Saya terima nikah dan kawinnya Medina Puspa Ningrum binti Ujang Kadarusman dengan mas kawin seperangkat alat solat dan logam mulia sebesar lima puluh gram, dibayar tunai. Kedua tangan semua orang yang ada di sana terangkat, ikut mendoakan segala kebaikan untuk pernikahan Puspa dan Galih. Wanita itu menunduk dengan sembari menahan air mata yang sebentar lagi akan tumpah. Saat suara semua orang di sana mengatakan sah, maka disaat itu pula hatinya berdebar kencang. "Silakan dicium punggung tangan suaminya," kata pembawa acara mengarahkan Puspa. Wanita itu dengan penuh khidmat, meraih tangan Galih, lalu menciumnya pelan, sembari menanti jepretan dari fotografer. Acara dilanjutkan dengan pemasangan cincin pernikahan yang disiapkan sepasang oleh Galih. Lalu ditutup dengan prosesi sungkeman. Rian hanya bisa memandang senyum kebahagian Puspa dan Galih dari kejauhan. Ia juga melihat dengan jelas, sosok Ramon yang datang dan duduk tidak pernah jauh dari Dini, sehingga ia tidak mungkin untuk
Puspa sudah berada di dalam kamar hotel yang sudah disulap menjadi kamar pengantin yang super bagus. Kamar yang didesain apik, hingga membuat pengantin merasa nyaman berlama-lama di sana. Tentu saja kesal romantis sangat kental karena banyaknya taburan bunga di sepanjang jalan, mulai dari membuka pintu, sampai ke ranjang. Aroma mawar merah juga sangat disukai oleh Puspa. Ia benar-benar terhipnotis dengan suasana kamar yang membuatnya sangat nyaman dan tidak ingin segera masuk ke kamar mandi. Karena terlalu takut hiasan di ranjang rusak, maka Puspa memutuskan untuk duduk di kursi yang juga dihias cantik. Galih memberikan waktu padanya untuk bersiap. Puspa merasa suaminya sangat baik dan memahami dirinya. Ini memang bukan pernikahan pertama baginya, tetapi pernikahan kedua ini melebihi apa yang pernah ia lewati dulu saat bersama Ramon. Puas menatap kamar dengan dominasi bunga merah dan putih. Ia pun mulai membuka gaun pengantin mewah itu dengan susah payah. Sesuai arahan, gaun itu su
Malam ini, Ramon menginap di rumah Bu Suci. Menemani Robi yang sejak tadi menanyakan ke mana bunda dan ayah Galih. Ya, panggilan untuk Galih dari Robi adalah ayah, sedangkan untuknya adalah papa. Pria itu sama sekali tidak keberatan karena memang sudah seharusnya Robi memanggil dengan sebutan itu agar kedekatan mereka semakin kuat. Robi tidur di kamar Dini bersama Robi, sedangkan Dini meminjam kamar Puspa untuk beristirahat bersama satu orang sepupunya. Lalu saudara yang lain memilih tidur di depan TV. Saling berbincang hangat. Sudah lama sekali Bu Suci tidak mengumpulkan saudara di rumahnya, sehingga ia begitu senang dan sanggup begadang demi untuk bertukar kisah dengan para saudara. Keesokan paginya, satu per satu tamu Bu Suci dari kampung pun pulang. Mereka membawa bekal makan daging semur dan juga sambal goreng kentang, serta bihun. Bu Suci memabg sengaja memasak untuk oleh-oleh yang akan dibawa para sanak family-nya dari kampung. "Ramon, mau langsung makan?" tanya. bu Suci saa
Puspa lapar. Ia ingin makan karena terus-terusan digempur Galih. Ini sudah tiga ronde dari sejak pagi dan mereka baru satu kali makan dan satu kali ngemil. Tentu saja bagi Puspa sangat berat karena pada dasarnya ia hobi makan dan ngemil. Galih masih memeluk tubuh istrinya dengan mata terpejam, meskipun lelaki itu tidak benar-benar tidur. Ia hanya melepas lelah seteleh tiga ronde terlewati. "Mas, laper," rengek Puspa. "Ya udah nih, makan saya aja!" Puspa yang gemas dengan jawaban suaminya, langsung beringsut hendak melepaskan diri dari pelukan, tetapi tidak semudah itu karena Galih mengeluarkan seluruh tenaganya agar Puspa tetap berada di dalam pelukannya. "Ish, lapar beneran, Mas. Nanti kalau maag-nya kambuh gimana? Masa pengantin baru sakit maag?" Galih membuka matanya begitu mendengar kata sakit. Tangannya ia panjangkan agar bisa meraih gagang telepon yang ada di samping ranjang. "Mau makan apa, hem?" tanya Galih sembari mencoba menghubungi bagian dapur. "Bosan makan di kamar,
