Juwi masih memangku kepala Salsa di kedua pahanya, Salsa tidur sangat pulas. Juwi sudah benar-benar tersadar saat suara teriakan wanita paruh baya membangunkannya dari tidurnya.
Saat ini Juwi duduk bagai tersangka di depan mamanya Devit, Devit, dan juga adiknya Devit.
"Maaf sebelumnya, Bu. Saya tidak bermaksud ...," ucap Juwi menunduk menahan malu.
"Apa maksudnya kamu tidur di rumah anak saya?" tanya mama Devit terlihat tak suka pada Juwi yang penampilannya tak sopan.
"Dia anak kamu?" tanya mama Devit lagi ketus.
Juwi mengangguk. Devit merasa kasihan dengan Juwi namun Devit membiarkan mamanya menginterogasi Juwi.
"Maafkan saya dan anak saya Bu, saya janji hal seperti ini tidak akan terulang lagi, Bu," ucap Juwi sambil menahan air matanya. Dia yang tak sengaja ikut tertidur bersama Salsa di ruang depan kontrakan Devit. Merasa sangat ceroboh dan malu. Belum pernah ia merasa sangat rendah diri seperti ini.
"Kamu tahukan anak saya sebentar lagi akan menikah, apa kata calon besan saya kalau tahu hal konyol seperti ini? Apa kamu bermaksud menggoda anak saya?!" sentak Bu Lani dengan muka merah menahan kesal.
"Kamu juga Devit, kenapa bisa membiarkan wanita ini tidur di sini? Apa kata suami dan keluarganya nanti?" kali ini mama Devit berteriak pada Devit.
Juwi sudah tak tahan ia mencoba berdiri dari duduknya, menggeser kepala Salsa dan mengangkatnya dengan pelan.
"Maaf Bu saya permisi, maaf atas kelancangan saya dan anak saya." Juwi mengangguk hormat dan penuh penyesalan. Devit hanya memandang sekilas lalu membuang pandangannya ke arah lain.
Dengan sedikit kepayahan Juwi menggendong Salsa kembali ke rumahnya. Sayup-sayup Juwi masih mendengar omelan mama Devit. Juwi mengunci pintu rumahnya lalu masuk ke kamar. Ibunya sudah tidur terlebih dahulu.
Juwi menaruh Salsa di atas ranjang dengan pelan. Juwi menangis tertahan. Sangat merasa kesepian dan begitu dipandang remeh orang-orang.
Juwi gadis manis berwajah oriental yang berusia delapan belas tahun, dilamar seorang duda muda beranak satu. Perasaan yang tadinya tak ada jadi tumbuh subur mengingat sang duda begitu dewasa dan sayang, juga sangat perhatian kepada Juwi dan ibunya Juwi.
Akhirnya Juwi luluh dan menerima lamaran duda tersebut. Namun takdir tak dapat ditolak, saat pulang dari olah raga pagi yaitu lari pagi, olah raga yang memang sudah ditekuni lama oleh suaminya. Napas suaminya sesak dan langsung dibawa ke rumah sakit. Padahal hari itu baru sepekan pernikahan Juwi dan gadis itu masih berada dalam status gadis, karena saat menikah, Juwi baru saja datang bulan.
Satu jam di ruang ICU, suami Juwi dinyatakan meninggal karena serangan jantung. Betapa terpukulnya Juwi, hidupnya jungkir balik begitu cepat. Selama sepekan suaminya hanya memeluk dan menciumnya juga mencumbunya, bermain bersama ke sebuah mal dengan Salsa anak dari suaminya yang saat itu berusia dua tahun.
Saat ini, Juwi menyandang status janda dengan satu anak. Juwi sangat menyayanginya Salsa, seperti Juwi menyayangi suaminya. Juwi memutuskan akan terus mengurus Salsa meskipun dengan statusnya ia tak takut dicemooh orang.
Juwi memandangi Salsa yang masih terlelap. Memegang tangan mungilnya kemudian menciumnya pelan.
"Caca harus temani Bunda ya, Nak," bisiknya sangat pelan. "Kita akan selalu sama-sama sampai Caca besar," lanjutnya lagi dengan air mata yang mengalir deras.
Devit mengintip dari jendela rumahnya tepat pukul enam shubuh, biasanya warung Juwi sudah buka, ia ingin membeli roti. Namun pagi ini warung masih tutup dan sepi. Jadilah Devit hanya menyantap biskuit dan segelas teh, duduk di kursi dekat jendela. Sesekali melirik lagi ke warung Juwi, namun warung masih saja tutup padahal sudah jam setengah tujuh.
