Pria itu berkaca di cermin wastafel sambil menyikat gigi. Sementara matanya menyoroti Mulutnya yang dipenuhi pasta.Ia baru saja bangun sekitar satu jam yang lalu. Menit-menit pertama membuka mata pikirannya sudah dipenuhi oleh perempuan itu. Perempuan yang dipertemukan dengannya dengan cara yang tak terduga. Perempuan yang mengusik sisi lain dalam dirinya. Membuatnya bingung dan hampir mati terbunuh penasaran.Enrico membasuh mulutnya hingga bersih setelah selesai menyikat gigi. Lantas pria itu melepaskan pakaiannya satu demi satu, membuat tubuhnya polos sempurna. Tetes-tetes air di bawah shower mulai membasahi tubuhnya, menelusup jauh hingga pori-porinya.Gerakan membilas badan tertahan ketika tangannya tiba di perutnya. Ia memutar tubuh yang disambut oleh refleksi dirinya dari cermin di belakangnya.Ia terdiam dengan mata terpaku di perutnya.Rasa itu kembali mengusik.***Audry terburu-buru keluar dari cafe mengejar seseorang yang berjalan cepat di depannya.”Pak, tunggu dulu!” A
“Selingkuhan?” Enrico mengulang kata-kata Audry. Tadinya ia pikir Audry adalah tipe perempuan setia. Buktinya kematian Dypta membuatnya hampir gila.Audry menganggukkan kepala mengiakan. Audry tidak tahu apa penilaian Iko padanya nanti. Ia hanya ingin bercerita agar Iko tahu sebesar apa cintanya pada Dypta.“Next,” pinta laki-laki itu agar Audry melanjutkan ceritanya.“Sekali pun di dalam hidup aku nggak pernah membayangkan akan mengkhianati suami sendiri. Aku ingin menjadi istri yang setia, berbakti dan mengabdi seumur hidup pada suami. Tapi dia datang begitu saja. Dia muncul tiba-tiba dalam kehidupanku. Aku dan dia ketemu nggak sengaja dengan cara yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Kami sama-sama mabuk, one night stand, dan keesokan paginya sama-sama terkejut ketika mengetahui kesalahan yang kami lakukan ternyata tidak sesederhana itu. Ternyata Dypta adalah keponakan Jeff, suamiku.”Audry menjeda kata untuk mengambil lebih banyak lagi udara baru. Sementara ingatannya ditarik kemba
“Kalau memang di tangan kamu ada tatonya berarti kamu adalah Dypta,” ujar Audry pelan menjawab pertanyaan Enrico. Sementara jantungnya seakan ingin meloncat ke luar.Lelaki itu hanya menyunggingkan senyum tipis mendengarnya. Ia kemudian mengulurkan tangannya pada Audry, meminta perempuan itu untuk membuktikannya.“Ini tanganku, kamu bisa lihat sendiri.”“Kenapa nggak kamu aja?” ujar Audry karena Enrico memintanya untuk langsung menyingkap lengannya.“Mending kamu aja, biar kamu puas.” Lelaki itu tersenyum dengan tangan yang masih terulur ke arah Audry.Sesaat ragu namun kemudian Audry memutuskan untuk melakukannya. Ia memejamkan mata, lalu dengan tangan gemetar memegang tangan Enrico dan menyingsingkan lengan bajunya.Sementara itu Enrico menatap dengan tatapan yang begitu intens pada Audry yang memejamkan mata. Perempuan itu tampak begitu menyedihkan yang membuatnya jadi kasihan. Enrico tidak tahu bagaimana nanti reaksi Audry setelah melihat langsung kulit tangannya tanpa lapisan apa
Enrico terkejut. Dengan cepat ia berlari menuju Audry yang tergeletak di lantai."Ry, bangun, Ry!" Enrico memanggil Audry sambil mengguncang tubuh perempuan itu agar segera membuka mata. Tapi Audry bergeming. Ia tidak bergerak dan menunjukkan respon apa pun.Astaga, dia pingsan.Tanpa menunggu lagi Enrico mengangkat Audry. Ia membawa perempuan itu ke dalam apartemennya dan membaringkan di tempat tidur.Wajah Audry tampak pucat. Mungkin perempuan itu berada dalam kondisi yang kurang sehat.Sambil memandangi wajah Audry, Enrico terus berpikir apa yang harus dilakukannya pada Audry. Apa sebaiknya membawa perempuan itu ke rumah sakit?Sebelum memutuskan apa-apa Enrico mendengar suara bel. Seseorang berada di depan sana dan ia harus membuka pintu.Keluar dari kamar, ia berjalan ke depan. Ia terkejut ketika membuka pintu dan melihat sendiri dengan matanya siapa yang saat ini sedang berdiri tepat di depannya.Audi, tunangannya."Di, ke sini kok nggak bilang-bilang?" tanyanya terkejut."Lama
