatu di sana dan menyimpannya. Alina yakin, ini cukup untuk membantu Alina hidup mandiri.
***
Setelah pengumuman rekrutmen BEM, para anggota Bem yang baru diminta untuk berkumpul di Aula. Terdapat dua puluh anggota terpilih yang berdiri bersama Alina di jajaran anggota baru BEM Law School. Dua diantaranya sudah tidak asing lagi, Allen dan Seline. Sebenarnya Alina berharap sekali kalau mereka berdua tidak lolos. Tapi sepertinya tidak mungkin, mengingat mereka berdua adalah kesayangan dosen di kampus ini.
Ronald terlihat berjalan dari ujung ruangan, menghampiri para anggota baru itu. Memberikan pidato singkat dan ucapan selamat kepada teman-teman yang telah lolos. Kemudian datang beberapa kating lainnya untuk memanggil nama-nama yang akan bergabung di divisinya. Alina masuk ke dalam divisi kastrat, atau kajian strategis. Setelah dipanggil namanya, Alina mengikuti seseorang dari belakang, Ronald. Kemudian diikuti dengan satu orang menyebalkan lainnya, Allen. Mengapa penderitaannya sangat sempurna?
Setelah berkumpul di ruangan khusus kastrat, Ronald memberikan narasi singkat tentang apa yang harus mereka lakukan selama satu tahun kepengurusan. Divisi kastrat dibagi menjadi 2 bidang, yakni bidang internal yang akan membahas tentang isu-isu di dalam kampus, dan bidang eksternal yang membahas isu-isu di luar kampus. Alina memutuskan untuk memilih bidang eksternal. Tulisan-tulisannya akan mampu membantu karirnya, dan lagi-lagi ia bersama dengan Allen dan Ronald. Apa memang sesusah ini rintangan untuk sukses?
Sejak hari pertama, mereka sudah dituntut untuk mengulas dan mengkaji tentang isu di negeri Millanesia ini. Alina memilih topik tentang pembunuhan berencana yang menewaskan seorang perempuan demi melanjutkan hubungan perselingkuhan. Alina sangat menyukai topik kekerasan seksual. Menurutnya, moral manusia semakin hari semakin menurun. Kekerasan seksual adalah bukti nyata bahwa manusia kehilangan pengendalian diri. Para korban tidak memiliki keberanian untuk melawan karena saat kekerasan itu terjadi, tubuhnya terasa tegang dan kikuk. Hal ini tentu perlu dilatih dan disosialisasikan kepada seluruh warga Millanesia. Tidak hanya kepada korban, tetapi juga kepada saksi yang melihat tindak asusila itu terjadi.
Alina dengan cepat tanggap menyelesaikan ulasannya. Ketika menulis, Alina menumpahkan seluruh pengetahuannya, kemudian mengelaborasikan dengan isu yang sedang terjadi. Setelah bagiannya selesai, Alina segera mengirim e-mail kepada Ronald untuk melalui proses Review.
Setelah mereka semua menuntaskan ulasannya, mereka boleh melakukan aktivitas lain. Ronald memanggil Alina, dan berkata bahwa tulisna Alina sangat bagus dan bisa diunggah pada website kastrat tanpa melalui revisi. Ronald kemudian mengajak Alina untuk bertemu dan berdiskusi mengenai isu-isu yang harus dibahas di kastrat.
Alina mengiyakan, mereka berdua pergi ke sebuah kafe dekat kampus. Kafe tersebut sangat menyenangkan dan nyaman. Mereka bisa duduk di kursi bantal, setiap meja terdapat terminal dan ada kucing-kucing yang sangat suka dimanja. Ronald tersenyum dan meraih salah satu kucing yang ada di sana.