Devit akan berangkat ke kampus, saat melihat ibu Juwi sedang menjemur pakaian.
"Pagi, Bu," sapa Devit ramah.
"Pagi Nak Devit," sahut ibu Juwi.
"Mmm ... warungnya tutup ya Bu hari ini?"
"Eh, iya, Juwi lagi kurang sehat. Mau ke puskesmas," jawab ibu Juwi.
"Ohh ... gitu ya, ya udah saya permisi Bu, Assalamualaikum." Devit pamit lalu berjalan menyusuri gang-gang kecil untuk sampai ke kampusnya.
Pikirannya melayang pada Juwi. Apakah Juwi sakit karena ucapan mamanya semalam?Ah...Devit merasa menyesal karena tak bicara apapun saat mamanya mengomeli Juwi. Sesampainya di kampus Devit berniat mengirimkan pesan kepada Juwi.
****
Sarah tengah duduk di kantin menyantap sarapan nasi uduk bersama Nuri dan Amel. Dengan memakai gamis bewarna pink dan jilbab lebar yang senada, membuat paras cantik Sarah sangat terpancar.
"Assalamualaikum para gadis," sapa Rara dengan ramah kepada Sarah dan teman-teman yang lain. Rara duduk di samping Sarah.
"Eh, Sar ... tadi aku ketemu calon kamu." ucap Rara sambil tersenyum.
"Tambah ganteng yaa dosen kita itu," pujinya lagi.
"Eehm ... calon suami orang keleeess," ucap Nuri menimpali Rara.
"Beruntung banget kamu Sar, dilamar pak dosen ganteng, sholeh, pintar, kaya pula," puji Amel lagi.
"Alhamdulillah," sahut Sarah dengan wajah bersemu merah.
"Ciiee ... dikit lagi mau belah duren," ledek Nuri sambil tertawa cekikikan. Muka Sarah sudah semerah tomat, entah apalagi ucapan-ucapan nyeleneh teman-temannya yang menggodanya.
"Inceran lo dikit lagi mau jadi penganten tuh," bisik seorang pria pada temannya yang tengah mengepalkan tangan menahan amarah, saat mendengar ocehan cewek-cewek yang duduk di meja sebrangnya.
"Ga bakal gue biarin!" jawabnya ketus dengan suara pelan.
"Yah ... jangan gitu bro, calon bininya dosen Devit tuh," bisik teman lelaki itu lagi, seakan tak terima dengan ucapan temannya barusan.
"Jangan panggil gue Jono kalau gak bisa bikin Sarah jadi milik gue!" lelaki bernama Jono itu pergi meninggalkan kantin dengan wajah ditekuk. Tato di tangan kanan dan kirinya menyembul dari lengan kaosnya. Mahasiswi yang melihatnya bergidik ngeri.
Siapa yang tak kenal Jono mahasiswa abadi yang tak pernah lulus kuliah, karena kebanyakan main dan bolos. Pergaulannya bebas, menabur benih dimana saja dan dengan wanita mana saja. Namun untuk cinta ia takkan pernah sembarangan menjatuhkan pilihannya.
Sebrengseknya dia, dia inginkan wanita baik-baik yang menjadi ibu dari anak-anaknya, dan Sarah adalah incerannya sejak setahun yang lalu.
Jono memandang Sarah yang sedang presentasi di depan kelas. Untuk mata kuliah ekonomi syari'ah sangat kebetulan Jono berada di kelas yang sama dengan Sarah.
"Ku pastikan kamu akan belah duren denganku sayang," bisiknya dalam hati.
****
Devit pulang ke kontrakannya tepat pukul tiga sore. Perasaannya entah kenapa tak enak karena dua pesan singkatnya tak dibalas ataupun dibaca oleh Juwi. Rumah Juwi juga sepi, tak terdengar ocehan Salsa ataupun suara riang Juwi. Hanya ada ibunya Juwi yang sedang melayani pembeli di warungnya.Devit masuk ke rumahnya, mandi lalu bersiap sholat ashar di masjid. Setelah kembali dari sholat di masjid, Devit merapikan teras depan yang sudah dipenuhi rumput dan tanaman liar. Sesekali Devit melirik ke arah pintu rumah Juwi. Namun seperti tak ada orang.