Audry terbangun dan mendapati dirinya berada di ruang asing. Ia sungguh tidak tahu tempatnya berada sekarang. ’Aku di mana? Kamar siapa ini?’ pikirnya.Ruang tempatnya berada sekarang besar dan luas dengan dinding kamar berwarna putih. Tidak ada sesuatu di kamar itu entah foto ataupun lukisan yang menjelaskan siapa pemiliknya.Selain ranjang yang saat ini Audry tiduri, hanya ada lemari pakaian tiga pintu. Tidak ada meja atau perabotan lain. Lantas ketika Audry melirik ke sebelah kanannya, ia mendapati selembar kertas di atas nakas yang ditimpa dengan remote AC.Masih sambil berbaring, Audry menjangkau kertas itu dan membaca tulisan yang tertera di sana.“Ry, aku ke luar sebentar, nanti kalau kamu bangun jangan pergi dulu, biar aku yang antar kamu pulang. Kamu tadi pingsan. Kalau kamu tetap bersikeras untuk pulang sendiri itu artinya kamu menyiksaku. Enrico.”Audry tersenyum sendiri setelah membaca pesan di kertas itu. Iya, Audry ingat sekarang, tadi setelah keluar dari apartemen Enri
Enrico melongo.Seorang perempuan hamil datang ke apartemennya tengah malam dan meminta untuk ditiduri? Apa tidak salah?Jangan-jangan wanita di hadapannya ini benar mengalami gangguan jiwa."Enrico, kamu boleh menganggapku gila, aku nggak akan marah atau tersinggung, tapi tolong, kita harus melakukannya. Aku janji ini yang terakhir," pinta Audry penuh harap."Masuk dulu, Ry."Audry melangkah ke dalam. Enrico mengikuti dari belakangnya. Setelah mengambil bajunya di kamar, Enrico duduk di dekat Audry. Sekali lagi perasaan ibanya muncul melihat perempuan itu. Audry terlihat frustasi. Apa dia benar-benar terobsesi pada Dypta hingga nekat melakukan perbuatan yang merendahkan dirinya sendiri?"Enrico, aku nggak punya banyak waktu dan aku harap kamu setuju dengan permintaanku ini," ujar Audry sekali lagi.Enrico menggelengkan kepalanya. "Aku nggak tahu apa yang ada di pikiran kamu sehingga nekat datang malam-malam ke sini dan minta aku melakukan hal yang tidak mungkin kulakukan.""Aku hanya
Meski baru tidur beberapa jam tapi pagi ini Audry bangun lebih pagi.Ia lalu mandi dan membasahi tubuhnya dengan aliran air yang dingin seakan ingin mengusir semua panas yang mengendap di badannya.‘Bisa-bisanya aku datang ke sana dan minta ditiduri.’Audry tidak habis pikir pada apa yang dilakukannya kemarin malam. Apa benar ia terobsesi pada Dypta? Yang jelas sekarang ia merasa malu pada Enrico. Semalam ia memang tidak peduli, entah di mana letak rasa malunya, tapi pagi ini mendadak Audry ditampar kesadaran yang datang dengan bertubi-tubi. Kesadaran yang juga membuatnya bertekad untuk berhenti mencari Dypta dan memperbaiki hubungannya dengan Jeff.Setelah meminta maaf sebelum tidur tadi malam, Jeff menyambut dengan baik keinginan Audry untiuk memperbaiki hubungan mereka.Audry memejamkan mata, sementara air dingin terus mengaliri tubuhnya. Terbayang lagi olehnya dialog dengan sang suami dini hari tadi.“Aku minta maaf atas semua kesalahanku terutama soal Dypta. Aku janji akan jadi i
Audry menyimpan ponselnya ke dalam tas setelah mereka tiba di sebuah laboratorium klinik ternama.“Teman saya kerja di sini,” kata dokter Amanda setelah mereka turun dari mobil.Mereka lalu masuk ke sana. Dokter Amanda meminta obat tadi pada Audry lalu menyuruh Audry menunggu sementara dirinya masuk ke ruangan yang lain.Selagi menanti, Audry mengambil ponselnya. Ia membaca lagi pesan dari Enrico.Kenapa lelaki itu masih memedulikannya? Bukankah sudah mengusirnya tadi malam? Seharusnya dia tidak menghubunginya untuk alasan apa pun.Audry membiarkan pesan itu begitu saja tanpa berniat untuk membalasnya. Biar saja. Karena jika ia membalas pesan itu sama artinya dengan meleburkan kembali dirinya dalam kubangan bayangan Dypta.Tepat saat Audry mengangkat mukanya, di saat itulah dokter Amanda muncul. Perempuan itu tampak tegang dari raut wajahnya.“Gimana, Dok? Sudah tahu itu obat apa?” Audry langsung berdiri.Amanda menatap Audry dengan serius. Perempuan itu mulai menjelaskan hasil pembic