["Apa? Mama kena serangan jantung?"]["Iya, Teh Dini, cepat pulang ya. Ibu sudah menelepon Teh Puspa, tetapi nomornya tidak tersambung. Mungkin karena pengantin baru, jadinya tidak aktif ponselnya."]["Baik, Bu Menik, terima kasih informasinya, saya segera pulang sekarang. Titip Robi dan mama dulu."]Dini menelepon Ramon, tetapi tidak diangkat. Pria itu sedang berbincang dengan dua orang pria berpakaian rapi dan terlihat sangat serius. Ia tidak mungkin menganggu pekerjaan lelaki itu karena sudah lebih dari sepekan ia merepotkan Ramon.Gadis itu berlari keluar dari tempat acara pameran untuk memesan taksi yang akan membawanya pulang ke Bandung. Terpaksa ia mengeluarkan uang yang tempo hari pernah diberikan Ramon padanya untuk uang jajan, sebagai ongkos pulang. Bang, mama kena serangan jantung lagi. Saya pulang duluan naik taksi online. Nanti saya kabari kalau sudah sampai di Bandung. SendDini mengirimkan pesan pada Ramon., berikut screenshot perjalanannya di aplikasi. Setengah jam
Puspa dan Galih langsung menuju rumah sakit saat Bu Gina memberitahu keduanya dengan mendatangi hotel. Sepanjang jalan Puspa menangis karena merasa kesal kenapa ponsel lupa ia charger, sehingga ia tidak bisa cepat mendapatkan kabar soal mamanya. Bagaimana jika sesuatu hal buruk terjadi pada mamanya? Maka ia akan menjadi orang yang paling bersalah. "Sudah, Sayang, jangan nangis. Mama pasti baik-baik saja." Galih mencoba menenangkan Puspa dengan menyentuh pipi basah wanita itu. "Mama gak pernah sampai ke ICU, Mas." Isak Puspa dengan suara tertahan. "Iya, mungkin ini mama kelelahan juga karena baru saja hajatan. Saudara pada ngumpul di rumah sejak tiga hari lalu, jadinya pasti capek. Sudah, tenangkan diri kamu. Minta sama Allah untuk menjaga mama ya. Saya yakin mama kuat." Puspa mengangguk; menerima tisu yang diberikan Galih untuk menghapus air matanya. Kini mereka sudah tiba di rumah sakit. Puspa ingin sekali bisa berlari ke ruang ICU, agar bisa segera melihat keadaan mamanya, tetap
Keesokan harinya, Dini pulang ke rumah untuk mandi dan berencana tidur sebentar. Namanya di rumah sakit, kalian pasti tidak akan benar-benar bisa tidur dengan lelap walaupun hanya sepuluh menit. Itu yang dirasakan oleh Dini saat ini. Matanya mengantuk da tubuhnya menjadi lemas, maka ia putuskan untuk mandi, makan, lalu memejamkan mata sebentar. Puspa di rumah sakit bersama suaminya, bergantian jaga dengan Dini. Lalu di mana keberadaan Robi? anak kecil itu masih berada di rumah salah satu saudara mereka yang memiliki anak kecil seusia Robi. Dini berencana akan mengunjungi Robi, baru setelahnya ia pergi ke Pak RT untuk meminta rekaman CCTV saat kejadian mamanya pingsan. Dini tersenyum saat Ramon mengirimkan fotonya yang sudah duduk di kursi pemateri yang sebentar lagi akan ia pimpin. Ada rasa haru menyeruak di hati gadis muda seperti Dini. Ternyata seperti ini rasanya manis saat berhubungan dengan seseorang. Bukan karena nafsu ingin memiliki, lebih kepada hormat, dan merindukannya set
Rian merasa sia-sia menemui Dini, karena gadis itu benar-benar sudah tidak bisa diiming-imingi ataupun dibujuk. Pengaruh dari sikap lelaki yang menjadi calon suaminya sepertinya sangat dominan dan masuk ke kepala Dini, sehingga gadis itu begitu teguh pada pendiriannya. Namun, jangan panggil ia Rian jika belum berhasil mendapatkan apa yang ia inginkan. Jika Dini memang tidak bisa dipengaruhi, maka ia masih bisa membujuk Puspa agar bisa merayu Dini agar membatalkan acara pernikahan. Ia akan melakukan apapun untuk mendapatkan Dini kembali. Apalagi setelah melihat Dini bisa begitu patuh pada calon suaminya, maka tidak salah kalau ia harus merebut Dini kembali.“Kenapa balik lagi? tumben?” tanya Galih pada Rian yang sudah muncul kembali ke rumah sakit pukul sebelas siang. “Iya, mau tahu kabar Mama Suci.” Galih tidak yakin dengan jawaban Rian karena ia tahu siapa adiknya.“Kamu gak ngantor?” kali ini Puspa yang bertanya. Biasanya ia akan memanggil Rian dengan sebutan Mas, tetapi setelah