"Hhuuufftt ..." Devit menghembuskan napas kasar, ia harus minta maaf pada Juwi. Bagaimana pun perkataan ibunya pasti menyakiti Juwi. Devit mengambil dompet dan ponselnya, kemudian mengunci pintu kontrakannya dan berjalan ke arah jalan raya untuk membeli sesuatu.
Adzan magrib menggema, Devit melaksanakan sholat magrib di masjid. Rumahnya sudah rapi dengan gelaran tikar untuk anak-anak mengaji. Biasanya jam enam seperempat Salsa sudah datang pertama kali. Salsa selalu ingin diajarkan baca iqro' paling pertama. Namun jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh, Salsa tak nampak datang. Devit semakin tak enak. Seakan ada yang hilang dari rutinitasnya seharian ini. Devit benar-benar gelisah.
Devit tetap mengajarkan anak-anak seperti biasa, sesekali melihat ke pintu, berharap gadis kecil cantik yang selalu memanggilnya papa datang. Sampai adzan isya berkumandang dan mereka sholat berjamaah, tak ada tanda-tanda kehadiran Juwi dan Salsa. Setelah semua anak pulang, Devit keluar rumah dan mengunci pintu rumahnya.
Mengetuk pintu rumah Juwi sambil mengucapkan salam.
"Eh, Nak Devit, ayo masuk." Bu Nur mempersilahkan.
Devit masuk lalu duduk dengan perasaan berdebar, matanya mencari sesuatu.
"Ada apa ya, Nak?" tanya Bu Nur keheranan.
"Saya mau bayar kontrakan, Bu," dalihnya, padahal ia ingin bertemu Juwi dan Salsa.
"Kan masih dua pekan lagi Nak, ga papa nanti saja."
"Takut uangnya kehabisan, Bu," sahut Devit, sambil menyerahkan amplop berisi uang kontrakan.
"Juwi sakit apa, Bu?" tanyanya pelan.
"Sakit meriang ...," jawab ibu singkat.
"Ohh ... gitu."
"Merindukan kasih sayang," lanjut Bu Nur lagi sambil tertawa. Devit jadi salah tingkah menggaruk-haruk kepalanya yang tak gatal.
"Salsa, Bu?" tanyanya lagi.
"Salsa ada di kamar sama Juwi, sedang nonton TV sepertinya."
"Saya boleh bicara dengan Juwi, Bu?"
"Sebentar Ibu panggilkan."
Bu Nur masuk ke kamar Juwi, tak lama Juwi keluar dengan memakai baju hangat dengan tempelan tiga buah koyo cabe di keningnya. Bau balsem juga menyeruak begitu Juwi keluar kamar. Bau nenek-nenek deh pokoknya. Biarin bau balsem juga yang penting bukan bau tanah.
"Ada apa, Pak?" tanyanya dengan malas. Ibu ke dapur membuatkan minum untuk Devit.
"Kata ibu, kamu sakit? Gimana sekarang? sudah ke dokter?" tanya Devit tak sabar.
Juwi diam saja di kursinya, malas meladeni. Hatinya terlanjur sakit.
"Saya mau minta maaf soal kemaren," ucap Devit pelan.
"Oh, iya gak papa, sudah saya maafkan, " sahutnya datar kemudian berdiri hendak kembali ke kamarnya. Namun Salsa keluar dari kamar.
"Eh, Papa Devit." Senyum ceria Salsa terbit, mendekati Devit yang juga tersenyum manis pada Salsa. Juwi menghentikan langkah Salsa.
"Salsa ... panggilnya om saja ya, bukan papa, om Devit bukan papa Salsa," ucap Juwi lembut.
"Ga mau pokoknya papa aja!" rengek Salsa kini hampir menangis.
"Ayo kita masuk." Juwi menuntun tangan Salsa untuk masuk ke kamar.
Juwi menoleh ke arah Devit, sebelum kakinya masuk ke dalam kamar, menatapnya dengan mata tajam.
"Sebaiknya Bapak pulang, tidak perlu khawatir dengan saya dan Salsa."
"Saya memang janda, tapi saya tidak murahan."