Semenit kemudian, Alina seperti melupakan bagaimana ia merasa terganggu dengan hadirnya Ronald. lina mulai membuka diri, ikut membelai kucing yang dipeluk Ronald. Kucing tersebut menggeliat manja. Mengerjap-ngerjapkan matanya yang indah dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ini kucing jenis Ragdoll, dia memang jenis kucing yang manja banget,” Ronald terkekeh. Selanjutnya ia menjelaskan tentang tipe-tipe kucing dan betapa kucing sangat memerlukan banyak perhatian dan banyak biaya dalam perawatannya. “Dia belum punya nama, apa lo mau namain dia?” tanya Ronald.
“Hmmm, gimana kalau Suroto?” wajah Alina serius mengatakannya.
Sementara Ronald terbelalak “Woi, kucing udah keren begini, lu namain Suroto?”
“Emang kenapa, kan keren?”Alina tertawa terbahak-bahak.
Melihat tawa itu, Ronald terdiam sejenak. Mengagumi keindahan ciptaan Tuhan yang ada di hadapannya saat ini. “Yaudah, mulai sekarang namanya Suroto, dan lu yang bakal ngerawat kucing ini!” ujar Ronald.
“Apa? Tapi gue ga bisa rawat kucing, gue belum pernah-” sanggah Alina.
“Gapapa, entar gue bakal sering jengukin Suroto, kok. Tenang aja,” ujar Ronald memotong pembicaraan Alina dengan tersenyum.
“Modus lo, kak!” Alina tersipu mendengar hal itu. Alina berpikir bahwa tidak buruk juga menambah teman lawan jenis. Mungkin Ronald bisa banyak membantunya di masa depan.
Diskusi panjang telah usai, Ronald mengantar Alina pulang dengan motor Harley Davidson Nightster miliknya. Setelah sampai di depan Rumah Alina, Ronald membantunya turun dari sepeda. “Ga usah mampir ya, gue capek,” ujar Alina.
Kalimatnya yang spontan membuat Ronald tertarik “Waduh, padahal gue pingin ketemu camer gue nih,” candanya.
“Gausah mimpi lo! Udah cepet pergi sana. Makasih ya, Surotonya!” Alina tersenyum.
“Hahaha sama-sama cantik. Yaudah gue pulang dulu,” Ronald menyalakan motornya. Namun tiba-tiba Ronald membuka helmnya dan mencium pipi Alina, kemudian cepat-cepat pergi melajukan motornya.
“Woi Ronald brengsek! Awas ya lo, kalau ketemu!” Alina melompat-lompat memarahi Ronald. Namun, ia tidak dapat mengingkari bahwa jantungnya mengalami anomali. Berdegup lebih kencang dari biasanya.
“Papa dengar kalian berdua diminta untuk tampil di Law School Graduation, ya?” tanya Lesmana sembari mengunyah makanan kepada kedua putrinya. Alina dan Seline mengangguk. Pihak kemahasiswaan menghubungi mereka berdua untuk tampil solo dengan memainkan alat musik. Memang, kelulusan di Law School selalu memamerkan bakat para mahasiswanya secara besar-besaran. Karena, di sana hadir berbagai macam orang dengan berbagai macam latar profesi. Tentu, jika salah satu dari mereka tertarik, maka mahasiswa tersebut sudah pasti dapat menapaki masa depan yang gemilang. “Papa pasti nonton kan, ini perdana Seline bawain piano loh!” Seline menampilkan senyum termanisnya di depan sang ayah. Alina hanya dapat memutar kedua bola matanya, terganggu dengan Seline yang sangat bermuka dua. “Lo, Seline, bukannya kamu lebih ahli main biola, ya?” Lesmana sangat penasaran kepada kemampuan berpiano Seline. Bukankah anak ini baru belajar piano selama lima bulan? “Seline udah bisa main lagu yang rumit, kok p