***
Sejak malam itu, Devit semakin tak enak hati dengan Juwi. Meskipun saat ini Juwi sudah mulai bersikap biasa saja. Salsa juga sudah kembali ikut mengaji, datang paling pertama karena ingin membaca lebih dulu dari teman-temannya yang lain. Namun ada yang seakan hilang dari kebiasaannya, yaitu panggilan papa yang biasa Salsa sebut untuknya, gini berganti dengan Om gulu. Devit yang penasaran, saat anak-anak asik mengerjakan latihan kaligrafi, Devit memangku Salsa lalu bertanya padanya."Ada apa Om gulu?" tanya Salsa saat tau--tau Devit memangkunya."Kok sekarang Salsa panggilnya bukan papa lagi?" bisik Devit, tak ingin anak-anak yang lain mendengar."Tata bunda da boleh, pangdilnya om aja," terang Salsa sambil membolak balik iqro'nya."Kenapa?" Devit heran dan ada sedikit rasa kecewa di sudut hatinya."Om gulu butan papa Caca, nanti bunda mau cali papa buat Caca tapi Caca halus sabal tata bunda.""Oh ... gitu, ya udah panggil
Devit meremas rambutnya kasar. Bagaimana dia bisa melupakan janjinya pada Sarah? Sekarang sudah pukul tiga sore, saat melewati pasangan suami istri yang memakai pakaian resmi kebaya dan batik, seketika juga Devit teringat akan Sarah. Tepat saat Devit berada di kantin rumah sakit hendak membeli kopi.Lelaki itu juga baru tersadar ia lupa membawa ponselnya. Perasaannya sangat khawatir, bagaimana dengan calon istrinya nanti? pasti sangat kecewa dengan dirinya yang tidak memberikan kabar. Cepat Devit melangkah memasuki ruangan Salsa dirawat, tampak Juwi dan ibunya sedang berbicara."Maaf Juwi, Bu, saya pamit dulu ada urusan mendesak," ucap Devit dengan raut cemas."Pak Devit ga papa?" tanya Juwi keheranan."Tidak apa-apa Juwi, hanya saya melupakan janji dengan calon istri saya, saya pamit ya." Devit cepat melangkah keluar dari kamar perawatan Salsa.Juwi dan ibu mendengar cukup jelas yang barusan Devit katakan."Ya ampun Wi, Ibu jadi ga en
Juwi membuka warungnya pukul lima pagi. Mpo Leha mengantar dagangan aneka gorengan ke warung Juwi. Mpo Leha dibantu Juwi menatanya di atas etalase seperti biasa."Kok bikinnya sedikit, Mpok?" tanya Juwi saat menghitung aneka gorengan dengan jumlah masing-masingnya hanya dua puluh lima. Biasanya Mpo Leha membawa empat puluh sampai lima puluh gorengan per jenis."Iya Wi, Mpok bahannya kurang. Kirain hari ini Juwi libur," sahut Mpok Leha sambil duduk di kursi kecil yang berada di pinggiran warung."Iya Mpok, udah lama saya libur jualan, tabungannya udah tipis nih kayak pantat saya," sahut Juwi menepuk pantatnya sambil terkekeh. Tangannya asik memainkan sapu, menyapu lantai warung dengan semangat. Mpok Leha ikut tertawa mendengar ocehan Juwi."Mpok kok murung? Pengen kawin lagi ya?" Juwi kepo, tau-tau sudah duduk di samping Mpok Leha."Siapa sih Wi yang ga pengen berumah tangga lagi? cuma Mpok Leha ragu, takut gagal lagi.""Siapa tahu jodo
Selamat membaca😘Astaghfirulloh....kata itulah yang selalu Devit sebut, setelah hal konyol yang baru saja ia lakukan di depan Dimas, Juwi dan ibunya tadi. Bagaimana bisa dia begitu sesak, saat tangan Juwi dan Dimas hendak berjabat. Ada rasa tak rela jika kulit putih Juwi bersentuhan dengan lelaki lain."Ya Allah ... ada apa denganku?" gumamnya sambil mengusap kasar wajahnya, hatinya begitu tak tenang. Segera Devit ke kamar mandi untuk berwudhu dan melaksanakan sholat sunnah, karena hatinya benar-benar gundah.****"Nak Devit ada hubungan apa denganmu, Wi?" tanya Bu Nur penuh selidik. Ia menghampiri Juwi saat Juwi melipat mukena setelah selesai sholat isya."Teman saja, Bu. Emangnya kenapa, Bu?" tanya Juwi penasaran."Tapi sepertinya Nak Devit ada perasaan dengan kamu.""Hahahaha ... Ibu kebanyakan nonton drakor nih." Juwi tertawa kencang."Mana ada seperti itu Ibu Sayang, Pak Devit itu memang pada dasarnya orang baik
Maaf Devit dan Juwi telat Update!!Selamat membaca😘Devit tak menyangka Sarah bertanya perihal gosip yang beredar di kampusnya. Memangnya dia selebritis, sehingga gosip murahan seperti itu dengan cepat berkembang biak disegala pelosok.Setelah Sarah, Devit yakin mama dan papanya akan menelepon juga, untuk meminta klarifikasi. Devit menjelaskan pada Sarah, perihal yang terjadi pagi itu, meskipun tidak semua secara terperinci. Soal Devit yang tidak bisa memasang gas dan Juwi mengomelinya karena tidak bisa pasang gas, padahal sudah mau menikah. Sarah mengangguk paham."Hati-hati, Kak. Cinta itu datang karena terbiasa," ucapnya lugas, sedikit melirik ke arah Devit. Devit terdiam, tak tahu harus menjawab apa atas perkataan Sarah barusan."Intensitas interaksi antara Kakak dan wanita janda itu lebih sering dibandingkan dengan saya, calon istri Kak Devit. Pernikahan kita memang satu bulan lagi, bisa saja terjadi hal-hal yang diluar prediksi kita, jad
Selamat Membaca😘😘HukkHuukDevit pun tersedak kentang goreng yang sedang berselancar di tenggorokannya. Sigap Juwi bangun dari duduknya dan menepuk-nepuk kencang punggung Devit. Bukannya berhenti batuk-batuk, malah semakin tercekik Devit rasa, saat pukulan Juwi terlalu kencang, hingga mengguncang tubuh Devit. Terlihat bukan seperti menenangkan, malah Juwi seakan sedang melakukan KDRT pada Devit."Sudah Juwi, sudah." Devit mengangkat tangannya. Ya Allah Si Juwi kurus-kurus tenaganya Godzila. Bisik Devit dalam hati."Pelan-pelan, Pak. Makannya, nanti tersedak lagi lho," ucap Juwi sambil membersihkan bajunya dari noda semburan air cola."Iya terima kasih," ucap Devit sambil meringis. Ya Allah jadi panas gini punggung."Bunda, bolehkan? "Salsa melanjutkan pertanyaannya yang tadi."Salsa sayang, Bunda dan om guru itu berteman.""Oh, kalau teman ga bisa jadi Papa ya?" tanya Salsa dengan polosnya. Devit tidak
Selamat Membaca😘Hari senin shubuh seperti biasa, Juwi membuka warungnya, menata aneka gorengan dan nasi uduk yang dititipkan tetangga. Juwi melirik rumah Devit, lampu dalam mati, hanya lampu teras yang masih menyala. Tanda bahwa masih tidak ada orang disana. Iyalah, pengantin baru. Waktu Juwi menikah dengan ayah Salsa malah sampai dua hari di kamar terus. Padahal ga ngapa-ngapain juga. Hehehe... Juwi tersenyum sumbang. Ia menyadari rasa sukanya pada Devit, namun ia sadar itu tidak boleh."Hhhmmm ...." Juwi menarik nafas panjang. Dia harus bisa melupakan Devit dan meneruskan kehidupannya.Hari ini di warung cukup ramai. Juwi sedikit kewalahan, apalagi mulai hari ini Salsa sudah mulai mengikuti sekolah di kelas playgroup. Juwi mengantar jemput Salsa sekolah.Cuaca sangat terik, Juwi membeli es buah di warung dekat sekolah Salsa sambil menggandeng tangan Salsa. Pandangannya beralih pada pasangan yang baru saja lewat, ia seperti mengenalinya, tapi siapa
Selamat membaca😘Sarah menangis sesegukan setelah siang ini dia digagahi lagi oleh Jono. Sarah benar-benar tak mengenalinya, padahal Jono adalah kakak senior abadi di kampusnya.Karena memang Sarah tak terlalu banyak mengenal kakak seniornya, justru jarena dia terlalu aktif di lingkungan kampus makanya kakak seniornya yang lebih banyak mengenal dirinya."Sudah sayang, jangan nangis terus, nanti apartemen abang banjir lho." Jono mencoba menggoda, telunjuknya menyolek lengan polos Sarah."Saya mau pulang!" ucapnya pelan, suaranya bergetar."Ayo, biar abang antar!" Jono keluar dari selimutnya, tubuhnya polos berjalan santai ke arah kamar mandi, Sarah membuang pandangan. Matanya sudah bengkak dengan air mata, entah bagaimana nasibnya sekarang. Bagaimana nasib pernikahannya?Lima belas menit Jono berada di dalam kamar mandi, lalu keluar dengan harum shampo khas lelaki, tubuhnya hanya terlilit handuk sampai di bagian pinggang.Ke