“Gue benci banget sama Ronald!” Alina menggebrakkan tangannya ke meja kelas. Namira yang duduk di sebelahnya berjingkat kaget. “Lo apa-apaan sih, Al. Baru masuk kelas udah jelek aja mood lo!” Namira heran dengan kelakuan Alina. Biasanya Alina bersikap tanpa emosi dan cenderung datar. Entah setan mana yang merasuki dirinya hari ini. Alina menenggelamkan wajahnya ke dalam kedua tangannya. Ronald membuat perasaannya seperti di roller coaster. Setelah memberinya kehangatan yang nyaman, Ronald membawa hatinya pada puncak paling tinggi di lintasan. Namun layaknya roller coaster, perasaan tersebut cepat sekali terjun ke lintasan paling dasar. “Al? Lo gapapa kan? Emangnya Ronald ngapain lo lagi?” Namira memang mengetahui banyak hal tentang Alina. Karena saat ini, Alina sangat yakin Namira adalah satu-satunya orang yang berada di pihaknya. Namira tidak butuh keuntungan maupun pertolongan apapun dari Alina dan keluarganya. Keluarga Namira sudah cukup terpandang dan berpengaruh di negeri in
Setelah berlangsung beberapa lama, upacara kelulusan telah usai. MC kemudian memandu acara selanjutnya, yakni pertunjukkan dari mahasiswa aktif di Law School. Penampilan pertama dibuka oleh Seline dengan piano cantiknya. Seline memasuki panggung dan menunduk khidmat, tersenyum cerah kepada seluruh pasang mata yang menontonnya hari ini. Seline sangat percaya diri berjalan ke arah piano, kemudian duduk dengan anggun. Jari-jari lentiknya mulai menekan tuts dengan tempo yang cepat. Semua orang yang hadir adalah orang yang berada, mereka sering mendengarkan orkestra dan musik klasik lainnya. Mereka mengetahui lagu-lagu yang dibuat oleh pemusik profesional. Salah satunya adalah lagu yang dibawakan oleh Seline. Ketika sang piano mengeluarkan nada-nada yang mereka kenal, penonton terkejut bukan main. Mereka menganga takjub dengan kemampuan permainan Seline. Permainan piano tersebut adalah lagu yang terkenal, yakni La Campanella oleh Liszt. Permainan piano yang membutuhkan konsentrasi ekstr
Brak brak brak brak Pintu kamar Seline digebrak dengan sangat kuat. Seline terjingkat kaget, siapa yang menggebrak kamarnya. Seline hanya diam, dirinya sangat takut ada suatu hal terjadi padanya. Kemudian listrik tiba-tiba padam, sinyal pada ponselnya diblokir, Seline tidak bisa menelpon siapapun. Dirinya juga tidak bisa keluar dari kamar. Seline meringkuk takut. Brak brak brak Pintu digebrak sekali lagi, menambah rasa takut pada diri Seline. Beberapa detik kemudian, pintu didobrak oleh dua laki-laki bertubuh tinggi besar. Dua laki-laki itu masuk, Seline mulai menangis mengeluarkan air matanya. Dua pria yang mendobrak kamarnya kini telah berdiri di hadapan Seline. Mereka hanya diam memandangi Seline. Saking takutnya, Seline tidak berkata apa-apa, dirinya hanya menangis sambil menutupi kedua telinganya. Lalu masuk seorang wanita, yang kemudian berkata “Pegang dia!”. Kedua laki-laki itu menyeret Seline ke tembok dan memegangi tangan serta kakinya. Seline sama sekali tidak bisa b
Pagi itu, di ruang makan, Alina bersama Ali dan Gregor sesekali bersenda gurau. Mereka juga sering melemparkan interaksi kepada Lesmana. Gelak tawa dari Alina memenuhi ruangan. Ah, bahagia sekali saat ini. Apa tidak bisa begini saja setiap hari? Berbeda dengan Alina, Seline tidak berani menatap mereka. Kepalanya menunduk, bayangan perbuatan mereka tadi malam masih terpatri dalam diri Seline. Melihat hal itu, Alina sedikit merasa iba. Dalam hati kecilnya, sungguh ia ingin sedikit lebih akrab dengan Seline. Atau setidaknya, mereka tidak berusaha saling membunuh. Saat ini Alina merasa tenang karena ada Ali dan Gregor yang siap membela dirinya. Namun, mereka berdua juga harus pergi untuk mengurus hal lainnya. Tentu, Alina tidak bisa menahan mereka. Namuns etidaknya, Seline tidak akan bertindak gegabah sekarang, karena Alina juga tidak bodoh untuk mengetahui trik licik Seline. Setelah mengantar kepergian Ali dan Gregor, Alina menuju kamarnya lagi. Mengeluarkan alat-alat yang cukup lama
Mobil Ronald melaju dengan hening. Pengemudinya sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Sementara penumpang di sebelahnya, sibuk mengatur perasaannya. Kejadian beberapa saat lalu sangat tidak biasa dalam hidupnya. Alina tidak pernah sama sekali merasakan cinta terhadap lawan jenis, maupun berpacaran. Pun tidak ada yang mengajarkan Alina untuk merasakan semua itu. Alina kebingungan memproses rasa-rasa yang menurutnya asing.Deru nafas dari keduanya menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar. Mobil Ronald melaju pelan dan terhenti karena macet. Justri, ini menambah kecanggungan diantara mereka berdua. Sebenarnya, Alina tidak mengira keadaan akan sehening ini, mengingat Ronald mungkin pernah beberapa kali merasakan jatuh cinta dan berpacaran. Kejadian di Villa keluarga Ronald membuat Alina berpikiran yang tidak-tidak. Untung saja dirinya cepat-cepat berdiri dan mengalihkan pembicaraan, karena kalau tidak, mereka akan melakukan sesuatu. Lamunannya terjeda ketika mobil Ronald memasuki area
Ronald mengantarkan Alina pulang ke rumahnya. Sesampainya di depan gerbang, mereka diam beberapa saat, hening. Sampai Alina yang mengeluarkan suara, “Ronald, I had so much fun today, thank you!”. Ronald mengangguk dan tersenyum, “With Pleasure, my favorite Lady,” sembari mencium punggung tangan Alina. Setelah diam sebentar, Alina pamit dan membuka pintu mobil Ronald. Tiba-tiba tangannya ditarik kembali, secepat kilat Ronald menyatukan bibir mereka lagi. Ronald mengulum lembut bibir Alina, menarik pinggangnya mendekat ke tubuh Ronald. Ia sangat pandai memainkan bibir Alina, sehingga Alina tidak dapat menolaknya. Jika boleh jujur, ciuman ini sangat candu dan memabukkan. Ronald melepaskan bibirnya, dan membelai wajah Alina yang saat ini sedang cemberut karena ciumannya terhenti. Ronald terkekeh kecil, dan meminta Alina untuk segera masuk ke rumahnya. Alina menurut, dan masuk ke dalam rumahnya. Sungguh hari ini merupakan salah satu hari yang mengubah Alina. Ternyata, perasaan cinta bisa
Di sepanjang perjalanan, Alina menangis. Air matanya tidak dapat terbendung. Sebelum memutuskan untuk keluar dari rumah tersebut, Alina masih memikirkan ayahnya yang mungkin berubah untuk lebih menyayanginya. Namun ternyata, sekeras apapun Alina mencoba, Lesmana tidak akan kembali seperti dulu.Hal itu sangat sulit diterima oleh Alina, kenangan-kenangan masa lalu yang indah berputar di kepalanya. Lesmana yang selalu tanggap dan perhatian kepadanya, dan tidak membiarkan hal sekecil apapun membuat Alina menangis. Kemana perginya Lesmana itu.Setelah beberapa lama ia menangis, sopir taksi menyampaikan bahwa mereka sudah berhenti di tujuan. Alina menurunkan barang-barangnya dan masuk ke sebuah rumah. Di sekitar rumah tersebut terdapat pepohonan yang rindang. Di tempat Alina melangkah, ada jalan setapak yang dihiasi bunga-bunga di samping kanan dan kirinya. Bunga tulip dan anggrek dengan berbagai macam warna. Di tengah hamparan bunga itu, berdiri gazebo dari kayu, yang senada dengan rumah